Apa yang memberikan kita makna hidup? Jika sesuatu yang memberikan kita makna tersebut dihilangkan, apakah itu akan membuat kita menjadi seorang yang bukan diri kita lagi?
Itu adalah pertanyaan yang kerap diajukan dalam diskursus filsafat, tepat ketika kita mengalami krisis eksistensial. Para teolog atau filsuf sering menganjurkan bahwa kita perlu memikirkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial serupa.
Namun nampaknya kebanyakan kita jarang memerhatikan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Kita lebih senang menjalani hidup tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya mendorong dan memotivasi kita; Kita sibuk memikirkan sesuatu yang dangkal ketimbang sesuatu yang benar-benar penting.
Namun itu adalah hal yang wajar. Mengajukan pertanyaan adalah hal yang jauh lebih sulit daripada menjawabnya. Pertanyaan tentang makna ini mungkin mengingatkan kita pada pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan, atau pada narasi-narasi Nihilisme. Karena bagaimana pun, makna hidup itu seperti udara–kita tidak dapat menyadari keberadaannya sampai ia benar-benar tidak ada. Tidak heran, berbicara tentang makna hidup sering kali membawa kita pada teka-teki yang luar biasa rumit dan tak jarang berakhir pada jalan buntu.
Dalam “Meaning in Life and Why It Matters,” filsuf Susan Wolf berpendapat bahwa makna hidup itu mengacu pada wilayah tertentu dari motivasi manusia yang tidak dapat (atau tidak boleh) direduksi ke dalam egoisme, apalagi moralitas. Wolf berpikir bahwa meskipun tindakan-tindakan kita sering dilatar belakangi oleh kepentingan pribadi (egoisme) atau apa yang kita anggap benar atau adil (moralitas), ada alasan lain yang berada di luar dua kategori tersebut yang menjadi motif di balik tindakan kita, yaitu cinta.
Seorang ayah yang bekerja seharian penuh demi menjaga agar tungku api di dapur tetap mengepul mungkin lebih didasari atas cinta pada keluarganya, alih-alih karena kewajiban moralnya sebagai seorang kepala keluarga. Bagi Wolf, apa yang kita cintai merupakan hal yang membuat kita menjadi diri kita sendiri. Sulit untuk memikirkan siapa diri kita ketika kita kehilangan hal-hal yang kita cintai, sebab sesuatu yang kita cintai lah yang membuat kita rela bangun di pagi buta.
Makna Hidup dan Budaya
Ide kita tentang makna hidup selalu berkaitan erat dengan budaya, meskipun Wolf tidak membahas hal ini dengan rinci dalam bukunya.
Budaya memang tidak homogen: satu budaya dapat memunculkan objek yang tak terhitung jumlahnya. Namun yang jelas, apa yang memberi kita makna hidup pasti memiliki hubungan dengan budaya tertentu. Sebab hal-hal yang kita cintai sebagian besar dibentuk oleh budaya yang kita warisi. Dan selama kita mencintai objek atau aktivitas tertentu, kita juga mencintai (setidaknya sebagian) dari nilai-nilai budaya yang kita miliki.
Yang Dicintai
Selain budaya, posisi dan pandangan kita pada isu-isu sosial atau politik seringkali bersumber dari apa yang kita cintai. Meskipun hal ini, saya kira, juga berakar pada budaya tempat kita berasal. Hal ini memiliki implikasi penting pada pertimbangan seseorang sebelum mengambil sebuah keputusan.
Di zaman di mana segala sesuatu mulai terpolarisasi ini, adalah lebih mudah bagi kita untuk menilai mereka yang memiliki pandangan politik yang berbeda, sebagai orang yang egois dan bodoh. Mungkin di satu sisi penilaian semacam ini tidak adil karena cenderung mengabaikan kemungkinan bahwa mereka yang menganut pandangan berbeda bukan karena mereka bodoh atau tidak bermoral, namun karena apa yang memberikan mereka makna hidup (yaitu, apa yang mereka cintai) berbeda dari kita.
Namun di sisi lain, kemungkinan di atas tidak selalu tepat. Hanya karena suatu tindakan dapat memberikan kita makna hidup, itu bukan berarti tindakan tersebut benar; Koruptor yang menghasilkan uang dengan merugikan negara dan liyan tidak dapat dibenarkan, sekalipun itu dilakukan karena cintanya pada keluarga; Pembunuh yang mendapatkan kepuasan dari membunuh tentu harus dihentikan; Pun mereka yang menggantungkan makna hidupnya pada cita-cita utopis untuk mendominasi negara dan memicu huru-hara (khilafah, komunisme, dsb) berdasarkan paham kelompok mereka juga harus dihentikan, lebih-lebih jika hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang vandal.
Memang benar bahwa makna hidup memberikan kita alasan untuk hidup, namun bukan berarti itu membenarkan kita untuk berbuat seenaknya pada orang lain. Salin itu, hanya karena kita sudah menunjukkan bahwa apa yang orang lain cintai selama ini, secara moral, salah, bukan berarti itu akan mengubah hidup mereka secara instan. Itulah mengapa moralisasi sering kali gagal. Sebab, tidak ada yang suka jika apa yang bermakna dan penting bagi mereka disalahkan dan dianggap bodoh.
Saran saya, jika kita mau membuat orang lain tertarik dengan apa yang kita percayai atau yang kita anggap benar, kita harus menarik hal-hal yang mereka sukai (dari budaya mereka). Toh selain itu mereka juga tidak harus membuang apa yang penting bagi mereka hanya untuk mengubah pandangannya sesuai dengan apa yang kita inginkan, terutama jika kita cukup dewasa untuk mengakui bahwa apa yang kita yakini sebagai tindakan yang benar itu sifatnya selalu relatif.