Tentu saja, saya datang ke Banda Aceh beberapa hari lalu, tidak ditarik oleh semata-mata rangsangan kopinya, melainkan oleh hal lain. Akan tetapi, bagi penikmat kopi, jika sudah tiba di Ulee Kareng tapi tidak mampir ke salah satu kedai kopinya, ceritanya akan berbeda, lebih hambar. Meskipun kafe banyak muncul belakangan, Ulee Kareng sudah duluan dikenal sebagai tempat ngopi.
Adapun salah satu kedai kopi yang sudah lama berdiri di sana adalah kedai kopi “Solong”. Bersama Ampon, saya menuju ke sana langsung setiba mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda (BTJ).
Kedai ini sudah lama saya kenal, sebagai sisipan dalam obrolan penggemar kopi ataupun tersurat pada bentuk kopi kemasan. Kiranya, banyak tokoh yang sudah pernah singgah di tempat ini meskipun pengelola warung tidak mengabadikannya dalam bingkai foto-foto yang biasanya di gantung di dindingnya, sebagai promosi.
Saya tidak tahu, bahan dasar kopi yang dijual di warung—mereka tidak menggunakan nama kafe—ini berasal dari varietas apa atau dari mana, apakah robusta atau arabica murni; apakah hanya dari Aceh, Lintong atau juga dari Lampung; Ataukah mereka punya “resep campuran rahasia” sehingga mereka bisa memadukan pelbagai varietas dengan komposisi tertentu untuk menentukan citarasa yang sesuai selera mereka, khas Solong?
Kayaknya begitu, sebab mereka tidak seperti kafe kekinian yang memajang berbagai jenis biji kopi Nusantara di dalam toples di barnya. Mereka ini selera kawak dalam tampilan dan suasana.
Yang makin membuat istimewa ngopi di situ adalah karena teman ngopi saya, selain Ampon, adalah kehadiran Nazar Shah (pendiri dan vokalis Apache 13), Amek dan Oscar. Kami lantas ngopi dan ngobrol asyik soal musik dan puisi, dua tema yang kami anggap paling akrab dengan kopi.
Kembali ke kopi…
Untuk mengukur kualitas kopi (sebagai minuman) sebelum kita menyesapnya, cara yang mudah dilakukan adalah melihat permukaannya, meneliti ‘crema’-nya, buih kuning kecoklatan yang menutupi permukaan. Tentu saja, cara paling jasmaniah yang lain adalah dengan menghidu: mendekatkan hidung ke atas cangkir lalu menghirup uapnya (sambil pejam mata kayak di iklan itu). Puncak pengujian adalah menyeruputnya, jangan kebanyakan menyanjung malah nanti orang lain yang duluan minum.
Nah, di Solong, kopi disajikan sudah dalam keadaan diberi gula, tapi tidak diaduk. Jadi, suka-suka kita saja, mau diaduk tiga kali putaran supaya muncul ‘kenis’ (rasa manis yang sedikit) atau diaduk hingga 60 kali supaya semua butiran gulanya larut dan habis.
Yang khas dari warung ini adalah cara mengolahnya. Seperti halnya banyak warung kopi di Aceh, mereka menggunakan kantong penyaringan. Bubuk kopi yang digiling agak kasar kemudian dimasukkan ke dalam kantong, dicelupkan ke dalam wadah alumunium berisi air kopi, lalu diangkat. Yang dimasukkan ke dalam cangkir kopi itu adalah hasil tirisan yang mengucur dari saringan tersebut, mirip-mirip dengan dripper ala Vietnam tapi tidak serupa-serupa amat.
Saya sempat menyelidik, bertanya kepada salah seorang, tapi tidak di situ, melainkan di tempat yang lain. Saya kira, alat tersebut dijual bebas dan diproduksi massal oleh sebuah perusahaan alat-alat perkopian semacam YAMI, ternyata mereka bikin sendiri.
Si penjual kopi menjawab bahwa kantong kopi harus diangkat setinggi mungkin untuk mengurangi–nah, saya lupa, untuk mengurangi apanya–suatu kadar yang itu akan mempengaruhi citarasa. Ada-ada saja teknik mereka. Fisika mungkin dapat menjelaskan proses ini secara ilmiah.
Memang, kata Nazar, tidak semua warung kopi di Aceh mengikuti ‘mazhab’ penyajian seperti ini. Di bagian barat, kabarnya juga populer penggunaan ala “tubruk”. Berarti, kafe tapi jualannya kopi kemasan mungkin juga ada (tonton film “Aroma of Heaven [Biji Kopi Indonesia]” jika Anda ingin tahu).
Keunikan lain, saat asyik-asyiknya ngopi, sekitar menjelang pukul satu siang, tiba-tiba penjaga warung menutup pintu. Tak lama lagi setelah itu, terdengar azan dari masjid Baitusshalihin yang terletak di seberang warung kopi Solong.
Banyak warung kopi yang buka sesudah subuh. Lazim ditemukan di sana: sehabis salat subuh di masjid, mereka pindah ke warung kopi. Itu juga saya lihat di Sabang, tidak saja di Banda.
Hal yang sama terjadi lagi saat saya ngopi di Gron Kopi, di Landom, esok sorenya. Ketika saya keluar dari pelataran kedai menjelang maghrib untuk shalat di Masjid Raya Baiturrahman, saya saksikan, kota Banda mendadak serupa Kandahar, seperti kota mati: semua toko tutup semua.
Kata Fauzan, tradisi tutup kedai saat masuk waktu salat merupakan warisan leluhur, bukan berlaku sejak adanya perda. Di pelosok Aceh, aturan adatnya mungkin lebih ketat lagi.
Rupanya, warung dan toko pada tutup di saat itu, waktu yang kita kenal mustajab itu, waktu yang memang sebaiknya kita berada di masjid, bukan di warung, yang di kota-kota besar lain justru menjadi waktu yang paling asyik buat ngapel dan berangkat nongkrong.