Sedang Membaca
Kliping Keagamaan (9): Film Panas Eva Arnaz
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Kliping Keagamaan (9): Film Panas Eva Arnaz

Eva Arnaz, 30 Oktober 1993

Pada masa 1990-an, perfilman Indonesia dianggap lesu tapi sekian film berhasil diputar di bioskop malah membarakan berahi penonton. Penulis mengalami masa 1990-an bersama film-film “panas” di gedung bioskop dekat SMA Negeri 2 Solo. Ah, masa lalu itu memalukan!

Penulis sering membolos, mahir merokok, dan pembual. Uang SPP biasa digunakan untuk membeli rokok dan tiket film. Ia bersama komplotan bergirang menonton film. Pada saat dan setelah menonton film, para remaja brengsek itu cangkeman tentang tubuh perempuan dan pamer diksi-diksi berahi. Wah, mereka khianat dengan pesan orangtua, gagal mengamalkan penataran P-4!

Di Indonesia, film “panas” itu polemik puluhan tahun. Di Tempo, 1 Desember 1984, Eko Prontowidagdo menulis komentar bermula dari pemutaran film-film Indonesia sering pamer adegan seks: “Sebab, kalau kita mau bersikap realistis, siapakah yang tidak menyenangi adegan semacam itu, terlepas dari hukum-hukum etika yang berlaku?” Ia menganggap orang-orang film bersalah, terutama produser. Penonton pun turut bersalah bila ketagihan menonton film-film “panas”. Ia pun usul: “Ada penataran P-4, yang memang merupakan sesuatu yang diharap-harapkan memberikan dampak positif. Maka, alangkah serasinya kalau orang-orang film didahulukan!” Penulis komentar bakal malu dan tambah marah saat mengetahui film-film panas semakin merajalela pada masa 1990-an.

Baca juga:  Kewajiban Perempuan dalam Islam

Ingatlah kita dengan masa lalu dan biografi artis. Foto perempuan cantik berkerudung. Baju lengan pendek. Bibir merah. Mesem. Perempuan itu bernama Eva Arnaz. Foto dimuat bareng berita pendek di Tempo, 30 Oktober 1993. Artis idaman kaum lawas. Pada abad XXI, kaum muda kesulitan mengenali Eva Arnaz. Mereka sudah memiliki artis-artis idaman, tak selalu Indonesia. Mata mereka mengarah ke Korea Selatan. Kita membaca: “Jika banyak artis ribut karena film-film lama yang ‘panas’ diedarkan ulang di saat artis sudah ‘dingin’, Eva Arnaz diam saja. Ia sendiri tak cemas. Bintang yang di masa lalu film-filmnya sering membuat merinding ini tak keberatan film-filmnya diputar kembali.” Lho! Ingat, masa 1990-an adalah masa “terpanas” dalam industri film mengundang para penonton sering berahi.

Eva Arnaz mengakui “kebinalan” di masa lalu. Pengakuan lumrah: “… itu adalah bagian dari masa lalunya yang tak mungkin dihapus.” Pada usia bertambah tua, Eva Arnaz dan para bintang “panas” masa lalu sudah memiliki jalan hidup berbeda. Ada artis sudah bertobat dan mulai mendapat sebutan hajah di depan nama. Sekian artis pun protes. Eva Arnaz memilih cuek. Ingat Eva Arnaz, ingat film berjudul Akibat Pergaulan Bebas dan Bumi Bulat Bundar. Orang mungkin menganggap itu film klasik berkategori “panas”. Pemutaran lagi film-film lama di masa 1990-an adalah hak produser. Eva Arnaz mengerti dan enggan protes.

Baca juga:  Inggit Ganarsih, Perempuan di Samping Soekarno

Kita sengaja mengingat Eva Arnaz untuk menilai para artis di industri film dan musik Indonesia mulai berubah haluan. Mereka mengaku mendalami agama dan bertobat. Nah, sekian perempuan mulai tampak berjilbab. Si lelaki memelihara jenggot dan memilih busana mengesankan religius. Mereka tiba-tiba “beriman banget”. Eh, sekian artis malah menjadi pendakwah. Edisi kejutan di Indonesia abad XXI. Ingatlah kita pada Eva Arnaz. Pada masa 1990-an, ia sudah naik haji dua kali. Ia mengaku rajin mengaji dan mendalami soal-soal agama. Pada musim film “panas”, ia tahu diri, realistis memberi komentar ke publik. Ia tak berlagak suci atau menjadi pendakwah dadakan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
3
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top