Sebuah tasbih bisa saja berhenti sebagai tasbih atau malah bisa saja menjadi bermakna sangat simbolis. Putuskanlah untaian manik-maniknya, maka berhentilah ia sebagai tasbih. Tapi, satu tasbih bisa bermakna lebih.
Misalnya, jelang Pemilu 2019 lalu, kita melihat bagaimana seuntai tasbih yang diberi kepada capres yang berlaga bukan lagi sekedar tasbih. Tasbih itu melampaui materinya, ia menjelma jadi sosok simbolis. Ia punya kekuatan, ia memiliki otoritas. Perpindahannya dari tangan yang satu ke tangan yang lain memberi pesan tentang sesuatu yang besar, sesuatu yang bernisbah keagamaan, meski tak bisa dibantah turut pula sesuatu yang beraroma politis.
Mari perlahan mengelak dari perbincangan politik. Mari bicara tentang tasbih. Almarhum AE Priyono, Direktur Riset di Public Virtue Institute, di timeline fb-nya berkalam tentang perjalanan sebuah tasbih. Tuturannya sungguh menarik hati. Beliau posting tulisannya pada 28 Mei 2019 lalu. Saya menyusunkan ulang tulisan tersebut, ditambah beberapa tafsiran saya sendiri. Anggap saja ini semacam meditasi ihwal tasbih oleh beliau. Dalam tulisannya, AE Priyono menyebut tokohnya dengan “dia”. Tak bisa dipastikan siapa dia yang dimaksud. Postingannya berjudul “Tasbih yang Hilang”.
Adalah dia kehilangan tasbih pada zikir rutin sehabis Isya. Entah pada lambaran ratusan zikir ke berapa. Tasbih itu berupa rangkaian manik-manik kayu eboni warna ungu tua. Anyamannya sendiri. Awalnya tasbih itu adalah Rosario pemberian seorang bhiksu tua yang pernah dikenalnya namun kini sudah moksa. Jumlah Rosario itu 108. Olehnya dianyam kembali menjadi untaian 99 butir perlambang 99 Asmaul Husna. Sembilan butir sisa Rosario disimpan di dalam kotak kayu.
Dari biksu itu, dia mendapat cerita panjang tentang aneka ragam tasbih Buddha. Yang terpendek dari tasbih Buddha adalah rangkaian delapan manik-manik. Ini simbol dari delapan dharma. Yang lebih panjang berpunya 21 manik-manik, lazimnya dibikin dari batu akik pelbagai warna.
Ada lagi 27 dan 54 manik-manik nan tersusun dari bermacam jenis kayu padat yang sangat keras. Untuk kedua jenis rangkaian tasbih ini, proses bikinnya amat unik. Demi setiap butir manik-manik kayu itu mengkilap, seorang bhiksu harus menyepuhnya dengan cara meremaskan jari-jari tangan pada satu per satu butirannya, sambil mengucapkan ratusan ribu mantra. “Zikir” seorang bhiksu ternyata lebih keras dan lebih berdisiplin. Zikir para bhiksu dilantunkan dalam pelbagai suara. Senandung, gumam, rintihan, ratapan, dan berbagai tata-suara mantra, dilanjunkan sesuai jenis-jenis gerakan tasbihnya.
Tasbih terpanjang yang terdiri dari 108 manik-manik bermilik kisah menarik. Beberapa jenisnya dibikin dari mutiara. Ia adalah jenis tasbih Buddha yang dipunyai hampir semua aliran – Mahayana, Hinayana, Buddha Tibet, Zen Buddhism, dll. Jumlah 108 manik-manik menandaskan simbol dari ajaran ihwal 108 jenis dosa diyakini dalam Buddhisme. Para bhiksu aliran Theravada menggunakan jenis tasbih ini, lebih banyak tinimbang lainnya.
Dia yang kehilangan tasbih itu punya i’tiqad yang gigih bahwa tasbih itu akan kembali. Tasbih itu tetaplah benda profan, duniawi. Bisa sirna dari sebuah ruang, namun boleh tersua kembali di suatu waktu. Walaupun pernah dilumuri jutaan mantra Buddhis, dan kini dilumuri dengan lafaz tahmid dan takbir, tasbih yang “kesingsal” itu tetaplah tak akan pernah berubah wujud, atau – ia hanya mengalami “transformasi ontologis”.
Menginjak tahun kelima sirnanya, tasbih itu kembali di malam ke-23 Ramadan di tahun ini kepada dia. Mungkin semacam hadiah Lailatul Qadr. Tak bisa ditegaskan apakah tasbih itu ditemukan. Mungkin tepatnya memang ia kembali. Persis sebutan paling mendasar dalam wacana teologi Islam, wujud yang berhubungan dengan kata wajada-yajidu. Tasbih itu wujud yang menyimbolkan ihwal penemuan sekaligus pengejawantahan.
Tuturan AE Priyono ini sejenak mengingatkan pada satu buku yang mengudar kisah seorang anak reinkarnasi bhiksu. Seperti dituturkan oleh Vicki MacKenzie dalam Reinkarnasi, terbitan Grafiti, adalah Osel Hita Torres, menjadi reinkarnasi dari seorang bhiksu atau Lama. Dalai Lama mengakui Osel sebagai reinkarnasi Lama Yeshe yang meninggal pada 1984 di California. Buku itu memuat banyak cerita mengenai pengalaman orang-orang yang akhirnya memilih jalan menjadi bhiksu atau pertapa Buddha. Cerita-cerita itu menggambarkan tentang perjalanan yang memuat juga ritual-ritual panjang mereka sebagai pembasuh dosa. Ritual-ritual panjang berisi rapalan ratusan ribu hingga jutaan mantra dengan tasbihnya. Jumlah yang selayaknya bikin kita selaku orang awam bergidik.
Di Nashrani, utamanya Gereja-gereja Orthodox dan Gereja-gereja Ritus Timur (gereja Uniat), daerah Yunani, juga ada tradisi memakai tasbih. Komboskini, demikian dinamai. Kadang-kadang tasbih ini disebut juga “Rosario Byzantin”. Dibuat dari wol hitam atau warna lain yang dipintal dan berbiji 100, meski ada juga yang lebih pendek, yakni terdiri dari 33 manik-manik. 33 biji barang kali dibikin untuk mengenang umur Yesus yang pendek, 33 tahun. Jumlah manik 100 belum diketahui untuk apa.
Orang Rusia juga memakai tasbih. Di Gereja Orthodox Rusia tasbih ini digunakan untuk mendaras “Doa Yesus”. Jumlah manik-maniknya 33, 50, 100, 103, 150, 300 atau 500 dibikin dari wol hitam yang dipintal juga. Chotki demikian tasbih itu disebut.
Orang-orang Hindu, Jain, dan sejumlah Sikh, termasuk juga orang-orang Buddha menyebut tasbih sebagai Japamala. Japamala dalam bahasa Sansekerta merupakan gabungan dua kata, yakni mala bermakna karangan bunga dan japa sebagai satu praktik ritual berupa pengulangan mantra atau nama ilahi. Orang Hindu yang saleh berupaya menghapalkan seribu nama Tuhan dalam bahasa Sansekerta, dengan kepercayaan bahwa setiap nama penuh makna dan mengungkapkan salah satu sifat-Nya.
Tasbih merupakan sebutan yang lazim bagi lidah non-Arab khususnya Iran, Tajikistan, Urdu, dan Afghanistan. Orang-orang Turki, Albania, dan Bosnia menamainya tespih. Dalam bahasa Arab, tasbih disebut dengan misbahah yang berarti alat hitung tasbih. Betul. Tasbih adalah alat hitung.
Bagi pribadi awam, berlantun zikir atawa mantra puluhan kali tak usahlah ratusan kali sudah terasa berat. Karenanya, beberapa lebih memilih setelah memunahkan ibadat/ritual wajib untuk berdiri langsung kembali pada aktivitas sebelumnya. Demi mendengar bhiksu Buddha, pertapa Hindu, rahib Kristiani, atau sufi yang berzikir/bermantra/berdoa laksaan hingga jutaan kali niscaya bikin kepalanya puyeng. Meski sejatinya, tentu tak sedikit yang tahu bahwa ajaran-ajaran agama menekankan agar pengikutnya yang tulus berlantun zikir dalam kehidupan sebanyak-banyaknya. Aktivitas inilah mentransendensikan hal profan menjadi sakral. Itu pula menandai bermaknanya lokus “God-Spot” dalam batang otak homo sapiens.
Kembali pada perihal tasbih, apakah ia ihwal material atau turut melibatkan juga ihwal ontologis. Pertanyaan ini sejatinya kehilangan relevansi. Mengapa?
Karena berpijak pada dogma dualisme materi/spirit. Saya tidak hendak mengulang betapa dogmatisme yang melihat materi bersifat oposisional terhadap spirit merupakan inti dari paradigma sains modern. Sejak era Einstein yang melihat ruang dan waktu tidak lagi dalam skala tridimensional, tapi lebih dalam kerangka kontinuum, maka materi/spirit pun seyogianya diberi sematan nexus alih-alih dualisme. Nexus barang kali bila kita tarjim menjadi nisbah, keterpautan, keterhubungan. Cambridge English Dictionary memberi nexus definisi sebagai suatu koneksi penting antara dua bagian dari satu sistem atau sekelompok benda. Karena itulah, tasbih sekaligus adalah ihwal material-ontologis.
Saya tidak tahu, apakah perbincangan ini mubazir, tetapi, mesti digarisbawahi bahwa terkait dengan paradigma fisika, belakangan dengan kemunculan astrofisika, definisi materi menjadi penuh dengan tanda Tanya. Betul bahwa kita berada dan menginderai dunia yang kasat mata, atau material. Namun, realitas subatomik menjadikan hal-hal yang bersifat material tampak janggal. Persis di situlah terletak kebingungan para peneliti sehingga menyebut karakter dasar materi dengan dualitas gelombang-partikel.
Arkian, sebuah tasbih tentu adalah material berupa rangkaian manik-manik. Ia menjadi sarana untuk berhitung entah zikir, mantra, atau doa. Manakala lantunan bahasa religius itu didaras berlaksa hingga jutaan kali, diri sang pelantun mungkin bersatu dengan alat hitungannya. Ia menjadi tasbih itu sendiri. Atau, tasbih itu menjadi dirinya.