Sedang Membaca
Tentang Rumi dan Luasnya Cinta
Hanif Amin
Penulis Kolom

Senang menulis dan belajar. Sarjana Ilmu Politik UI. Tinggal di Matraman, Jakarta Timur. Bisa disapa via twitter.com/gondolasoy, instagram.com/hanifamin66 .

Tentang Rumi dan Luasnya Cinta

Sabilus Salikin (21): Pembahasan Tasawuf

Dalam Masnavi (H. Bingul: 2007), Jalaluddin Rumi menulis :

Cinta adalah api, ketika ia berkobar, terbakar habis segalanya, kecuali Yang Tercinta.

Indah sekali! Panjangnya hanya dua baris, tetapi begitu kaya dengan makna——memantik pembacanya untuk menyelami kembali apa yang dimaksud dengan “cinta”.

Rumi adalah seorang sufi; salah satu yang paling mahsyur di dunia. Masnavi adalah mahakaryanya; kumpulan syair yang terdiri atas 6 jilid dan 27.500 bait (C Helminski & K Helminski: 1996). Jika Rumi dan karyanya dianggap istana, maka saya baru jalan-jalan sedikit di sepetak pekarangannya. Saya tidak sanggup mendefinisikan Rumi atau menjelaskan Masnavi. Akan tetapi, tidak butuh waktu lama untuk menyadari kalau cinta adalah tema besar dalam sajak-sajaknya.

Eksplorasi Rumi yang begitu dalam bisa kita tengok lagi melalui contoh syairnya yang lain:

Sang pecinta tiada lelah mengejar yang tercinta:

Ketika yang tercinta datang, sang pecinta musnah

Engkau adalah pecinta terhadap Tuhan, dan demikianlah Tuhan

maka ketika Dia datang tak ada sehelai rambutmu yang tersisa

Lagi-lagi indah. Kemudian, seiring membaca kita akan semakin sadar bahwa objek kecintaan Rumi adalah Tuhan. Dia-lah yang dimaksud sebagai “Yang Tercinta”. Dalam sajak-sajaknya kita belajar bagaimana mengejar dan mencintai-Nya.

Saya pikir, ajaran cinta Rumi adalah obat penawar bagi geliat zaman kita. Sekarang cinta disebutkan di mana-mana. Budaya populer—novel, film, sinetron, video pendek—menguliti cinta tidak ada habisnya. Hanya saja, kebanyakan dari mereka begitu kering, dangkal dan miskin. Kini, cinta sebagai kosa-kata kebanyakan terperangkap dalam konsep romantisme antara dua orang manusia. Tingkat-tingkatnya adalah perkenalan, pendekatan, pacaran dan pernikahan—dengan konflik sedikit bertebaran di sela-selanya. Bumbu-bumbunya adalah obrolan panjang, hadiah-hadiah, atau aktivitas seksual dalam berbagai tingkat-tingkatnya.

Baca juga:  Gus Dur dalam Gagasan Emmanuel Levinas: Islam sebagai Etika Sosial

Saya jadi teringat satu percakapan dengan seorang teman. Selama 1 hingga 2 jam ia bicara tentang keresahannya ketika pacaran. Masalah-masalah standar, lah. Lantas saya bertanya di akhir, “memangnya menurutmu sayang atau cinta itu apa?” Ia menjawab sedikit panjang. Intinya, bagi dia cinta dan sayang adalah “hal-hal yang memberinya kepuasan dan rasa senang”. Ia menyayangi pacarnya karena si pacar bisa memberinya dua hal tersebut. Konsep kecintaannya berhenti di situ. Ia bahkan tidak membayangkan cinta sebagai upaya saling berkembang atau perasaan saling terikat.

Rasanya, pemahaman tersebut menjangkiti generasi kita, terutama anak-anak muda. Sebagian besar “energi” yang kita punya untuk mencinta terkungkung hanya dalam kerangka romantik. Bahkan bisa lebih ngeri lagi: cinta tereduksi kepada seks. Maka pada hubungan-hubungan yang lain, perasaan cinta dan sayang yang berkobar hebat tidak punya tempat. Status jomblo begitu menyiksa; dan obatnya adalah pacaran. Akan tetapi, apakah harus seperti itu?

Saya pikir tidak.

Kita tahu rasa sayang punya tempat lain untuk tumbuh: orang tua, saudara, teman, tanah air, komunitas, dan lainnya. Perasaan tersebut bisa menjadi begitu nyata dan kuat. Misalnya, pada saat tertentu, bernyanyi “Indonesia Raya” bisa menitikkan air mata bagi banyak orang. Akan tetapi, sebagian besar rasa sayang kita tidak dirawat untuk wadah-wadah tersebut.

Baca juga:  Syekh Zain, Mbah Mutamakkin dan Thariqah 'Alawiyyah

Lebih jauh lagi, ada khazanah cinta yang amat kaya dalam agama. Rumi adalah bagian dari tradisi sufisme Islam yang menyumbang pengetahuan yang amat kompleks soal cinta (A. Schimmel: 1975). Tradisi Kristen mengenal konsep agape: cinta yang akarnya adalah pemberian, yang mengubah tiada menjadi ada (J. Vervaeke: 2019). Dalam tradisi-tradisi tadi, cinta menjadi jauh lebih kaya dari sekadar “pemenuhan kebutuhan” (yang kerap dikenal sebagai eros). Ternyata, ia punya sifat yang begitu luhur; berkelindan dengan pengorbanan, penciptaan, transformasi diri, spiritualisme dan bersifat transenden.

Pada akhirnya, sebagian besar pemahaman kita soal cinta terperangkap dalam sesuatu yang dangkal dan sesungguhnya “kosong”—berpusat pada kerangka romantik dan pemenuhan nafsu yang tidak ada ujungnya. Saya rasa, “kunci pembebas”-nya ada di tangan Rumi dan orang-orang bijak lain. Apabila mau menggali dan mempraktikkan ajaran mereka sedikit demi sedikit, saya percaya kehidupan kita akan menjadi lebih baik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top