Fikri Mahzumi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Menjadi Wasit Pertarungan Ideologi

Tujuan utama dari merdeka adalah terciptanya kedamaian, sehingga setiap pemeluk agama bebas mengamalkan ajaran menurut keyakinan dan kepercayaannya masing-masing, tidak ada hegemoni atau marginalisasi, tapi kesetaraan dan keadilan yang dijunjung tinggi di hadapan hukum konsensus. Dan terbukti bangsa Indonesia yang majemuk ini mampu mengikatkan pada falsafah persatuan bhineka tunggal ika.

Sudah maklum memang merawat lebih sulit dari menanam. Kemerdekaan sudah terwujud dan bangsa ini telah menikmatinya selama puluhan tahun. Ada yang merasa puas pun sebagian masih mendamba titik idealitas arti kemerdekaan. Tapi yang dirasa bersama oleh setiap kompenen terkecil negara Indonesia hingga kini merupakan capaian yang harus disyukuri, tentu dengan tetap mengedepankan sikap kritis. Damai menjadi kata sederhana yang bermakna jero [dalam].

Logika yang bisa dimainkan misalnya, harta tidaklah berarti tanpa kedamaian, pun juga jabatan dan kekuasaan apalah artinya apabila tidak ada ketenangan dalam menjalaninya. Falsafah inilah yang melahirkan sikap kompromitif berupa Pancasila, setelah rumusan Piagam Jakarta masih dirasa belum akomodatif bagi kemajemukan bangsa oleh founding fathers yang mayoritas muslim. Bolehlah menengok apa yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika, ketika kedamaian tercerabut oleh kepentingan politik dan ideologi, maka betapa susahnya menjalankan syariat agama.

Pada beberapa wacana dan fakta yang akhir-akhir ini mencuat di Indonesia, patutlah sama-sama direnungkan merawat kedamaian di negara ini amatlah berarti daripada memaksakan ego kelompok dan golongan meskipun bertujuan baik dalam perspektif tertentu. Fakta semakin rapuhnya persatuan antar-anak bangsa yang membuat khawatir banyak pihak dan tokoh-tokoh bangsa oleh kepentingan pragmatis yang mengatasnamakan rakyat ataupun agama, maka sebagai bangsa yang waras memunculkan visi pemersatu merupakan langkah logis dan berarti.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Kenapa Kiai Wahid Hasyim Tidak Poligami

Jika agama berarti kedamaian, maka merawatnya menjadi kewajiban bagi setiap yang berakal sehat dan beragama. Memang sejak merintis kemerdekaan ada sebagian yang tidak menerima terhadap arus utama kebangsaan, Kartosuwiryo menjadi pencetus agenda Darul Islam dan mengalami metamorfosis ke macam perkumpulan dan gerakanyang masih mewarisi gagasan tersebut, menurut kajian Martin van Brueinessen berjudul Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia, gerakan islam intoleran ini terus membayangi selama dari masa Orde Lama sampai Reformasi dan sekarang semakin kuat sejak akses informasi global menjadi pintu propaganda.

Dalam ruang damai ini, musuh bersama adalah setiap pihak yang secara sengaja ingin merusak sendi-sendi terciptanya kedamaian, keadilan dan ketentraman bagi seluruh manusia yang bernafas di Negara Republik Indonesia. Tidak perlu bersikukuh untuk mewujudkannya harus dengan gaya islam, atau penerapan syariat Islam. Karena bisa dipastikan akan berbenturan dengan gaya beragama yang senyatanya memang tidak tunggal. Biarkan agama tumbuh menjadi komitmen yang sangat privat melalui dakwah simpati, dan kalaulah terlihat sebagai realitas pada wilayah publik itu menjadi surplus agama itu sendiri.

Sejarah umat manusia memang tidak bisa dinafikan dari penggalan persitiwa dimana satu dengan lainnya  saling memangsa, perang merupakan tradisi primordial yang sudah dinaskan bagi spesies ini. Lalu pertanyaannya, apa yang didapatkan manusia dari peperangan? Kemenangan tentunya. Tapi pernahkah terbesit pertanyaan,apakah titik itu akan menjadi akhir? Tentu tidak. Karena kekalahan saat ini akan memupuk perjuangan lain yang mengantarkan pada peperangan di kemudian hari dan tinggal tunggu siapa pemenang berikutnya. Di sinilah agama hadir dengan cara simpatiknya, tentu untuk mewujudkan kedamaian. Salamun qawlan min Rabb al-Rahim.

Jalan Tengah Musyawarah

Baca juga:  Foto-Foto Lawas Gus Dur Selalu Memesona dan Bermakna

Menyikapi problem kebangsaan yang mengkhawatirkan bagi kesatuan Negara Republik Indonesia memang dibutuhkan kecermatan selain ketegasan. Andai Gus Dur [KH. Abdurrahman Wahid] ada maka penyelesaiannya mungkin bisa sangat sederhana, gitu aja kok repot! Tanggapan imajiner itu mungkin bisa mengarah pada satu solusi, karena pada dasarnya suatu konflik membutuhkan moderasi oleh pihak yang bijak dan tidak memihak. Gus Dur bagi penulis merupakan orang yang konsisten menjadi penengah sebagaimana diwarisi dari pendahulu-pendahulunya di Nahdlatul Ulama [NU].

Ada suatu gagasan Gus Dur yang amat berkesan yaitu tertuang dalam tulisan yang berjudulYang Terbaik Ada di Tengah yang termuat dalam kumpulan artikel Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Di awal paragraf, Gus Dur mengutip hadis, khair al-umur awsathuha. Tulisan ini memaparkan ide Gus Dur tentang sikap moderat yang mengarah pada independensi. Analisa dari gagasan-gagasan Gus Dur mengantarkan pada apa yang dicapai muslim Indonesia merupakan wujud pribumisasi roh keislaman yang telah mengakar lama, dan tidak ada pertentangan berarti antara keindonesiaan dan keislaman, sehingga tidak diperlukan konsep negara agama, tapi Islam akan secara natural membangun citranya di Indonesia melalui komitmen pemeluknya dalam menjalankan syariat di tengah pluralisme dan arus kekinian.

Dikotomi antara nasionalis dan agamis sebenarnya sudah melebur sejak kemerdekaan hingga reformasi dari pengalaman pada momen-momen krusial seperti yang ditunjukkan sikap KH. Hasyim Asy’ari yang setuju terhadap revisi sila pertama dari Piagam Jakarta supaya bisa akomodatif terhadap minoritas yang juga berandil mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara yang merdeka, lalu ketika NU pada tahun 1984 mendeklarasikan mau menerima Pancasila sebagai asas Jamiah. Atau ketika dalam penerapan hukum pernikahan yang juga mengakomodir kelompok minoritas. Dan masih banyak momen penting lain yang menghadapkan antara keindonesiaan dan keislaman, maka penyelesaiannya adalah musyawarah yang saling menjaga hak semua bagian dari bangsa dengan cara mufakat.

Baca juga:  Riwayat Gus Dur Meledek dan Menyerang HMI

Akhir kata, dalam setiap pertandingan apapun,  wasit selalu berada dalam upaya menengahi berdasarkan aturan yang sudah menjadi konsensus oleh dua belah pihak yang saling bertanding. Jika satu pemain terjebak offside, wasit  meniup peluit sebagai peringatan. Meskipun kadang terjadi protes, pada akhirnya semua pemain harus tunduk pada peraturan yang disepakati agar suatu pertandingan bisa berlanjut hingga akhir, dan pihak manapun yang menjadi pemenang, sportifitaslah yang dijunjung tinggi. Wa Allah a’lam bi al-shawab wa ila Allahi turja’u al-umur. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top