Presiden Joko Widodo kembali menetapkan pahlawan nasional menjelang 10 November 2019. Ada satu nama yang menarik untuk dikulik. Ia adalah KH. Masjkur. Lelaki kelahiran 30 Desember 1898 M itu, merupakan sosok ulama, pejuang sekaligus politisi pilih tanding. Kiprahnya membentang dari masa kolonialisme hingga Orde Baru. Usia tua bahkan tak mampu menghalangi pengabdiannya pada bangsa dan agama. Hingga hayat memanggil pada 19 Desember 1992, baru segala aktivitas perjuangannya berakhir.
Kisah panjang hidup putra pasangan H. Ma’shum dan Hj. Maimunah tersebut memang menarik untuk dikupas. Mulai masa muda hingga akhir hayatnya. Akan tetapi, dalam tulisan singkat ini, menarik kiranya menengok bagaimana ia menghabiskan masa mudanya.
Lahir di lingkungan kauman, Jalan Masjid, Singosari, Malang, Masykur kecil tumbuh di kalangan keluarga yang religius. Kedua orang tuanyalah yang memberikan pengajaran agama dasar semasa kecilnya. Bahkan, sebelum masuk usia aqil baligh, Masykur telah menunaikan haji bersama kedua orang tuanya. Tepatnya pada 1910. Ini merupakan haji kedua baginya. Karena semasa di kandungan, ibunya pun menunaikan rukun Islam kelima tersebut (M. Solehudin, Nakhoda Nahdliyyin, 2013: 203).
Dengan kegemblengan keagamaan yang begitu ketat dari orang tuanya, Masjkur muda pun besar dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Jalan keilmuan menjadi jalur yang ditempuhnya. Pesantren pertama yang ditempuh adalah pesantren bapaknya dulu, Pesantren Bungkuk, Singosari, Malang.
Di tempat yang tak begitu jauh dari kampung halamannya itu, ia belajar langsung kepada KH. Muhammad Thohir. Kiai Thohir merupakan ayahanda dari KH. Nachrowi Thohir yang kelak menjadi Ketua Umum PBNU (1944-1952).
Selama empat tahun sejak 1911 hingga 1914, Masjkur belajar kepada Kiai Thohir. Lantas melanjutkannya ke Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Di sini, ia mendalami ilmu gramatika bahasa Arab [nahwu – shorof]. Di sini, ia belajar tak lebih setahun.
Kemudian, berpindah ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang legendaris itu. Di Pesantren yang didirikan oleh Kiai Hamdani pada abad 18 tersebut, Masjkur muda bertahan hampir dua tahun lamanya.
Setelah dari Sidoarjo, Masjkur yang kala itu masih berusia 20 tahun (1918), kembali melakukan rihlah ilmiah. Kali ini, pesantren yang dituju adalah Pondok Tebuireng, Jombang yang kala itu diasuh oleh Hadratusysyekh KH. Muhammad Hasyim Asyari.
Di pesantren yang pada masa itu, menjadi jujukan santri dari seluruh Nusantara itu, Masjkur mendapat tugas khusus dari pengasuh. Ia diminta untuk menemani masa kecil Kiai Wahid Hasyim. Saat itu, ayahanda Gus Dur tersebut, masih balita (sekitar berusia 4 tahu). Ia oleh Kiai Hasyim dibekali dengan sebuah tongkat untuk membina Wahid kecil.
Pada 1920, Masjkur beranjak dari Jombang. Ia tabarukkan kepada Syaikhona Kholil di Kademangan, Bangkalan, Madura. Di pesantren ini, banyak sanad keilmuan ulama tanah air yang tersambung. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Ma’shum (Lasem), KH. Saleh Laten (Banyuwangi) KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo) dan sejumlah kiai besar lainnya yang mencatatkan diri belajar kepadanya.
Dahaga ilmu Masjkur muda tak sebatas itu. Meski telah lebih dari satu dasawarsa menuntut ilmu di pesantren, ia seakan tak pernah puas menyalami samudera ilmu. Pada 1922, ia memutuskan belajar ke Pesantren Jamsaren, Solo.
Dalam kenangan Saifudin Zuhri dalam autobiografinya Berangkat dari Pesantren, Jamsaren kerap diidentikkan dengan pesantren modern, meski pada hakikatnya banyak pula yang beraliran ahlussunnah wal jamaah. Tak terkecuali pengasuhnya, KH. Abu Ammar yang merupakan tokoh NU lokal.
Anggapan demikian, besar kemungkinan muncul dari para santri Jamsaren yang menuntut ilmu di madrasah yang tersebar di sekitarnya. Seperti Madrasah Mambaul Ulum, Al-Islam, dan Arabiyah.
Di sanalah berbagai aliran keagamaan diterima, baik yang bermadzab maupun yang anti-madzab. Selain itu, kota Sala, yang merupakan salah satu kota besar, menjadi tempat berkumpul para tokoh pergerakan pada masa itu. Hal ini, sedikit banyak mempengaruhi paradigma berpikir santri Jamsaren lebih terbuka.
Di Jamsaren ini, Masjkur mendapatkan pengalaman berbeda dari pesantren-pesantren sebelumnya. Di sini, ia banyak berdiskusi dengan santri dari lintas aliran keagamaan. Tak hanya seputar agama yang didiskusikannya. Namun, topik sosial, politik, ekonomi dan budaya juga tak luput dari perhatian dari Masykur muda. Hal tersebut semakin mengenalkan Masjkur pada jati dirinya dan menyadari akan arti penting perjuangannya. Termasuk perjuangan melawan kolonialisme (Mastuki HS dan Ishom el-Saha, Intelektualisme Pesantren: Seri 3, 2006: 96-97).
Petualangan keilmuan Masjkur muda tak berhenti di Sala. Ia kembali melanjutkan perjalanannya ke Garut, Jawa Barat. Yakni di Pesantren Penyosongan, Cibatu, Pesantren Ngamplang, dan Pesantren Keresek, Cibatu. Pesantren terakhir ini merupakan pesantren tua di daerah Priangan. Pendirinya adalah Kiai Tobri bin Kiai Nurhikam.
Di pesantren yang berdiri pada 1887 itu, Masjkur diperkirakan belajar langsung kepada Kiai Tobri atau Kiai Thabari dalam sumber lainnya. Besar kemungkinan, Masjkur nyantri di Garut ini, dipertautkan dengan putra Kiai Tobri yang pernah nyantri juga di Bangkalan. Putra Kiai Tobri tersebut, adalah Kiai Nahrawi (Ading Kusniadi, Sejarah Pesantren, 2014: 182).
Sepulang dari menuntut ilmu di berbagai daerah tersebut, kala usianya menginjak 25 tahun, ia mulai mengabdikan diri di medan pengabdian. Madrasah menjadi jalur pengabdian yang ditempuhnya. Pada 1923, ia mendirikan Madrasah Misbahul Wathan [Pelita Tanah Air]. Madrasah ini merupakan satu jaringan dengan Nahdlatul Wathan yang dipelopori oleh Kiai Wahab Chasbullah. Maka, tidak heran ketika Nahdlatul Ulama dideklarasikan, seiring waktu madrasah yang dirintis oleh Masjkur ini pun berafiliasi dengan NU. Saat ini, madrasah tersebut dikenal dengan nama al-Ma’arif, Singosari yang menaungi pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga setingkat menengah ke atas.
Masa muda Masjkur yang dihabiskan untuk menuntut ilmu dan mengabdikannya, adalah bagian dari kesadaran akan peran perjuangan sebagai anak bangsa. Dengan ilmu, agama dan bangsa akan terselamatkan. Dalam sebuah wawancara dengan Ahmad Tohari sebagaimana dimuat di majalah Amanah (Nomor 04, 29 Agustus – 11 September 1986), ia mengaku demikian:
“…. pesantren kan pendidikan. Pendidikan cara Islam. Pendidikan ini memang merupakan fitrah manusia. Manusia sonder pendidikan, tidak akan menjadi manusia. Contohnya, orang bodoh itu gampang dijajah. Karena pendidikan kita yang masih terbelakang kita dijajah Belanda selama 300 tahun lebih. Padahal Islam tidak menghendaki penjajahan. Karena itu, begitu keluar dari pesantren, saya mendirikan sekolah.”
Sungguh, masa muda yang patut diteladani dari seorang pahlawan nasional!