Sedang Membaca
Mengenang Mbah Dullah Salam Kajen: Model Dakwah Nyeleneh Khas Kiai Wali
Akhmad Faozi
Penulis Kolom

Penulis berasal (lahir) dari kultur ‘tani’ desa Geneng Mulyo kecamatan Juwana kabupaten Pati, Jawa Tengah. Domisili di Jogja. Hobi: menikmati dan belajar hidup melalui sabda 'iqra'. Sesekali berpiknik fiksi dan ilmiah, untuk memaknai keseharian yang dijalani.

Mengenang Mbah Dullah Salam Kajen: Model Dakwah Nyeleneh Khas Kiai Wali

15453998275c1cee1314a6e

Adalah Kiai Haji Abdullah Zain bin Abdussalam yang saya maksudkan. Orang-orang Kajen (sebuah desa di Pati, Jawa Tengah) dan sekitaran karesidenan Pati mengenalnya dengan panggilan “Mbah Dullah”. Sebuah nama yang sangat mudah diingat dan dilisankan. Utamanya di lisan dan kalbu orang-orang pedesaan.

Publik mungkin lebih mengenal keponakan beliau, K.H. Dr. M. A. Sahal Mahfudz atau Mbah Sahal yang pengaruhnya sudah menasional. Tetapi secara kiprah dan pengaruh di akar rumput, di desa-desa, Mbah Dullah lebih dekat dan lebih akrab di hati masyarakat.

Dari kesekian jejak dakwah Mbah Dullah ini, ada satu kisah menarik. Sebutan nyeleneh mungkin kurang pas, karena memang secara pribadi dan ketokohan, beliau jauh dari kata itu. Tetapi secara nalar dan logika umum, saya rasa cukup pas.

Suatu ketika, Mbah Dullah tiba-tiba nimbali salah satu santrinya. Santri ini ditimbali untuk melaksanakan satu tugas khusus. Dia disuruh Mbah Dullah untuk bertamu ke salah satu kiai khos di Malang, Jawa Timur. Si santri sendiko dawuh, lekas berangkat ke Malang menuju kiai yang dimaksud oleh Mbah Dullah.

Selain silaturrahim, dia diminta oleh Mbah Dullah untuk matur ke kiai tersebut. Santri utusan ini pun menyampaikan pesan sebagaimana adanya. Dia mengutipkan tutur langsung:

“Aku meminta satu santrimu yang bernama Abdul Aziz”.

“Dia tak minta untuk membantuku”.

Di samping nama—melalui utusannya—Mbah Dullah juga menerangkan ciri-ciri spesifik terkait fisik dan karakter sosok santri bernama Abdul Aziz ini. Seakan sudah menunggu momen tiba, sang kiai ini dengan santai menjawab:

“Ya, sana cari sendiri”.

“Jika memang ada orang yang kau jelaskan tadi, silakan bawa dia ke Pati”.

Baca juga:  Tujuh Nasehat Rumi Tentang Relasi Terhadap Sesama Manusia

Santri utusan Mbah Dullah ini lantas bergegas. Setelah mencari hampir ke semua sudut komplek dan lingkungan pondok serta bertanya dengan santri-santri yang dijumpainya, Abdul Aziz tak ketemu. Tak menyerah. Dia pun menunggu beberapa waktu, sampai dirasa cukup.

Setelah seluruh waktu pencarian usai, santri utusan Mbah Dullah ini gagal menemukan Abdul Aziz. Jangankan nama, ciri-ciri yang mirip saja tidak dia temukan. Dengan berat hati, si santri ini lantas kembali ke ndalem kiai untuk pamit pulang. Kiai merasa lega, dengan bahagia dia mempersilakan santri Mbah Dullah ini pergi.

Sebelumnya kiai ini semacam sudah punya firasat. Bahwa santrinya yang bernama Abdul Aziz akan diminta boyongan dari pondok, diajak pergi mengikuti utusan Mbah Dullah. Karena kiai ini tidak rela santrinya pergi—khususnya Abdul Aziz yang disayanginya—dia memanggil Abdul Aziz, menyuruhnya pergi keluar area pondok. Intinya pergi dari pondok, jangan sampai ketahuan oleh utusan Mbah Dullah.

Setelah berpamitan, pulanglah utusan Mbah Dullah. Tetapi, tak berapa jauh melangkah dari ndalem kiai, utusan Mbah Dullah ini bersalipan dengan seorang santri yang nampak baru saja tiba dari bepergian.

Sekilas tak terpikirkan apa-apa. Selepas beberapa langkah, dia terhenti. Seperti ada sesuatu yang janggal. Berpikir sesaat, dia merasa bahwa santri yang berpapasan dengannya persis dengan sosok yang dia cari. Segera dia berbalik arah, kembali lagi ke ndalem kiai.

Assalamu’alaikum”, dia mengulang lagi bertamu.

Pak yai menjawab salam dan mempersilahkan masuk. Sebenarnya, ketika mendapat ucapan salam, kiai sekejab terhenyak. Tapi tak lama justru tersenyum halus dan mengangguk pelan. Di dalam ndalem, sudah-sedang ada seorang santri yang duduk takdzim menghadap kiainya.

Baca juga:  Ulama Banjar (194): KH. Nuruddin Marbu Al-Banjari

“Kenapa kok balik lagi?” Tanya Kiai.

Ngapunten, maaf sepertinya orang yang saya cari adalah dia ini” santri utusan Mbah Dullah melihat ke arah seseorang yang tertunduk diam di depan kiai.

“Yah.. kalau memang sudah semestinya, tak mungkin untuk ditampik”.

“Memang dia adalah Abdul Aziz. Kalau memang Mbah Dullah yang memintanya, ya sudah kamu bawa saja dia” tukas kiai kepada utusan Mbah Dullah.

“Aziz, sekarang juga kamu ke kamar. Beresi semua baju dan barang-barang, kamu ikut pergi dengan orang ini!” perintah kiai kepada santri di depannya.

Santri yang bernama Abdul Aziz ini, lantas ikut pergi bersama dengan utusan Mbah Dullah. Abdul Aziz benar-benar merasa asing. Tak pernah bertemu, apalagi mengenal seseorang yang sekarang mengajaknya pergi. Walaupun bingung dan penasaran, dia ikut saja. Sepanjang perjalanan, tidak ada dari kedua orang ini yang bicara. Semua diam dengan isi kepala dan denyar di dada masing-masing.

Keterkejutan Abdul Aziz semakin menjadi. Setelah turun dari bus, di terminal Pati, Aziz ditinggal begitu saja. Cuma dititipi pesan, “dawuh Mbah Dullah, kamu disuruh tinggal di sini”. Sudah, itu saja.

Dengan kondisi tak tahu apa-apa, Aziz tinggal di musholla kecil, dekat terminal kota Pati. Sehari, sebulan, sampai berbulan-bulan Aziz masih tak menahu persis untuk apa dia di sini. Tapi yang dia tahu pasti bahwa ‘ada alasan khusus’ dia disuruh ke sini. Karena yang menyuruhnya adalah seseorang yang, pengasuh pondoknya saja merasa segan.

Sekitar tiga bulan hidup dalam tanda tanya. Sedikit petunjuk muncul. Di siang hari, ada seorang sepuh yang datang menemui Abdul Aziz. Sosok ini mengaku bernama Dullah.

Baca juga:  Ulama Banjar (16): KH. Abdus Syukur Jamaluddin

“Ya, mungkin dia inilah Mbah Dullah” pikir Abdul Aziz.

Sosok yang selama ini menjadi keladi terdamparnya dia di sini, akhirnya muncul juga. Memberanikan diri, Aziz bertanya:

“Mbah, apa yang harus saya lakukan di sini, kok njenengan menyuruh saya tinggal di sini?”

“lha, keahlianmu apa?.” Jawaban Mbah Dullah begitu ringkas.

Lalu Mbah Dullah pergi. Tidak lagi bicara, dan tidak menoleh ke belakang. Tidak memberi bekal, uang atau sembako, atau apapun yang bisa membantu hidup di rantau.

Lambat laun masyarakat daerah terminal ngopeni (memperhatikan) Abdul Aziz. Dia diterima masyarakat sebagai penunggu sekaligus imam musholla. Beberapa warga sekitar mulai menitipkan anaknya untuk sekedar belajar mengaji Al-Qur’an pada Abdul Aziz.

Sehari, sebulan, bertahun-tahun berlalu. Abdul Aziz sekarang telah menjadi tokoh agama disegani di daerah Pati. Tidak hanya bagi warga sekitaran terminal, tapi masyarakat Pati kota secara umum. Sekarang masyarakat mengenalnya sebagai KH. Abdul Aziz, sosok kharismatik yang mengasuh pesantren dan membawahi beberapa lembaga pendidikan Islam di daerah Pati kota.

Cerita ini fakta yang nyata. Dituturkan oleh KH. Abdul Aziz sendiri kepada salah satu tamu yang sowan kepadanya. Pada satu kebetulan yang betul, tamu ini bertamu ke rumah saya dan menceritakan semua ini.

Beserta seluruh takdzim dan kerinduan, Al-Fatihah untuk Mbah Dullah yang pada hari Ahad, 25 Sya’ban 1422 H atau bertepatan dengan 11 November 2001 di sore hari, beliau wafat, meninggalkan keluarga dan ribuan bahkan ratusan ribu santri dan muhibbin-nya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
4
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top