Sedang Membaca
Mengenal Gagasan Fikih Nusantara

Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN WALISONGO SEMARANG, domisili di Semarang Jawa Tengah. Instagram : @adnanhusein_

Mengenal Gagasan Fikih Nusantara

Kiai Kiai Nu 704256 640x400

Agama islam adalah salah satu agama yang mempunyai praktik-praktik khusus yang harus dijalankan oleh pemeluknya. Dan itu sudah paten seperti apa yang telah dikabarkan tuhannya dan dipraktikkan Rasulnya. Bukan cuma tentang bagaimana cara menyembah tuhannya saja, tetapi juga bagaimana cara seorang manusia hidup di dunia ini. Karena manusia bukan asli penduduk dunia ini, maka butuh sesuatu yang menuntun manusia  untuk kembali ke tempat asalnya. Dan sesuatu itulah yang dinamakan dengan fikih.

Seperti yang telah kita ketahui arti kata fikih adalah paham/memahami. Dengan kata lain bagaimana memahami islam, bagaimana manusia harus menjalankan syariat islam, bagaimana manusia menjadi yang sesuai dengan islam dan lain-lain. Dan sekarang, kita di Indonesia mengenal apa yang namanya fikih nusantara. Yaitu fikih moderat yang diajarkan Walisongo untuk menyesuaikan dengan berbagai aspek, geografis, budaya, adat istiadat, kultur, musim yang ada di Nusantara.

Sudah sangat tepat jika  Fikih Nusantara sebagai konsep praktik keislaman di Indonesia,  karena islam  di Indonesia sangat berbeda dengan islam yang ada di Arab yang notabenenya sebagai tempat turunnya agama islam itu sendiri. Mulai dari segi geografis, segi kulturnya, watak orangnya, lingkungannya, bahkan musimnya pun sangat berbeda.  Dan ini sudah cukup menjadi alasan bahwa islam Indonesia harus berbeda dengan islam Arab. Karena jika harus disamakan maka akan sulit sekali bagi umat islam di Indonesia. Tapi di sini hanya masalah furu’iyyah saja yang di konstruksikan karena jika  masalah aqidah semuanya sama, hal ini dikarenakan aqidah tidak bersinggungan langsung dengan faktor-faktor lain seperti geografi dan sebagainya. Maka dalam masalah furu’iyah, Fikih Nusantara tetap berpegang teguh pada empat imam madzhab.

Baca juga:  Puisi, Dagelan, Demokrasi

Dari perkembangannya sampai sekarang, Fikih Nusantara ini sangat relevan bahkan sangat di butuhkan sekali di Indonesia. Maka pada tahun 2019 lewat Munas Alim Ulama’ Organisasi NU (Nahdlatul Ulama’) mencetuskan apa yang dinamakan Islam Nusantara. Yang mempunyai pengertian dalam substansial adalah Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik masyarakat dan budaya di Nusantara oleh para pendakwahnya.  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) K.H. Said Aqil Sirodj memperjelas bahwa Islam Nusantara bukanlah aliran madzhab, atau sekte, melainkan islam yang menghormati budaya dan tradisi Nusantara yang ada selama tidak bertentangan dengan syariat islam. Jadi konsep Islam Nusantara adalah mengembalikan islam yang dulu dibawa oleh Walisongo.

Jika konsep Fiqh Nusantara lebih terfokus pada masalah praktik keislaman (masalah furu’iyyah), maka Islam Nusantara ini lebih global lagi. Selain masalah fiqh, Islam Nusantara juga merumuskan semua aspek keislaman. Mulai dari akhlaq, aqidah,furu’iyyah, siyasah, bisnis, mu’amalah dan lain-lain. Itu dilakukan karena agama islam awalnya adalah agama normatif yang sesuai dengan budaya arab. Maka ketika sampai di Indonesia kita juga harus bisa meng-Indonesiakan islam, bukan mengislamkan Indonesia. Hal itu karena Indonesia terdiri banyak sekali budaya, adat istiadat yang sudah mendarah daging dari suatu kelompok/suku tertentu. Kita tetap menggunakan budaya dan adat istiadat yang sudah ada itu tetapi kita korelasikan dengan islam. Jadi tidak aka nada kesan kaku dalam beragama islam.

Baca juga:  Teologi Antroposentris Hassan Hanafi

Islam itu tidak menuntut kita macam-macam. Kita diperintah untuk beribadah kepada allah itu sudah cukup. Seperti firman allah dalam surat Al Baqarah (2):185 yang artinya “Allah menghendaki kalian kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan”. Sabda Rasululloh SAW “Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia sendiri akan dikalahkan ( semakin berat dan sulit )” H.R. Bukhori dari Abu Hurairah. Maka janganlah kita mempersulit agama hanya karena kita tidak sama persis dengan budaya arab.

Memang benar jika kita bisa mengikuti budaya arab akan sangat lebih baik, karena kita berislam dari sumbernya. Tapi kalo memang tidak bisa tidak usah dipaksakan. Kita ikuti saja apa yang sudah dirumuskan para ulama tentang islam yang pas kita praktikkan di tanah air kita tercinta. Mereka lebih paham bagaimana caranya ijtihad dengan metode istinbath hukum. Yang sampai sekarang perkembangannnya sangat pesat sekali. Dan lebih kita kenal dengan moderasi beragama.

Konsep moderasi beragama ini telah digaung-gaungkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sebagaimana telah dikatakan oleh Menteri Agama K.H. Yaqut Cholil Qoumas bahwa “Kemenag milik semua agama dan harus memfasilitasi semua agama”. Tidak akan bisa terwujud moderasi agama jika agama mayoritas yang ada di Indonesia tidak memahami dan tidak menghormati agama lain. Bahkan lebih parahnya lagi orang islam sendiri yang tidak terlalu paham agama di bodohi dengan paham-paham ekstrimisme.

Baca juga:  Corona, Sastra, dan Kutukan Tuhan?

Padahal dalam buku Kajian Konseptual Moderasi Beragama terbitan Kemenag dikatakan bahwa yang dinamakan dengan moderasi adalah cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrim dalam beragama. Dan moderasi beragama juga harus dipahami sebagai sikap beragama yang yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).

Maka Fikih Nusantara sudah sangat cocok untuk mensukseskan keberlangsungan moderasi beragama. Karena jika kita sebagai orang islam sendiri sudah terbiasa untuk moderat dalam agama sendiri, maka pasti dengan orang yang beda keyakinan juga akan moderat. Coba kita perhatikan bersama, kelompok yang menolak moderasi beragama adalah kelompok yang dalam menjalankan agamanya sendiri mereka terlalu ekstrim. Semuanya harus kembali kepada Al Qur’an dan Hadits, tidak mau mengikuti ulama madzhab/tidak bermadzhab, apalagi melakukan ijtihad dengan metode istinbath hukum. Mereka tidak mau memakai ‘Urf, istislah, istihsan, qiyas dll. Karena menurut mereka itu sudah tidak murni dari Allah dan Rasulullah.

Tetaplah berpegang teguh pada Fikih Nusantara,yang sudah disepakati para ‘Ulama dan para kyai. Jadi kita tidak mudah goyah dengan paham-paham yang ekstrim. Semoga dengan kita mengikuti para ulama dan kyai menjadi sebab kita bisa bersama-sama mereka masuk ke surganya Allah SWT. Aamiin.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top