Sedang Membaca
Amr bin Jamuh: Sahabat Sepuh, Veteran Perang Uhud

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Amr bin Jamuh: Sahabat Sepuh, Veteran Perang Uhud

Husein fahasbu

Amr bin Jamuh, seorang pemimpin kaum Yahudi Yastrib di era Jahiliyah. Ia juga dikenal sebagai kepala suku Bani Salmah, memiliki kharisma dan dikenal paling dermawannya manusia pada waktu itu. Pendek kata ia memiliki kedudukan mulia. Kebiasaan orang mulia adalah mereka memiliki patung yang terbuat dari bahan kayu terbaik. Sebuah patung yang diambil keberkahan tiap pagi dan sore, tempat kembali ketika tertimpa duka perih.
Ketika Islam tersebar dari satu pintu ke pintu yang lain di kota Yatsrib, Amr sudah berusia enam puluh tahun. Ia memiliki tiga anak dan ketiganya sudah masuk Islam di tangan Mus’ab ibn Umair. Ketiga anak itu adalah Muawwadz, Muadz, Khalladz. Bukan hanya ketiga anaknya, istrinya juga menyatakan masuk Islam. Hal itu semua tanpa diketahui Amr, sebagai kepala rumah tangga.

Dalam sebuah kesempatan, Hindun, istri Amr merenung bahwa makin ke sini Islam makin diterima banyak golongan di Yastrib. Hampir semua para pembesar tiap komunitas di sana sudah menyatakan keislamannya kecuali Amr. Sang istri yang amat mencintainya khawatir Amr meninggal dalam keadaan kafir berbeda dengan anggota keluarganya yang lain.

Sebenarnya Amr sudah merasakan hal yang tak mengenakkan terkait tersebarnya Islam pada waktu itu. Ia khawatir ketiga anaknya keluar dan meninggalkan agama moyang mereka. Dalam sebuah kesempatan, Amr mewanti-wanti kepada Hindun agar ketiga anaknya tidak berinteraksi dengan Mus’ab. Hindun yang sudah tahu bahwa ketiganya sudah masuk islam dia saja. Khawatir membuat batin dan psikologi Amr tegoncang. Lebih-lebih dia sudah sepuh.

Baca juga:  Tujuh Ajaran Humanis Sufistik dari Sunan Drajat

Selang berapa lama, Hindun merayu Amr agar mendengarkan beberapa ayat al-Qur’an yang telah dipelajari oleh Muadz dari Mus’ab. Muadz kemudian membacakan beberapa ayat al-Qur’an. Setelah menyimak bacaan al-Qur’an tersebut, Amr kaget bukan main. Ia memuji-muji ayat tadi. Amr kemudian bertanya:

“Alangkah indahnya perkataan tadi?”

Muadz menjawab:

“Bahkan ada yang lebih indah dari ini, wahai bapakku. Apakah engkau tak hendak membait Muhammad sementara semua kaummu telah mengikutinya.”

Amr terdiam sejenak. Ia berfikir tentang apa yang dikatakan anaknya itu. Setelah diam, ia melanjutkan perkataannya:

“Aku tak akan mengerjakan hal itu (bai’at) sehingga aku bermusyawarah dan minta pendapat kepada Lata (nama patung kebanggaan Amr).”

Amr memang memiliki nilai spritualitas dan hubungan emosional yang kuat dengan patung-patung yang ada di rumahnya. Tiap hal apapun yang ia hendak lakukan selalu berdasarkan dengan patung yang ia anggap merestui atau tak merestui. Bagaimana caranya musyawarah dengan patung? Caranya ia menjadikan seorang perempuan di balik patung dan ia berbicara seolah patung itu bisa diajak komunikasi.

Setelah sekian lama ditambah ketiga anaknya membuktikan bahwa patung yang ia sembah tidak memberi kemanfaatan, akhirnya Amr menyatakan diri masuk Islam. Ia kemudian menjadi muslim taat, mencicipi nikmatnya keimanan, menyesali jejak buruk masa lalunya ketika masih kafir. Hidupnya berubah total. Ia memeluk Islam dengan kuat. Islamnya zahir batin. Ia juga bahkan ikut memperjuangkan Islam dengan jiwa, harta dan keluarga.

Baca juga:  Mengenal Asy-Syifa: Perempuan Pejuang Literasi di Masa Rasulullah saw

Ketika perang Uhud hendak bergejolak, Amr minta izin untuk ikut. Di usia yang amat sepuh dan kondisi fisiknya tak memungkinkan, ia bersikeras untuk ikut. Tujuan utamanya tidak lain adalah mencari kesyahidan. Ketiga putranya kompak melarang. Bukan karena faktor usia tetapi Amr juga pincang, hingga jikapun ikut ia tak maksimal juga dalam peperangan.

Dilarang oleh ketiga anaknya, Amr minta izin sendiri kepada nabi. Ia juga membantah kekhawatiran-kheawatiran putranya pada nabi. Akhirnya nabi mengizinkan ia ikut sembari bersbada:

“Biarkanlah dia ikut berperang, siapa tahu Allah Swt. akan mengaruniainya syahid.”
Dan benar saja, ia akhirnya menjadi syahid dalam medan perang Uhud. Dan ia tercatat sebagai peserta perang paling sepuh.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top