Langit yang penuh cahaya, angin yang tenang, udara yang sejuk, dan kesunyian yang indah. Pada malam itu, daun seperti berhenti sejenak menyaksikan malaikat turun ke bumi dengan sayapnya yang tenang. Malam itu dikenal sebagai lailatul qadar, malam mulia.
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah pernah bercerita bahawa beliau mendapat wahyu dari Allah tentang seorang laki-laki Bani Israil yang berjihad seribu bulan tanpa henti. Rasulullah sangat kagum, lalu beliau berdoa, Tuhanku Engkau telah menjadikan umatku orang-orang yang pendek usia dan sedikit amalan.
Kemudian Allah memberikan keutamaan kepada Rasulullah saw. dengan memberikan lailatul qadar yang nilainya lebih baik dari seribu bulan yang digunakan oleh laki-laki Bani Israil itu berjihad di jalan Allah.
Al-Qur’an memiliki kedudukan yang mulia, diturunkan di bulan mulia, dan memiliki kemuliaan sampai akhir zaman. Di setiap bulan Ramadan itulah, kemuliaan Al-Quran ditunjukkan oleh Allah.
Ada makna simbolik di balik malam lailatul qadar. Manusia senantiasa diingatkan, diajak untuk merenung kembali bahwasannya Tuhan selalu hadir mengajak menyeru manusia untuk kembali kepada Tuhannya melalui Al-Qur’an.
Harry Gaylord Dorman dalam bukunya Towards Understanding Islam (1948) menulis, Kitab Al-Qur’an ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didektekan oleh Jibril, dan sempurna setiap hurufnya. Ia merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga kini untuk membuktikan kebenarannya dan kebenaran Muhammad.
Aktualitas Al-Qur’an tetap terjaga hingga masa yang akan datang. Hal ini karena Al-Qur’an memang diturunkan untuk manusia, sebagai sebuah pedoman dan pegangan kaum muslim dan umat manusia.
Fazlurrahman menulis dalam bukunya Islam (2017), bahwa Al-Qur’an ialah moral, yang memancarkan titik beratnya kepada monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral tidak dapat diubah; ia merupakan perintah Tuhan; manusia tidak dapat membuat hukum moral; ia sendiri harus tunduk kepadanya. Ketundukan itu disebut Islam dan perwujudannya dalam kehidupan disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah.
Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya al-Qur’an, Realitas dan Limbo Sejarah (1985) menulis tentang bagaimana al-Qur’an memandang optimistis terhadap masa depan. Ayat dalam Surat Ad-dhuha yang berbunyi walal aakhirotu khoirullaka minal uulaa (yang kemudian lebih baik dari yang mula-mula) memberi sinyal tentang masa depan ini.
Namun optimisme haruslah didasarkan atas kemampuan kerja dan perjuangan secara berencana dan tanpa henti. Tanpa adanya inisiatif manusia, Tuhan tidak akan membantunya.
Dalam proses aktualisasi ini, Al-Qur’an meminta agar manusia mematuhi hukum-hukum moral transendental, sebagaimana alam semesta mematuhi hukum-hukum alam. Selama manusia meninggalkan aturan-aturan moral yang diturunkan Al-Qur’an, maka selama itu pula sebenarnya manusia telah kehilangan pedoman, kehilangan pegangan. Sehingga mereka terjerembab dan tersungkur di kubangan peradaban.
Bentuk dari aktualitas Al-Qur’an tentu saja tidak terlepas dari kreativitas dan daya potensi manusia dalam menggunakan akal pikiran karunia Tuhan untuk menyerap dan menerjemahkannya dalam kehidupan mereka. Tanpa adanya itu, Al-Qur’an akan menjadi monumen sejarah yang diam dan statis. Ia hanya akan menjadi mushaf yang akan lapuk dimakan zaman.
Sebagai sebuah pedoman dan pegangan umat Islam dan umat manusia, Al-Qur’an telah memuat cerita-cerita orang terdahulu yang bisa dijadikan acuan moral manusia. Pada Al-Qur’an pula kita mendapati dorongan yang tinggi untuk memajukan ilmu pengetahuan.
Dengan ilmu pengetahuan itulah manusia bisa menguasai dan memanfaatkan alam semesta ini. Tanpa adanya ilmu pengetahuan dan riset yang menjadi nafas kemajuan, maka umat islam pun akan tertinggal.
Barat mencapai kemajuan sampai seperti sekarang ini adalah karena ia memajukan teknologi dan riset. Jika umat Islam Indonesia meninggalkan tradisi ilmu pengetahuan, meninggalkan kerja riset dan kerja ijtihad maka sudah tentu umat Islam di Indonesia akan semakin tertinggal.
Dalam bulan-bulan Ramadan pada sepuluh hari terakhir, Rasul memberikan teladan untuk merenung, meminta ampun kepada Tuhan dan memohon petunjuk. Ini memberikan tamsil kepada kita bahwa untuk menerima pesan atau wahyu dari Tuhan, kita memang dianjurkan untuk berhati lapang, mensucikan diri dan menepi dari hiruk pikuk dunia yang penuh fatamorgana.
Dengan ibadah kepada Tuhan, kita dituntunkan untuk senantiasa membersihkan diri serta membersihkan jiwa kita. Puasa adalah bagian dari cara kita untuk mendidik jiwa dan membersihkannya.
Al-Qur’an sebenarnya memiliki acuan, pedoman, dan landasan moral yang kuat yang menjadi dasar bagi manusia sampai akhir zaman. Akan tetapi, kita dihadapkan pada persoalan yang cukup serius mengenai sikap kita terhadap Al-Qur’an.
Muhamad Rasyid Ridha menuliskan ini dalam bukunya Wahyu Ilahi kepada Muhammad (1983). Bahwa umat Islam tidak mempunyai majlis keagamaan dan ilmu pengetahuan yang membahas pengertian-pengertian serta petunjuk-petunjuk Al-Qur’an untuk mengurus umat manusia. Majlis untuk mengurus kepentingan umum, yang senantiasa berubah sesuai perkembangan zaman serta kemajuan ilmu dan teknologi.
Majlis yang memberikan penjelasan mengenai adanya pertentangan antara imu dan nash-nash agama. Majlis tempat para cendekiawan Eropa bisa mendapatkan penerangan tentang nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah yang masih samar bagi mereka.
Inilah tantangan kita ke depan sebagai umat Islam. Al-Qur’an akan menjadi acuan moral yang sesuai dengan kemajuan zaman, jika umatnya juga senantiasa terus melakukan ijtihad dan pembaruan di segala bidang sebagaimana yang diajarkan Al-Qur’an.
Begitu pula sebaliknya, jika Al-Qur’an hanya dikaji berdasarkan konteks masa lampau, serta tidak mendorong kita untuk berubah dan lebih maju, ia akan menjadi mushaf yang terbengkalai dan mandeg. Hanya akan membawa umatnya kepada kemunduran. (SI)