Rasanya belum percaya ketika berita meninggalnya Ki Enthus Susmono satu per satu di layar WA bermunculan. Tapi memang akhirnya harus pasrah menerima keadaan; beliau memang kapundut.
Terakhir kali saya memotret beliau saat Halaqoh 999 Ulama Kabupaten Tegal, 6 Mei lalu. Beliau duduk berdampingan, saya di barisan belakang, sambil udud, melayani beberapa orang swafoto, sebelum maju ke panggung utama.
“Kenapa 999, bukan 1000? Karena ada satu yang bukan ulama, datang kesini untuk meminta fatwa para ulama?”, kurang lebih demikian salah satu penggalan pidatonya yang bisa saya ingat.
Di forum itu pula, beliau menegaskan dirinya siap menjadikan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai “ruh” keputusan-keputusan strategisnya, jika nanti terpilih kembali sebagai Bupati Tegal pada 27 juni 2018.
Di periode pertama, di bawah nahkodanya, Kabupaten Tegal menerima legitimasi yang prestisius dari Badan Pemeriksa Keuangan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (https://jatengprov.go.id/beritadaerah/akhirnya-pemkab-tegal-terima-opini-wtp-bpk-ri/).
Konstruksi tentang Ki Enthus saat ini memang didominasi sebagai bupati petahana yang kembali menjadi calon bupati berpasangan dengan Umi Azizah. Padahal, menurut saya, konstruksi politik yang melekat itu dibangun di atas pondasi lokalitas budaya ngapak kreasi Ki Enthus. Setidaknya bisa dirunut dari jejaknya sebagai dalang sekaligus eksistensinya sebagai kader NU. Berbagai penghargaan telah beliau terima dari berbagai institusi, baik di level nasional maupun internasional, sebagai penjaga kelestarian budaya.
Di tangan Ki Enthus lahir produk budaya “wayang santri” yang menjadi media untuk memelihara dan menjaga memori kolektif muslim masyarakat Kabupaten Tegal untuk selalu tangguh sebagai pengemban amanat moderasi islam, wasathiyah, menjadi masyarakat lokal yang percaya diri di hadapan lautan model dan budaya yang ada di Indonesia dan dunia.
Eksistensinya di NU, baik sebagai Banser maupun Lesbumi, seperti menjadi booster bagi kedua institusi ini untuk selalu tampil penuh tenaga dalam memutar peradaban Islam moderat.
Antusiasme masyarakat dalam mengapresiasi wayang santri menjadi salah satu indikatornya.
Ia menjadi bagian integral dengan masyarakat NU khususnya dan masyarakat kabupaten tegal pada umumnya. Nilai-nilai perjuangan, kesetaraan, kepedulian yang ditampilkan wayang santri kemudian diterjemahkan dalam wilayah birokrasi Pemerintah Kabupaten Tegal, institusi dimana Ki Enthus Susmono menjadi bupatinya.
Idiom-idiom ngapak diintegrasikan dalam jajaran birokrasi Kabupaten Tegal. Salah satu contohnya adalah program filantropi yang diterjemahkan dalam istilah “Ngrogoh kantong wekena wong”. Konsepsi ini beroperasi dalam mengawal jajaran birokrasi dan masyarakat luas untuk menumbuhkan semangat berbagi rezeki sesama. Sebuah ikhtiar untuk membawa sistem birokrasi untuk lebih dekat dengan masyarakat awam.
Ia membangun sistem birokrasi lokal dengan mengintegrasikan semangat moderasi keberagamaan. Dalam konteks nasional apa yang dilakukanya sama dengan menempatkan pasangan “puzzle” sehingga membentuk gugus kekuatan birokrasi yang humanis.
Lepas dari segala atribut yang ada, Ki Enthus juga kerap tampil menjadi ‘kiai’ yang memberikan nasehat dalam berbagai pengajian yang digelar masyarakat umum. Tak terhitung berapa banyak penampilannya dalam pengajian tersebut.
Di panggung pengajian ini pula, pesan-pesan moderatisme Islam dalam bingkai masyarakat lokal ia sampaikan dengan caranya yang khas. Isu-isu lokal diteropongnya dengan optik fikih dalam cita rasa ngapak. Amatan saya, peserta pengajian selalu lebih banyak dibandingkan dengan seminar-seminar dengan tema moderatisme Islam. Bagi saya ini kampanye Islam moderat yang ampuh di kalangan masyarakat umum di tengah gempuran ideologi khilafah.
Saat muslim Kabupaten Tegal menggelar aksi tolak Permendikbud No. 23 Tahun 2017, Ki Enthus berada di tengah-tengah massa aksi, berorasi menuntut penolakan peraturan menteri. Tidak lain sebagai upaya menguatkan posisi madrasah diniyyah yang ada di desa-desa.
Ngapak atau kekhasan lain yang menjadi konstruksi sosial Kabupaten Tegal tidak kemudian diartikan sebagai “inferiority complex” hanya karena jauh dari sumber historis-peradaban mainstream; Mataram Islam. Sebaliknya, keunikan ini menjadi corong dalam menginterpretasikan tradisi ushul fiqih “al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah”. Sehingga tercipta tatanan masyarakat maupun birokrasi yang mengedapankan kepentingan dan kebutuhan bersama. Karena dalam Islam, kebijakan pemimpin haruslah bertumpu pada kemaslahatan masyarakat. Sebagaimana dirumuskan dalam kaidah hukum Islam “tasharruful imam ala ra’iyyah manuthun bi-l mashlahah”.
Senin sore, 14 Mei 2018, setelah mengisi acara perpisahan di salah satu sekolah di Desa Cerih Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal, Ki Enthus pingsan. Puskesmas Jatinegara yang merawat untuk pertama kali merujuknya ke Rumah Sakit Soeselo Kabupaten Tegal untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut.
Namun sekira pukul 19.15 dokter menyatakan Ki Enthus Susmono meninggal dunia. Di usia 52 tahun torehan sejarah Ki Enthus menjadi teks yang menarik untuk dikaji dari berbagai sisi.
Tentu saja, sebagai manusia, tidak ada yang sempurna. Doa untuk limpahan ampunan dan ridlo Allah SWT kami panjatkan untuknya.