Jam di dinding menunjuk pukul 10.35. Suasana sudah tampak sepi. Hanya seorang security yang tengah duduk di meja dekat resepsionis. “Kecil.. secara medis peluang itu nggak besar,” jawaban dokter Rofi membuat saya terhenyak. “Kami sudah optimalkan semua usaha, Gus Im juga sudah berjuang dengan keras. Tapi sejak jam sembilan malam ini kondisinya memang cenderung terus menurun,” sambungnya lagi.
“La haula wala quwwata illa billah,” batin saya tanpa mampu berucap apa-apa. Saya mengulurkan punggung tangan ke arah dr. Rofi dengan maksud bersalaman. Dia menyambut dengan menempelkan punggung tangannya pula, “Akehi ndungane, Ji,” katanya lagi sembari bersiap melangkah pergi.
Saya pun kembali ke ruang tunggu dan mulai membuka ponsel. Segera saya memgirim kabar tentang kondisi terakhir Gus Im tersebut kepada keluarga, kawan-kawan yang ikut bergilir jaga serta sejumlah sahabat Gus Im di luar kota. Saya mengajak mereka ikut medoakan agar kondisi beliau tidak makin terpuruk.
Gus Im mulai masuk rumah sakit sejak tanggal 29 Juni untuk tindakan operasi pada usus beliau yang mengalami masalah. Beliau langsung dirawat intensif di ruang ICU dan baru dapat pindah ke ruang perawatan di lantai lima pada tanggal 4 Juli. Saat itu semalaman saya menemani beliau. Entah karena pengaruh obat yang beliau konsumsi, saat itu tensi beliau sangat tinggi dan terlihat selalu gelisah. Saya duduk dan berdiri sepanjang malam untuk menenangkan.
Berkali-kali Gus Im berusaha bangkit dari tempat tidur, ingin berdiri dan mengeluh ingin pulang. Padahal saat itu sejumlah selang dan kelengkapan medis menempel di tubuh beliau. Berulangkali selang itu tercerabut dan saya harus minta suster untuk membantu memasangkannya kembali. Tapi Gus Im seperti tak mau menyerah. Beberapa kali saya diminta menopang tubuh beliau untuk duduk dan ingin berdiri. Tentu saja hal tersebut saya tolak dengan halus. “Gus, tubuh saya ini kecil. Nggak kuat kalau harus menopang sampean untuk berdiri,” rajuk saya sambil memegangi tubuh beliau.
Sesekali Gus Im menyandar namun tetap tampak sedang berpikir keras. Banyak hal yang kemudian silih berganti dan secara berlompatan beliau ucapkan. Saya sendiri terus berusaha membuat perasaan beliau nyaman dan tenang meski usaha itu juga seringkali gagal.
Beliau terus saja mengatakan keinginannya untuk pulang, “Ayo, aku wis siap”, kalimat itu berkali-kali terdengar dan membuat saya kadang jadi takut sendiri, sehingga segera pula saya cari cara mengalihkan pembicaraan. Saya ajak beliau membincang musik dan film yang beliau sukai. Dengan tema-tema ringan tersebut Gus Im bisa sangat rileks dan berbicara dengan runut dan banyak senyum. Beliau bahkan sempat melagukan beberapa bait dari lagu Blowing in The Wind.
Begitulah hari pertama di kamar perawatan bernomor 5210 itu kami lalui dengan suasana yang timbul tenggelam. Kadang tegang, kadang juga rileks. Karena selain mengajak bersiap-siap untuk pulang, berulangkali Gus Im juga terlihat memejamkan mata dan lalu melafalkan ayat “kullu nafsin da’iqotul maut”. Saya pun jadi degdegan menyaksikan pemandangan demikian. Apalagi saat beliau tiba-tiba menunjuk ke sisi kiri atau kanan badan saya sembari bertanya, “arek iku sopo jenenge?” Saya pun jadi makin tercekam oleh suasana demikian karena memang tidak ada orang lain di tempat itu selain saya sendiri.
***
Saat itu hanya ada tiga orang lain yang menginap di ruang tunggu VIP. Semuanya sudah tidur dan hanya tinggal saya yang terjaga sambil duduk bersandar di sofa. Jarum jam menunjuk angka 11.38. Saya lihat sebuah pesan wahatsapp masuk, dari dr. Rofi. Darah saya berdesir. “Kondisi Gus Im makin menurun. Pendongane ya. Tolong kasih tahu yang lain”, demikian bunyi pesan itu. Dengan agak gemetar saya langsung men-capture pesan tetsebut dan mengirimnya ke yang lain. Pertama-tama ke istri Gus Im, anak serta kawan-kawan lain yang biasa ikut jaga.
Saya keluar dari ruang tunggu dan berjalan menuju deretan kursi dekat resepsionis. Suasana sangat lengang. Hanya ada seorang security yang standby di sana. Saya duduk di kursi sambil mengamati keadaan. Sesekali saya hampiri security itu dan mengajaknya bercakap-cakap. Dia tidak memperbolehkan saya menengok kedalam karena memang waktu sudah larut malam. “Suster selalu memantau keadaan pasien pak. Bapak istirahat saja dulu,” katanya. Saya tak membantah dan kembali duduk.
Saya mengirim pesan ke sejumlah kerabat dan sahabat Gus Im untuk memberitahukan informasi terakhir yang saya dapat. Terkait sakit, seperti biasa Gus Im sendiri memang sering tidak memperkenankan untuk diberitahukan kepada siapapun. Baik keluarga maupun sahabat dan orang-orang yang mengenal beliau. Hal tersebut seperti sebuah aturan tak tertulis, SOP yang harus kami patuhi. Selain alasan untuk tak membuat repot orang lain seperti berulangkali beliau utarakan, Gus Im tentu punya pertimbangan lain dalam segi keamanan. Sebagaimana diketahui beliau memiliki standar survival yang tinggi. Selalu waspada dan menganalisis hal apapun dengan sangat detil. Begitulah Gus Im, dalam melihat sesuatu beliau seperti memgamati permata, tidak tunggal. Ditelitinya semua sisi hingga benar-benar yakin dan mengenali pola keseluruhannya.
Saya ikut menunggui beliau ketika sedang jatuh sakit di beberapa kali kesempatan. Diantaranya di RSUD Jombang sekitar tahun 2013, sebelum kemudian di Fatmawati saat operasi usus pertama, lalu Siloam, dan Mayapada. Rata-rata cukup lama beliau dirawat. Bisa lebih dari satu bulan. Meski demikian tak banyak yang tahu bila beliau sedang sakit. Jika ada kunjungan dari orang-orang tertentu yang dianggap berada di luar “radar” (demikian beliau biasa menyebut), maka beliau akan tanya darimana informasi tersebut berasal. Tidak jarang saya diminta “menyingkirkan” makanan atau oleh-oleh yang dibawa tamu yang beliau kurang berkenan menerimanya.
***
Saya menyandarkan punggung di sofa ruang tunggu dalam. Tapi sedikitpun rasanya saya tak dapat memicingkan mata. Saat itu saya berharap Gus Im dapat melalui keadaan ini dengan baik dan berangsur sehat kembali. Hal ini terkait dengan ingatan saya beberapa hari belakangan menyangkut hari Arofah yang jatuh pada tanggal 30 Juli. Sementara saat itu sudah tanggal 31 dan bahkan mulai masuk 1 Agustus. Pikir saya insyaallah tidak akan terjadi apa-apa dengan Gus Im. Bukan apa-apa, cukup banyak kejadian ganjil kami alami selama menjaga beliau.
Pertama-tama, motor yang saya tumpangi tiba-tiba oleng dan terjungkal di tengah jalan saat menuju rumah sakit tanpa sebab yang jelas. Karena motor cukup kencang, saya pun terpelanting ke jalan dan nyaris dihantam sebuah mobil. Belum hilang kaget saya tiba-tiba masuk telfon dari Gus Aziz, putra pertama Gus Im, yang mengabari bahwa ibundanya baru saja terjatuh. Belum berhenti sampai di situ, besuknya Savic memberitahu kalau mobilnya pecah ban dengan peleknya juga mengalami pecah di bagian tengah serta terot yang melengkung, suatu kejadian yang juga dianggap ajaib oleh bengkel yang menanganinya. Selain itu juga terdapat sebuah kejadian konsleting listrik yang mengakibatkan kebakaran pada gorden di kamar salah satu keluarga beliau pada hari kamis dini hari, selang sehari setelah kejadian yang dialami Savic.
Hal tak biasa lainnya juga terjadi sepulang saya dari rumah sakit sesudah Gus Im mengalami drop pada tanggal 25. Anak saya tiba-tiba terbangun pada jam 2 dini hari dan menangis keras serta berteriak histeris dan ketakutan. Saat itu saya sudah cukup yakin ada yang tak beres. Saya mengambil air dan menyipratkannya ke area kamar dengan membaca beberapa ayat Qur’an, “Siapapun, minggir!”, bisik saya ketika itu sembari melotot di pintu kamar. Mungkin juga kebetulan, wong saya juga biasa maen teater. Tapi walhasil tangis anak saya seketika itu berhenti. Dia minta gendong sebelum kemudian tenang dan bisa tidur kembali.
Tapi tampaknya cerita belum selesai. Besuk paginya istriku tiba-tiba sakit. Badannya demam serta berulang kali muntah. Seharian dia mengalami hal demikian sebelum akhirnya mereda seusai tiga kali muntahan cukup banyak terjadi di depan rumah. Saya tentu tak ingin berfikir macam-macam dengan mengaitkannya dengan sakitnya Gus Im. Saat itu saya hanya berpesan sebelum berangkat ke rumah sakit agar sebelum tidur dia tak lupa membaca muawidhatain, al-ikhlas dan ayat kursi dan kemudian mengusapkan telapak tangan dari ujung kaki hingga ujung kepala untuk tujuan cleansing.
***
Betotan gitar Slash membuka lagu Brucia La Terra yang menjadi nada sambung hape saya tiba-tiba terdengar menyentak pada pukul 3.17. Dokter Rofi menelfon. “Ji, kondisi Gus Im semakin turun saat ini. Sebaiknya sampean segera masuk dan temani beliau di dalam”, katanya. Seketika itu saya gemetar dan buru-buru berlari menuju pintu masuk HCU sembari menelfon Mbak Asti. Kebetulan saat itu dia sedang berada di rumah sejak siang setelah sebelumnya menginap di rumah sakit bersama Mba Iim, menantu keponakan Gus Im.
Seorang petugas sudah menunggu dan segera mengantarkan saya ke dalam. Saya langsung menuju ke kamar perawatan, dimana tiga orang suster sudah terlihat standby di sana. Salah seorang dari mereka segera menemui saya dan menjelaskan keadaan beliau. “Seluruh peralatan masih tetap pak, tidak da yang kami kurangi. Tapi kondisi pasien terus mengalami penurunan. Kami akan perlu mendapatkan izin bila ada tindakan-tindakan darurat yang diperlukan untuk menolong pasien”, kata suster. “Ya sus, istri beliau sedang menuju kemari”.
Saya mendekati tubuh Gus Im dan berdiri tepat di samping kanan beliau. Posisi sepertinya tidak berubah. Sama seperti tiga atau empat jam lalu saat terakhir saya masuk. “Gus, kuat nggih Gus. Bismillah. La haula wa la quwwata illa billah. Hasbunallah wa ni’mal wakiil”, kata saya di telinga Gus Im dengan suara agak keras. Sebentar saya mundur dan melihat ke arah monitor kecil yang memantau status medis beliau. Saya tak dapat menggambarkan perasaan saya ketika itu. Saya mundur ke bagian belakang dan mengeluarkan hape. Saya telfon sejumlah orang, keluarga, kerabat dan sahabat dekat yang saya tahu untuk mengabarkan kondisi tersebut. Saya blasting pesan cepat kepada mereka, “GI kritis. Mohon doanya”, demikian bunyi pesan tersebut. Saya berusaha tenangkan diri dan segera kembali mendekat ke samping beliau.
“Kullu nafsin daiqotul maut, tsumma ilaina turja’un. Gus, ndereaken saya nggih.. Asyhadu…”, pelan-pelan saya menuntun beliau melafalkan kalimah syahadah. Meski tak ada respon verbal, tapi saat itu saya sangat yakin beliau dapat mendengar ucapan saya. Setelah beberapa kali mengulangi bacaan, istri beliau tampak terburu-buru masuk. Tiba-tiba bunyi di monitor pantau berubah. Serta merta para suster sigap melakukan tindakan pertolongan. Seorang suster tampak memeriksa denyut nadi, sementara yang lainnya sibuk memasangkan semacam alat pompa bantu pernafasan. Ketika keadaan tampak semakin sulit, seorang suster laki-laki mulai memberikan bantuan pernafasan dan menstimulasi fungsi jantung dengan berulangkali menekan pada bagian dada.
Sementara kami terus berusaha mendukung dengan doa dan menuntunkan syahadah, sambil tetap berharap usaha para suster tersebut segeta membuahkan hasil. Namun apa boleh buat, Allah berkehendak lain. Gus Im akhirnya kapundut dan menghembuskan nafas beliau yang terakhir pada pukul 4.18.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un,” Mbak Asti mengusap wajah honey-nya itu sambil terus terisak.
“Aku akan tetap menjadi kekasihmu dunia akhirat,” demikian saya dengar dia terus berbicara kepada almarhum. Saya sendiri perlahan undur ke belakang untuk segera memberi kabar kepergian Gus Im tersebut kepada keluarga, kerabat dan para sahabat yang saya ketahui.
Selamat jalan, Gus Im. Selamat jalan pejuang! Sepertinya yaumul arofah telah dapat kaulampaui dengan baik.