Tragedi Mangir yang sudah berlangsung beberapa abad lalu muncul lagi ke permukaan melalui kasus pelarangan Upacara Odalan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Atas kejadiana tersebut, penulis berusaha menggali informasi lapangan dari beberapa teman yang ada di lokasi baik saat kejadian maupun yang tinggal di lokasi tersebut.
Beberapa informaasi yang penulis dapat menyebutkan bahwa pembubaran tersebut bermula dari ketersinggungan msyarakat Islam yang ada di petilasan tersebut atas upacara ritual yang bernuansa Hindu.
Mereka merasa bahwa Ki Ageng Mangir adalah seorang muslim dan penyebar agama Islam yang juga dikenal dengan sebutan Ki Wono Boyo. Beliau diyakini sebagai seorang murid Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Atas dasar inilah masyarakat muslim di sekitar petilasan tersebut tidak terima kalau di tempat tersebut dilaksanakan ritual agama Hindu.
Pihak penyelenggara upacara Odalan yang beragama Hindu berkeyakinan bahwa mereka mendapat perintah melalui wangsit dari para leluhur mereka untuk merawat dan melaksanakan upacara Odalan di tempat di tempat tersebut.
Bagi mereka, Mangir adalah tanah leluhur dan menjadi bagian dari sejarah umat Hindu, oleh karenanya mereka merasa memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga dan merawat petilasan tersebut yang selama ini terlantar. Bahkan ada beberapa orang Hindu yang rela mengeluarkan biaya pribadi untuk merawat petilasan. Ada juga yang membeli tanah disekitar petilasan yang kemudian dirikan candi di sekitar petilasan.
Dari informasi ini penulis memperoleh gambaran bahwa kasus Odolan merupakan wujud dari perbedaan tafsir sejarah. Perbedaan tafsir ini menjelma menjadi konflik social karena tidak saja terkait dengan masalah status tanah dan para tokohnya dalam lintasan sejarah, tetapi sarat dengan muatan teologis. Akibatnya terjadi benturan teologis antara masing-masing pihak. Bagi pihak yang berkonflik, ini tidak semata soal klaim sejarah tetapi sudah pada persoalan akidah.
Atas dasar inilah penulis tertarik untuk melakukan penelusuran jejak sejarah tanah Mangir dan para tokoh yang terkait dengannya. Penelusuran dilakukan dengan berselancar di beberapa blok dan situs dunia maya. Ini penulis lakukan karena keterbatasan waktu dan minimnya sumber sejarah tulis yang ada.
Kebanyakan sejarah Ki Ageng mangir hanya disebut dalam cerita tutur dan naskah babat, misalnya Babat Tanah Jawi dan Babat Ki Ageng Mangir. Sumber sejarah ini penulis anggap cukup sebagai bukti permulaan dan pentujuk untuk memahami konflik Mangir yang timbul akhir-akhir. Toh masyarakat tidak peduli pada bukti material sejarah yang otentik. Keyakinan pada cerita tutur dan babadlah yang lebih menggerakkan masyarakat yang ada di daerah tersebut.
Selama ini sejarah yang muncul dengan sosok ki Ageng mangir adalah persoalan tragedi cinta berdarah antara Ki Ageng Mangir dengan Retno Pembayun, putri Panembahan Senopati, sebagai dampak dari konflik politik antara Mataram dan Mangir. Penelusuran penulis akhirnya menemukan situs http://www.akarasa.com/2015/03/sejarah-ki-ageng-mangir-antara-cinta.html).
Dengan mengutip Babat Tanah Jawa dan Babat Mangir, penulis dalam situs tersebut menyebutkan bahwa tanah Mangir merupakan bumi perdikan dari kerajaan Majapahit pada era Brawijaya V. Pengelolaan bumi perdikan Mangir diserahkan kepada ki Ageng Mangir I (Pangeran Megatsari). Dalam Babat Tanah Jawa disebutkan bahwa ki Ageng Mangir I ini masih trah Brawijaya V.
Setelah meninggal Ki Ageng Mangir I digantikan oleh Ki Ageng Mangir II (Raden Wonoboyo). Pada era inilah Islam masuk di Mangir dan Ki Agengir II adalah seorang menganut ajaran Islam. Ini dibuktikan adanya catatan dalam Babad Mangir yang menjelaskan kesamaan budaya antara dusun Mangir dan kerajaan Demak Bintoro, yaitu kehidupan baru yang bersifat gotong-royong dan kepercayaan baru bersifat tauhid.
Setelah meninggal Ki Ageng Mangir II digantikan oleh putranya Ki Ageng Mangir Wonoboyo III atau Ki Ageng Mangir IV. Sosok inilah yang konflik dengan dengana raja Mataram, Panembahan Senopati.
Ki Ageng Mangir IV atau Wonoboyo III adalah seorang muslim. Beliau tidak mau takluk pada Mataram selain alasan politis karena merasa bumi Mangir adalah tanah leluhur yang tidak boleh diserahkan pada orang lain, juga alasan teologis yaitu tidak mau menyembah sesama manusia atau makhluk ciptaan Tuhan. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu pupuh tembang:
“Pan Allah kang andarbeni bumi, aku suwita ing Allahutangala, ora ngawula senopati, jer pada titahing Pangeran” (Bukankan Allah yang memiliki bumi, aku menghamba kepada Allah ta’ala bukan kepada Senopati, sebab sama-sama makhluk Tuhan).
Dari sepenggal data sejarah ini terlihat bahwa Bumi mangir memang memiliki dua akar sejarah yaitu Hindu dan Islam. Tafsir sejarah ummat Hindu bahwa Bumi Mangir adalah petilasan dan warisan lelhur mereka adalah benar, karena secara historis memang tanah itu dibangun dan didirkan atas “palilah” raja Brawijaya yang Bergama Hindu.
Sedangkan umat Islam yang menafsirkan bahwa bumi Mangir adalah warisan Islam juga benar karena pada era Ki Agengir II jejak Islam itu terlihat jelas. Bahkan di sana ada jejak sejarah berupa mushalla yang di bangun oleh Ki Ageng Mangir dan masih berdiri sampai sekarang. Jadi kedua tafsir sejarah tersebut sebetulnya sama-sama benar.
Persoalan bermula dari pengabaian atas situs sejarah. Karena menjadi simbol pemberontakan, maka pihak kraton tidak merawat situs tersebut, sedangkan pihak pemerintah juga tidak peduli pada keberadaan situs Mangir. Demikian juga masyarakat Islam yang ada di sekitar situs tersebut ,mereka tidak peduli keberadaannya.
Menurut penuturan Retno Utari (57) pengelola cagar budaya tersebut, karena tidak dirawat situs tersebut menjadi tempat yang wingit, ditumbuhi banbu. Sampai akhirnya datang sosok mbah Bali yang merawat dan membersihkan situs tersebut dengan biaya sendiri (https://www.brilio.net/jalan-jalan/petilasan-ki-ageng-mangir-kampung-tua-untuk-penyuka-wisata-spiritual-160914p.html)
Mbah Bali tidak hanya merawat tapi juga membangun sehingga petilasan tersebut menjadi indah. Setelah itu mulai berdatangan umat Hindu di tempat tersebut. Bahkan ada diantaranya yang kemudian membeli tanah disekitar kemudian mendirikan candi. Karena merasa tanah dan petilasan Mangir merupakan peninggalan leluhur umat Hindu maka mereka akhirnya melakukan ritual dan kegiatan keagamaan di tempat terebut. Apalagi mereka merasa mendapat merintah dari leluhur melalui wangsit sebagaimana yang diakui mbah Bali pada tahun 1984.
Ketika terjadi proses pembangunan dan perawatan petilasan Mangir yang dilakukan oleh umat Hindu, umat Islam yang ada disekitar tersebut tetap tidak peduli. Bangunan langar dan petilasan Islam yang ada tetap dibiarkan tidak terawat. Pembiaran dan pengabaian terhadap situs Mangir oleh umat Islam inilah yang sebenarnya menjadi pintu masuk umat Hindu di situs Mangir. Andai saja situs tersebut dirawat, dijaga dan dibangun dengan baik oleh umat Islam, maka umat Hindu tidak akan serta merta mengambil alih tempat tersebut.
Untuk merajur perbedaan tafsir sejarah tersebut, ada baiknya situs Islam peninggalan Ki Ageng Mangir Islam dibangun dan dirawat agar sama indahnya dengan bangunan yang dibuat oleh umat Hindu. Dengan demikian di tempat terseebut ada bangunan situs dan tempat ibadah berbeda yang berdampingan, seperti Istiqlal, Katedral, dan gereja Immanuel di Jakarta.
Mereka saling membantu untuk menjaga dan menjalankan ibadah masing-masing dengan tenang tanpa saling menggangu. Dengan demikian tidak akan ada lagi perebutan tafsir sejarah atas bumi Mangir. Umat Hindu tetap bisa menganggap bumi Mangir adalah tanah leluhur mereka dan umat Islam juga tetap bisa mengklaim bahwa Ki Ageng Mangir adalah tokoh Islam.
Inilah penyelesaian yang baik dan menjadi cirikhas harmoni bangsa Nusantara yang diwariskan oleh para lelhur. Penyelesaian kasus Mangir bukan dengan cara menekan yang minoritas yang membela yang mayoritas. Bagaimanapun kearifan dan empati adalah kunci penyelesaian konflik yang membahagiakan semua pihak. Dengan cara ini situs Mangir akan menjadi taman Sari bangsa yang indah dengan aneka warna perbedaan yang hidup dalam damai.