Sedang Membaca
Masjid, Ideologi, dan Asmara
M. Taufik Kustiawan
Penulis Kolom

Mahasiswa IAIN Surakarta, Santri Ponpes Nurussalman, Laweyan, Solo.

Masjid, Ideologi, dan Asmara

Masjid dinarasikan oleh Mahfud Ikhwan dalam novel Kambing dan Hujan  sebagai latar konflik agama, sosial, keluarga dan asmara. Pada 1960-an di desa Centong, masjid menjadi ruang persaingan dan perselisihan cara pandang dalam menafsirkan perintah agama.

Perselisihan tersebut telah melahirkan konflik berkepanjangan antara ormas pembaharuan” Muhammadiyah” yang diusung kaum muda dan “Nahdhatul Ulama” sebagai keyakinan kaum tua. Perbedaan seputar fiqih di antara kedua ormas tersebut begitu mempengaruhi dalam menjalani rutinitas ibadah. Perbedaan itulah yang menimbulkan kaum pembaharuan geram dan memilih membuat masjid sendiri untuk berdakwah dan beribadah.

Masjid di Centong menjadi ruang ideologis. Masjid selatan dan masjid utara memiliki jamaah sendiri-sendiri dalam menjunjung keyakinan beragama. Dakwah kaum muda sebagai gerakan pembaharuan menginginkan untuk menghilangkan tradisi dan budaya yang masih dijalani masyarakat Centong. Tradisi lokal itu dianggap kaum pembaharuan menyimpang dari ajaran Islam.

Kaum pembaharuan menyuarakan aktivitas dakwahnya secara nekat meski menimbulkan konflik agama. Kaum muda dan kaum tua sama-sama tetap gigih berkonflik demi menyuarakan ajaran dan kepercayaan yang paling benar hingga bertahun-tahun lamanya.

Judul: Kambing dan Hujan. Penulis: Mahfud Ikhwan. Penerbit: Bentang Pustaka . Tebal : 373 Halaman. Cetakan II: Februari 2018

Iskandar dan Fauzan dahulunya adalah teman dekat saat menimba ilmu di Sekolah Rakyat. Mereka sering menggembala kambing, merokok, tertawa bersama dengan sering berkhayal menatap masa depan di Gumuk Genjik.

Usai lulus dari SR nasib berpihak kepada Fauzan. Ia mampu meneruskan sekolahnya di Pesantren Jombang. Meski Iskandar  tak mampu melanjutkan sekolah, ia tetap belajar agama dengan cara membeli kitab-kitab dari hasil upah menggembala kambing. Iskandar adalah pemuda yang memiliki kesadaran akan pentingnya ilmu agama. Ia tak mau kalah dengan Fauzan tatkala nantinya diajak diskusi perihal agama.

Baca juga:  Bung Karno dan Gus Dur sebagai Penulis Esai

Namun menjelang Iskandar-Fauzan beranjak dewasa, suasana desa Centong menjadi berubah. Iskandar memilih masuk ormas pembaharuan “Muhammadiyah” dan memutuskan berguru kepada Cak Ali sebagai pimpinan gerakan pembaharuan.

Mendengar berita kondisi Centong diserang gerakan pembaharuan, Fauzan pulang dari pesantren untuk memimpin masjid selatan atas perintah Kamituo. Kepulangan Fauzan memberi harapan terhadap kaum tua untuk melanjutkan aktivitas dakwah organisasinya.

Kini Iskandar dan Fauzan memiliki jalan masing-masing dalam mengartikan dan menafsirkan perihal cara pandang beragama. Mereka menjadi pemimpin agama yang berbeda namun kurang menjunjung nilai toleransi dalam berdakwah.

Gelagat permusuhan mulai tampak dari cara pandang dalam menafsirkan persoalan agama yang melanda desa Centong. Keberagamaan melulu  menjadi perdebatan sesama muslim yang terlalu fanatik terhadap keyakinan ormas agama. Beribadah sudah tidak lagi menjadi urusan hamba dengan Tuhan, melainkan harus memiliki kesamaan cara pandang yang mesti dibenar-benarkan oleh sebagian ormas penganut takfirisme.

Pembenaran cara beragama yang diyakini tanpa toleransi malah sering kali menimbulkan adu fisik, pemikiran, hingga kekerasan. Kesadaran akan pentingnya toleransi sering dihiraukan hingga menyebabkan konflik internal antar umat muslim itu sendiri.

Di Centong konflik tak hanya menyangkut keyakinan, namun juga asmara dan keluarga. Cinta segitiga yang dialami Iskandar-Fauzan dan Hidayatun membuat lara para tokoh dalam roman. Keberuntungan pun masih belum berpihak terhadap Iskandar. Orang yang dicintainya bernama Yatun adalah orang tradisionalis yang jelas akan berpihak kepada Fauzan.

Baca juga:  Nasib Buku Berjilid-jilid, dari Ensiklopedia hingga Tafsir Al-Misbah

Ia mencoba mengikhlaskan Yatun lantaran tak menerima restu orang tua. Kisah kegagalan asmara itu membuat Iskandar merenungkannya. Ia lantas mengartikan asmara merupakan cobaan Tuhan yang mampir untuk mengganggu meraih cita-citanya.

Usai kejadian penolakan, Ia kembali meneruskan tekadnya untuk mempelajari ilmu agama dengan melupakan perasaan asmara serta kekecewaan.

Mahfud Ikhwan begitu elok dalam menarasikan persoalan konflik agama dan asmara. Selain itu, Mahfud juga menampilkan asmara juga sebagai pemecah dalam roman untuk mengerti agama, budaya, keluarga dan asmara yang dialami Centong. Kisah asmara timbul kembali lewat Miftahul dan Fauzia.

Mereka  adalah putra-putri Iskandar dan Fauzan. Mif putra pak Iskandar kuliah di Jogja mengambil jurusan sejarah sedangkan Zia kuliah di Surabaya mengambil jurusan Bahasa Arab. Mif dan Zia berjumpa  saat naik bis hendak ke Surabaya. Perjumpaan itu memberikan kesan berarti terhadap Mif usai mengetahui Zia juga berasal dari Centong.

Kisah asmara Mif dan Zia mengalami penolakan oleh Iskandar-Fauzan selaku orang tua. Penolakan itu dikarenakan perbedaan Latar belakang keluarga serta luka lama yang masih menggores hati kisah para orang tua. Kebinggungan yang dialami Mif dan Zia rupanya harus membuka cerita lama para orang tua.

Dua sahabat Iskandar-Fauzan dahulu pernah berkirim surat demi bertukar kabar dan cerita di Centong. Fauzan mengisahkan cerita kepada Zia lewat surat-surat mereka pada tahun 1960-an yang masih tersimpan. Begitu pula dengan Iskandar menceritakan penolakan serta gunjingan oleh Kamituo selaku orang tua Yatun. Alasan para orang tua tak membuat kisah asmara Mif dan Fauzia padam, mereka tetap memperjuangkan demi meluruskan sejarah masa silam.

Baca juga:  Piagam Sukorejo

Mif adalah pemuda tangguh dalam mempertahankan perasaannya. Ia tak mau gagal seperti orang tuannya dalam hal asmara. Demi bersatu bersama Zia, ia memberanikan diri membuka silaturahmi diantara dua keluarga yang masih berseteru.

Mif dan Zia tentu tak memiliki pemikiran yang sama orang tuannya dalam menafsirkan perihal agama.  Mereka adalah generasi muda yang akan membawa Centong pada jalan perdamaian dan menjunjung nilai toleransi.

Kegigihan Mif dan Fauzia meski dilanda derita dari masa lalu orang tuannya tak membuat goyah kisah asmara. Usaha asmara Mif dan Zia menyadarkan pandangan Iskandar-Fauzan untuk lekas berdamai dan berhenti berseteru dalam urusan agama.

Kisah asmara Mif dan Zia membuat mereka akhirnya berpelukan dan menangis bersama serta memutuskan untuk berbesan. Kisah asmara Mif dan Zia telah membawa perubahan di desa Cendong terutama masjid selatan dan masjid utara. Keberagamaan di desa Centong mengubur masa lalu yang penuh konflik dengan membuka keberagamaan dengan penuh kisah cinta.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top