Tak habis-habisnya jika kita membicarakan humor atau guyonan dari kiai Hasyim Muzadi. Mantan Ketua Umum PBNU dan Pendiri Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok ini, selain terkenal karena ceramah-ceramahnya yang mudah diterima semua golongan, beliau juga terkenal karena humor-humornya yang lucu sekali.
Bahkan dalam buku Biografi Hasyim Muzadi: Cakrawala Kehidupan, diceritakan bahwa Gus Dur pun pernah beberapa kali membawakan guyonan yang ia dapatkan dari kiai Hasyim Muzadi.
Dalam suatu ceramahnya di tahun 2014, di acara manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani di TQN Center Masjid al-Mubarok, yang penulis akses pada 8 Maret 2021, Kiai Hasyim Muzadi bercerita mengenai sidang bahtsul masail tentang penetapan hukum rokok yang dilaksanakan di Kediri.
Sebagai informasi, bahtsul masail adalah forum diskusi para ulama untuk menentukan sebuah persoalan agama yang belum ada hukumnya. Terutama dalam bidang fiqh.
Begini kisahnya:
Suatu ketika di Kediri ada sidang bahtsul masail yang membahas tentang hukum rokok. Anggota bahtsul masail saat itu memutuskan bahwa rokok itu adalah makruh tahrim, atau sesuatu yang mendekati haram dan lebih baik ditinggalkan.
Dan ternyata salah satu anggota dari bahtsul masail ada yang memiliki pabrik rokok. Dan nama merk rokoknya adalah “Minna”. Lalu ia bertanya kepada anggota yang lain, “usul, ini kalau rokok saya dimakruhkan kantor NU itu tidak jadi. Karena yang nyokong itu saya.”
Lalu anggota yang lainnya pun berunding lagi.
Dan akhirnya diputuskan lagi dengan keputusan yang berbeda.
“rokok makruh tahrim kecuali ‘Minna’”. Ujar kiai Hasyim diiringi tawa jama’ah.
Namun, meski ini hanya guyon, menurut kiai Hasyim ini juga merupakan sebuah renungan bahwa hukum itu belum selesai. Baru selesai ketika keikhlasan yang menyangga hukum itu.
Baik dalam hukum agama atau hukum-hukum yang lainnya.
Kalau orang yang ahli hukum semestinya adalah orang yang membela hukum, tapi pada realitanya tidak semua seperti itu. Ada yang makelaran hukum. Ada juga yang jual beli hukum. Ada pula yang sarjana hukum masuk hukuman.
Maka dari itu menurut Kiai Hasyim, yang bisa membedakan itu adalah di posisi hatinya. Apakah ikhlas atau tidak.
Lebih lanjut, menurut kiai Hasyim untuk memproses hati itu tidak bisa dilakukan dengan cara apapun, kecuali dengan proses tasawuf sufiyah.