Sebanyak 137 pengungsi Rohingya tiba di Aceh pada Kamis (1/2/2024) pagi. Sejak pertengahan November tahun lalu, beberapa gelombang pendaratan kelompok pengungsi ini secara bergantian masuk ke wilayah paling barat Indonesia itu. Mereka berasal dari kamp pengungsian di Bangladesh, mencoba pergi dari tempat itu karena krisis mulai terjadi di sana.
Pada 2017 lalu, Bangladesh menjadi tujuan bagi sebagian besar pengungsi Rohingya yang melakukan eksodus dari Myanmar karena adanya ancaman keamanan yang mereka hadapi. Etnis Rohingya yang diam di wilayah dekat perbatasan Bangladesh menjadi liyan di negara asal mereka dan tidak sepenuhnya diterima oleh orang-orang Bengali. Status hidup mereka mengambang dalam harapan yang tidak pasti.
Dalam beberapa gelombang kedatangan pengungsi Rohingya terakhir, respon masyarakat cenderung negatif. Reaksi ini adalah sesuatu yang relatif baru dalam menanggapi kehadiran pengungsi internasional. Sentimen negatif yang bisa dilihat di internet nampak lebih banyak muncul menyambut fenomena ini. Suburnya parodi pengungsi Rohingya yang tak perlu dari para pembuat konten media sosial dan kurangnya sensitivitas pada isu global tentang krisis pengungsi serta orang tanpa warga negara (statelessness) turut memperparah keadaan.
Pada sisi lain, hal ini juga menandakan adanya kegelisahan kultural yang tengah terjadi di tengah masyarakat kita. Kegelisahan kultural bisanya berhubungan dengan kegelisahan ekonomi. Sebuah respon yang pada umumnya timbul dari konteks ekonomi yang tidak begitu mengenakkan dalam persepsi masyarakat.
Dalam hal ini, masyarakat mungkin belum sepenuhnya pulih pada sisi kehidupan ekonomi setelah hantaman pandemi beberapa tahun lalu. Harga kebutuhan pokok dan sehari-hari yang tidak murah juga turut memengaruhi. Maka ketika datang para pengungsi, dan dipersepsikan sebagai pendatang asing, masyarakat cenderung bersikap defensif seperti saat menolak pekerja asing atau barang impor.
Hal ini membuat pemegang kebijakan tidak bisa bergerak bebas dalam merespon isu pengungsi Rohingya. Menerima pengungsi dengan terbuka adalah langkah tidak populer. Senada dengan arus politik yang sedang banyak berayun ke sayap sebelah kanan dan membuat tokoh-tokoh populis ultra nasionalis menikmati panggung popularitas sambil mengompori sikap proteksionis seraya mempropagandakan ketakutan pada segala hal yang dianggap asing.
Kegelisahan kultural berpotensi mendorong sikap penolakan dan kecenderungan anti-imigran. Hal yang juga terjadi di banyak negara, bahkan pada negara yang ikut meratifikasi konvensi terkait pengungsi dan orang tanpa warga negara pada tahun 1951.
Cara pandang yang antipati pada pengungsi ini jelas keliru. Karena mengabaikan aspek kemanusiaan yang menjadi masalah bagi para pengungsi. Latar sosial dan ekonomi yang ada saat ini membuat persoalan pengungsi Rohingya bukanlah sesuatu yang mudah diselesaikan, tapi tentu tidak bisa dijadikan justifikasi pada sikap-sikap yang intimidatif.
Fenomena krisis pengungsi ini lahir dalam sistem negara bangsa modern dan hadir bersamaan dengan momentum besar pasca kolonial setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pendirian negara-negara baru yang tumbuh dengan cepat mengharuskan setiap orang di dunia wajib memiliki kejelasan identitas kewarganegaraan.
Konvensi pengungsi 1951 di Jenewa disepakati dalam konteks dunia pasca perang, sebuah masa transisi yang berusaha mengakomodasi situasi dunia setelah perang besar dan pergeseran sistem kedaulatan. Bagi mereka yang tidak berhasil mendirikan sebuah negara atau mengintegrasikan diri pada suatu negara, sistem negara-bangsa bisa menjadi bencana.
Kewarganegaraan menjadi hal yang sakral. Konsep negara-bangsa diadopsi secara besar-besaran oleh wilayah-wilayah bekas jajahan Eropa dan kini menjadi semacam format tunggal konsep eksistensi sebuah kelompok masyarakat. Krisis keamanan kontemporer seperti terorisme, perdagangan manusia, atau penyelundupan semakin mendorong kecurigaan pada siapa saja yang dianggap asing.
Komunitas yang tidak memiliki kejelasan kewarganegaraan menjadi kelompok yang terpinggirkan. Hal inilah yang menjadi titik lemah para pengungsi Rohingya. Mereka tidak berhasil masuk ke era baru setelah era kolonialisme Eropa lama berakhir.
Menurut Roy Chowdhury (2020), kelompok etnis Rohingnya gagal terlibat dalam proses pembentukan nasionalisme Myanmar. Secara kultural mereka memiliki kemiripan dengan orang-orang Bangladesh, maka disebut “Bengali” oleh orang Myanmar. Dari sudut pandang orang Bangladesh, etnis Rohingya adalah kelompok yang tinggal di wilayah kedaulatan negara tetangga mereka, oleh karena itu mereka menyebutnya “muslim Burma”.
Dalam istilah Chowdhury etnis Rohingya menjadi “komunitas tak terbayangkan” atau un-imagined community dalam konstruksi kesadaran nasional bangsa Myanmar. Kegagalan proses integrasi tersebut bertambah sulit karena etnis Rohingya sendiri menunjukkan sifat non-kooperatif yang menegaskan bahwa identitas mereka berbeda. Moshe Yegar dalam The Muslims of Burma: A Study of a Minority Group menulis bahwa etnis Rohingya merasa bahwa mereka berbeda dengan kebanyakan warga Myanmar dan berjarak dengan sejarah yang panjang negara itu.
Jobair Alam (2019) berpendapat, bahwa komunitas Rohingya berbeda dengan mayoritas muslim di Myanmar yang bisa membaur dengan identitas warga lainnya. Pada umumnya, muslim Myanmar berbicara dalam bahasa Burma, memiliki nama seperti orang-orang Burma, tersebar di wilayah urban, dan menjadi warga negara Myanmar. Sementara orang-orang Rohingya tinggal di wilayah pedesaan di Rakhine, berbicara dalam dialek Bengali dan menggunakan nama yang tidak umum di Myanmar. Keterpisahan kultural ini melebarkan jarak antara mereka dengan warga Myanmar lainnya.
Langkah politik para penguasa Mynamar semakin mendesak mereka dalam keadaan sulit. Sejak pemerintahan Jenderal Ne Win mulai berkuasa pada 1962, etnis Rohingya tidak dimasukkan ke dalam daftar 135 kelompom etnis yang diakui oleh negara. Pengecualian itu membuat mereka mendapat mendapat berbagai macam peminggiran.
Hanya pemerintahan U Nu yang mengakui eksistensi etnis Rohingya sebagai bagian dari kelompok etnis yang diakui di Myanmar pada 1950-an. Dalam aturan kewarganegaraan Myanmar tahun 1948, mereka diakui sebagai etnis pribumi dengan dasar bahwa sudah dua generasi dari kelompok etnis Rohingya yang menetap di Myanmar.
Sistem pengelompokan etnis yang terjadi di Myanmar ini merupakan masalah serius. Alam (2019) menganggapnya sebagai salah satu warisan kolonial paling menyusahkan bagi kelompok etnis minoritas. Sebagai dampaknya, sentimen etno-nasionalisme menjadi wacana dominan dalam politik Myanmar dan etnis minoritas rentan menjadi korban peminggiran.
Praktik klasifikasi berdasarkan identitas etnis atau ras memang merupakan kebiasaan pemerintah kolonial Inggris sejak aba ke-19. Hal semacam ini juga dilakukan di Malaysia sebagaimana dituliskan oleh Charles Hirschman dalam The Making of Race in Colonial Malaya (1986) dan The Meaning and Measurement of Ethnicity in Malaysia (1987). Praktik kategorisasi ini menimbulkan tendensi rasial dan kecenderungan untuk menindas kelompok minoritas.
Dengan menimbang kesamaan nasib sebagai bangsa bekas jajahan, dan menimbang bahwa Indonesia didirikan dengan semangat kemanusiaan dan internasionalisme. Cara pandang terkait persoalan Rohingya perlu disertai sensitivitas atas isu kemanusiaan yang saat ini menjadi masalah global. Bukan hanya soal hitungan untung dan rugi, bangsa sebesar Indonesia perlu menempatkan diri sebagai sebuah rumah kemanusiaan. Dalam rumah kemanusiaan, batas-batas perbedaan mesti ditanggalkan, dan siapa saja yang memerlukan bantuan tidak boleh diperlakukan buruk.