Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Warga Nahdlyin di kawasan Pati dan sekitarnya sedang berduka dengan mendalam hari ini, Selasa 16 Februari 2021. Kiai Minan, putra kiai kharismatik di daerah Kajen, yaitu Kiai Abdullah Salam, wafat pagi ini.
Kiai Minan adalah salah satu “pathok” spiritual di daerah Jawa Tengah. Wafatnya beliau jelas kehilangan besar.
Ada kenangan kecil tentang Kiai Minan yang selalu saya ingat hingga sekarang. Kenangan ini berkaitan dengan sebuah peristiwa kecil di tahun 80an, saat saya sedang gandrung-gandrungnya belajar bahasa Arab ‘ashriyyah atau modern.
Saat itu, saya sedang duduk di kelas 3 Aliyah di Madrasah Mathali’ul Falah yang didirikan oleh kakek beliau, Kiai Salam. Saya sedang “kesengsem” atau jatuh cinta luar biasa pada koran atau majalah berbahasa Arab yang selalu saya jumpai di rumah paman saya, Kiai Badruddin Muhammadun di desa Pondohan, Tayu.
Paman saya itu, entah bagaimana caranya, bisa melanggani koran-koran berbahasa Arab dari Saudi Arabia: al-Riyadl, ‘Ukadz, al-Jazirah, al-Madinah al-Munawwarah, selain majalah terbitan Rabithah al-‘Alam al-Islami dari Mekkah.
Paman saya juga melanggani majalah berbahasa Arab yang diterbitkan oleh Nadwatul Ulama di Lucknow, India. Anda pernah mendengar nama Abul Hasan Ali al-Nadwi, pengarang buku terkenal “Madza Khasir al-‘Alam Bi-n-Khithath al-Muslimin”? Dia berasal dari lembaga ini.
Setiap berkunjung ke rumah paman itu, saya akan selalu tenggelam dalam koran-koran Arab. Selain baunya yang unik (bau kertas koran yang masih baru), saya amat terpikat oleh bahasa Arab modern yang dipakai di sana.
Sayang sekali, modal bahasa Arab yang saya miliki dan hanya bertumpu pada kitab-kitab klasik seperti Taqrib, Tahrir, dan Fathul Mu’in, ternyata ndak cukup untuk memahami bahasa ala koran dan majalah. Apalagi jika tema yang dibahas sudah menyangkut masalah politik, ekonomi, atau olah raga, jelas bahas Arab ala Taqrib saya ndak “nyandak”. Karena itu, setiap membolak-balik lembaran koran Arab, saya akan selalu menghadapi kesulitan luar biasa. Tetapi, minat saya untuk bisa menaklukkan bahasa Arab ‘ashiryyah sungguh amat besar.
Saya tak mau menyerah.
Saat itu, Lek Minan (begitu saya memanggil Kiai Minan yang masih merupakan kerabat dari pihak ayah saya) baru saja pulang dari belajar lama di Mekah, di pesantrennya Syekh Muhamad bin ‘Alwi al-Maliki. Asumsi saya, karena Kiai Minan belajar di Mekah, tentu dia banyak membaca koran berbahasa Arab.
Suatu hari, saya mencoba menjumpai beliau, dan hendak belajar langsung bagaimana cara membaca koran Arab modern. Bayangan saya, saya akan belajar membaca koran kepada beliau ala ngaji kitab di pondok: saya membaca, beliau menyimak, menerangkan, lalu saya akan mencatat dan “maknani”.
Komentar Kiai Minan, sungguh mengejutkan saya. “Hallah, Lil, bahasa Arab modern itu gampang. Caranya sederhana. Cari akar katanya, kemudian pahami makna dasarnya,” kata beliau dengan senyumnya yang khas.
“Maksudnya bagaimana, Lek?”
“Jadi, contohnya begini. Ada istilah dalam bahasa Arab modern “تكاتف” (takatuf). Kalau kamu telusuri, asalnya kan dari kata dasar “كتف” (katif) yang artinya “tulang belikat atau bahu”. Takatuf artinya: dua tulang belikat saling kerjasama. Maksudnya apa? Saling bahu-membahu. Teknik itu bisa kamu pakai untuk semua istilah Arab modern yang lain.”
Semula, saya agak kurang percaya pada trik sederhana yang diajarkan oleh Kiai Minan ini. Tetapi nasehat beliau ini melekat di kepala saya sejak saat itu.
Pelan-pelan, saya membuktikan “keampuhan” trik Kiai Minan tersebut. Secara bertahap, saya akhirnya bisa memahami bahasa Arab koran, tentu dengan kerja keras yang luar biasa. Modal saya saat itu hanya sebuah buku belajar bahasa Arab ‘ashriyyah karya Hasan Baharun dari Bangil.
Jika sekarang ini saya lancar membaca bahasa Arab modern, itu karena “kiat” yang diajarkan oleh Kiai Minan. Semoga Allah membalas segala amal baik Kiai Minan, dan mengampuni seluruh kekhilafannya.
Sugeng kondur, Lek Minan. Sugeng panggih Mbah Mutamakin.