Sedang Membaca
Deklarasi Abu Dhabi: Seruan Perdamaian Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar
Mohammad Pandu
Penulis Kolom

Aktif di Komunitas Santri Gus Dur. Belum lama lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jogja. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

Deklarasi Abu Dhabi: Seruan Perdamaian Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar

Deklarasi Abu Dhabi: Seruan Perdamaian Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar

Dua tahun lalu, pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Fransiskus melakukan kunjungan ke Uni Emirat Arab selama tiga hari. Kunjungan bersejarah itu membawa misi perdamaian dunia yang penting. Yaitu tepatnya pada 4 Februari 2019, di Abu Dhabi, Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb, menandatangani “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan”.

Dokumen yang juga dikenal dengan nama “Deklarasi Abu Dhabi” itu merupakan harapan baru bagi keberlangsungan toleransi antarumat beragama. Dalam pidatonya sebelum penandatangan dokumen, Paus Fransiskus menyampaikan bahwa tindak kekerasan dan kebencian yang mengatasnamakan Tuhan tidak dapat dibenarkan.

“Iman kepada Allah mempersatukan dan tidak memecah belah” kata Paus Fransiskus, “Iman itu mendekatkan kita, kendatipun ada berbagai macam perbedaan, dan menjauhkan kita dari permusuhan dan kebencian,“ lanjutnya.

Sementara itu, Dr. Ahmed At-Tayyeb menyerukan kepada umat Islam untuk melindungi komunitas Kristiani di Timur Tengah, dan sebaliknya, umat Kristen melindungi komunitas Muslim di negara Barat. Sheikh Ahmed berharap semua umat beriman dapat hidup berdampingan dan berintegrasi dengan lingkungan mereka.

Pertemuan tersebut adalah simbol ajakan perdamaian yang luar biasa. Apalagi di tengah situasi dunia saat ini. Ketika agama menjadi komoditas di segala lini dan nama Tuhan dipakai sebagai legitimasi kekerasan, pertemuan dua pemimpin agama tersebut seperti angin sejuk yang kita butuhkan.

Baca juga:  Wiridan Konsolidasi dan Ngaji Kontekstual ala Pesantren Sekarang

Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Wali Gereja Indonesia (Dokpen KWI) telah menerjemahkan Deklarasi Abu Dhabi ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini, saya kira, dilakukan sejalan dengan seruan Paus Fransiskus agar dokumen tersebut disebarluaskan sampai akar rumput.

Isi Deklarasi Abu Dhabi bisa dibilang cukup panjang. Dalam versi bahasa Indonesianya sendiri mencapai 20-an halaman. Meski begitu, dokumen tersebut sangat rigid dalam mengurai masalah dunia hari ini. Pun tidak terkecuali berisi ajakan kepada semua umat manusia untuk memperbaiki berbagai “kerusakan” yang ada.

Di beberapa paragraf awalnya, dokumen ini menegaskan kembali perintah Allah supaya tidak membunuh manusia. Ya, itulah peringatan yang tegas untuk sebuah permulaan. Di samping itu juga penting bagi kita semua untuk membantu kelompok miskin dan terpinggirkan, serta menegakkan keadilan dan belas kasih sebagai landasan iman.

Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed mendorong umat Islam dan Katolik untuk menjadikan budaya dialog sebagai jalan. Dua pimpinan agama tersebut juga mengajak semua orang untuk mengakhiri peperangan, konflik, kerusakan lingkungan, dan kemerosotan moral serta budaya yang dialami dunia saat ini.

Deklarasi ini berangkat dari pertimbangan mendalam atas realitas umat manusia dewasa ini. Bahwa segala penderitaan, bencana, dan malapetaka disebabkan oleh manusia sendiri. Kita adalah akar kesengsaraan yang selama ini kita rasakan.

Baca juga:  Gus Dur dan M. Imam Aziz: dari Jalan Kultural ke Tebing Politik

“Di antara penyebab utama dari krisis dunia modern adalah ketidakpekaan hati nurani manusia dan penjauhan dari nilai-nilai agama,” isi salah satu poin deklarasi. Selain itu, sifat individualistis dan materialistis manusia juga menjadi faktor pendukung yang kuat atas terjadinya krisis dunia modern tersebut.

Dokumen itu juga menyoroti masalah ekstremisme agama dan intoleransi yang mungkin menciptakan “perang dunia ketiga” yang berlangsung sedikit demi sedikit. Soal pembahasan ekstremisme ini, Deklarasi Abu Dhabi menunjukkan poin-poin yang secara tegas mengupas akar masalah dan bagaimana seharusnya agama memainkan peran.

“Hal-hal tersebut (konflik atas nama agama) adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang, dalam perjalanan sejarah, telah mengambil keuntungan dari kekuatansentimen keagamaan di hati para perempuan dan laki-laki, agar membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama.”

Memasuki poin ini sebenarnya banyak hal yang begitu relevan. Kita tahu bahwa ekstremisme agama dan intoleransi telah menyebabkan berbagai konflik di dunia dengan mudahnya. Sebuah kontradiksi yang seharusnya tidak terjadi, tetapi malah sering kita dengar saban hari. Bahwa agama yang seharusnya mengajarkan cinta-kasih, tapi dalam praktiknya malah digunakan untuk melukai orang lain hanya demi kepentingan pribadi.

Baca juga:  Filosofi Mengisi Gelas dengan Air Kran: Lima Panduan Santri Mencari Ilmu

Saya jadi teringat Gus Dur ketika mengatakan, “Tuhan tidak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.” Pernyataan itu dulu sempat menjadi kontroversi pada masanya. Tapi hari ini rasanya menjadi semakin relevan dan senapas dengan dokumen perdamaian ini.

Di beberapa paragraf akhirnya, Deklarasi Abu Dhabi menyatakan pentingnya peran agama dalam membangun perdamaian dunia dengan menjunjung tinggi beberapa hal-hal yang disebutkan. Di antaranya adalah soal keharmonisan, kebebasan, keadilan, dialog, perlindungan tempat ibadah, dan perlawanan pada terorisme. Di sisi lain, agama juga perlu untuk menjunjung kesetaraan hak dan kewajiban warga negara, pengakuan pada hak dasar perempuan dan anak, serta hubungan yang baik antara dunia Timur dan Barat.

Dalam upacara penandatanganan dokumen tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh terkemuka. Selain Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed el-Tayeb yang menjadi kunci dalam pertemuan itu, hadir pula Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, perdana menteri dan wakil presiden Uni Emirat Arab, sekaligus penguasa Dubai. Selain itu ada juga Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, putra mahkota Abu Dhabi dan wakil panglima tertinggi angkatan bersenjata UEA, serta lebih dari 400 pemimpin keagamaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top