Pandangan para pemimpin besar dunia seringkali meloncat jauh ke depan mendahului zamannya yang terkadang sulit dipahami oleh banyak orang. Demikian juga dengan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid, presiden Republik Indonesia keempat. Sejumlah langkah-langkah visioner Gus Dur kerap dianggap ganjil, bahkan dipandang gagal oleh sebagian orang, termasuk dalam pola diplomasinya. Setidaknya ada dua penyebab utamanya. Apa saja?
Pertama, penilaian sejumlah pihak terhadap Gus Dur acapkali bertumpu pada “teks baku” pernyataannya saja, dan melepaskan konteks serta aspek kesejarahannya. Padahal, dinamika penilaian melibatkan penafsiran individu yang bersifat historis dan kontekstual.
Kedua, orang tidak bisa menelaah kehidupan batin orang lain secara langsung, melainkan harus membangun akses terhadap manifestation of life melalui verstehen yang menghubungkan setiap ekspresi dengan peristiwa mental dan keadaannya. Oleh karena itu, pandangan Gus Dur yang dahulu ditentang oleh sebagian kalangan, kini satu demi satu mulai dipahami dan dijalankan setelah beberapa tahun berlalu yang menunjukkan ketajaman pemikirannya yang matang.
Di bidang diplomasi dan politik luar negeri, Gus Dur menjadikan budaya sebagai pijakannya. Penunjukkan doktor studi Islam menempati posisi menteri luar negeri merupakan salah satu pemikiran “out of box” Gus Dur dalam melihat masalah politik luar negeri dan hubungan internasional. Tampaknya, ada dimensi yang sedang didorong kuat oleh Gus Dur dalam politik luar negerinya untuk meningkatkan pamor Indonesia di kancah internasional dengan memanfaatkan kapital sosial dan budaya Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia.
Dipilihnya Alwi Shihab sebagai menteri luar negeri dilakukan dengan kalkulasi matang.
Gus Dur tahu potensi besar kawasan Timur Tengah yang penting bagi pemerintah Indonesia untuk penguatan kedaulatan nasional dan peningkatan kesejahteraaan rakyatnya. Alwi juga dipandang cukup dekat dengan kalangan AS, terutama akademisnya, karena menempati posisi sebagai profesor di Hartford Seminary dan profesor tamu di Harvard Divinity School. Tentu saja, Gua Dur tahu AS menjadikan Timur Tengah sebagai kawasan tempat “bermain”.
Sebagai konstruktivis, diplomasi Gus Dur berpijak pada budaya dan nilai yang dibangun bersama oleh sejarah dan masyarakat, bukan ide sepihak atau agensi tertentu yang seringkali memaksakan pandangannya di ranah internasional. Keadilan, perdamaian dan kemanusiaan menjadi nilai dasar yang diusung Gus Dur dalam politik luar negerinya.
Langkah diplomasi zig-zag Gus Dur yang belum dipahami saat itu memicu kritik dari sejumlah kalangan, karena dianggap bertentangan dengan pakem profesionalisme jawatan diplomatik. Ketika itu, masalah diplomasi budaya belum menarik perhatian serius. Tapi Gus Dur sudah melangkah maju ke depan dengan memberikan sumbangan penting mengenai peran budaya dalam diplomasi internasional. Baru sekitar satu dekade terakhir, masalah diplomasi budaya menjadi isu penting kementerian luar negeri Indonesia.
Iran sebagai salah satu negara penting di kawasan Timur Tengah juga menjadi perhatian Gus Dur, bahkan jauh sebelum menjabat sebagai presiden Republik Indonesia.
Sebelum mengunjungi Iran, Gus Dur pernah menerjemahkan buku filsuf Iran, Seyyed Hossein Nasr berjudul “Islam dalam Cita dan Fakta” yang diterbitkan Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional tahun 1983. Karya yang dikerjakan bersama adiknya, Hasyim Wahid, memberi kerangka tentang pandangan Islam tradisional yang dikembangkan Nasr dan memiliki kedekatan dengan pemikiran Gus Dur dalam sejumlah masalah, termasuk menyikapi perkembangan zaman dan rumusan mengenai masa depannya yang terbentang antara cita dan fakta.
Buku itu mengawali penerjemahan karya-karya pemikir Iran yang mencapai puncaknya pada dekade sembilan puluhan hingga awal dua puluhan.
Kedua, warisan Gus Dur di Iran melampaui jejak fisiknya. Jejak fisik Gus Dur di Iran tercatat hanya dua kali. Penelusuran yang saya lakukan menunjukkan tapak kaki kunjungannya di Iran dari sebuah foto beliau ketika berdiri di depan podium kayu kediaman mendiang Imam Khomeini di tahun 1991, yang diabadikan Wahyu Muryadi dari majalah Tempo. Gus Dur juga tidak lupa menziarahi makam Imam Khomeini. Waktu itu, Gus Dur menjabat sebagai ketua umum PBNU.
Kunjungan kedua Gus Dur ke Iran ketika menjabat sebagai presiden Republik Indonesia di tahun 2000. Lawatan beliau ke Iran kali ini merupakan kunjungan singkat yang berlangsung tidak lebih dari dua hari saja. Pada 15 Juni 2000, Presiden KH Abdurrahman Wahid bertemu dengan Ayatullah Khamenei, dan salah satu isu yang dibicarakan keduanya mengenai apresiasi Gus Dur terhadap pemikiran para tokoh intelektual Iran. Pada saat yang sama, Gus Dur juga menyisipkan sebuah tawaran dialog kebudayaan mengenai pemikiran dari Nusantara ke Persia.
Gus Dur menjadikan diskursus intelektualisme sebagai pintu gerbang diplomasinya untuk mengenalkan khazanah Islam Indonesia di Iran. Isu ini baru menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, Gus Dur sudah menyampaikannya sekitar 20 tahun silam. Tampaknya mengena yang disampaikan Khofifah Indar Parawansa pada acara Tunas GUSDURian 2020, “Infrastruktur [nasional, termasuk negara] masih belum siap menerima pemikiran Gus Dur yang jauh ke depan”.
Dalam konteks Iran, juga dengan negara lain di Timur Tengah, Gus Dur sudah mengusung discourse equilibrium sebagai jalan baru untuk meretas perdamaian di Timur Tengah sejak dua dekade lalu. Tapi ketika itu, infrastruktur pemikiran Islam Nusantara yang moderat dan damai belum siap menjadi wacana internasional sebagai bagian dari diplomasi. Baru belakangan mencoba menjadi second track diplomacy.
Langkah Gus Dur ini sebagai ikhtiar untuk menempatkan hubungan Indonesia dan Iran di luar dominasi sentimen politik dan mazhab, dalam pengertian yang sempit. Gus Dur mengapresiasi karya para pemikir Syiah dari Iran, tapi juga menawarkan sebaliknya. Sehingga dialog yang kontruktif akan terbangun dalam iklim yang setara dan kontributif.
Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur menemukan relevansinya dalam konteks dinamika Islam di Indonesia dan Iran. Penguatan dialog ini akan semakin memperkaya khazanah nasionalnya masing-masing, dan bukan sebaliknya saling melemahkan. Tapi sayangnya, ide besar Gus Dur ini masih belum mendapat perhatian serius di Tanah Air. Kini saatnya untuk mendulang warisan Gus Dur yang tercerai-berai di berbagai penjuru, termasuk di tanah Persia. Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.