Sedang Membaca
Tarawih Kilat, 23 Rakaat dalam 10 Menit: Mencari Ridha Allah atau Rekor Dunia?

Alumni Ponpes Lirboyo Kediri, Darul Huda Mayak, dan Minhajuth Thullab Lampung. Sedang mengenyam pendidikan S1 di Al-Azhar University jurusan Syari'ah Islamiyyah. Berdomisili di Kairo, Mesir.

Tarawih Kilat, 23 Rakaat dalam 10 Menit: Mencari Ridha Allah atau Rekor Dunia?

Salat Tarawih

Setiap bulan Ramadhan, kita selalu diributkan dengan fenomena tarawih super cepat di beberapa daerah di Indonesia. Tentu, ada pro-kontra dalam fenomena ini. Kalangan pro beralasan bahwa salat dengan cepat merupakan bagian dakwah agar masyarakat awam, terutama yang muda, mau mengikuti salat tarawih. Kalangan kontra menganggap bahwa salat cepat tidak sesuai dengan tuntunan Rasul dan menjadikan salat seolah tak “sakral”.

Bahkan, salah satu akun bernama Islamify di Instagram (dengan pengikut sebanyak 2,7 juta) baru-baru ini mengunggah video salat tarawih di suatu daerah di Jawa Timur dan membuat caption yang berbunyi, “23 rakahs in 10 minutes. May Allah protect us from this sort of madness, 23 rakaat dalam 10 menit. Semoga Allah melindungi kita dari kegilaan semacam ini.

Sebenarnya bagaimana fikih menyikapi fenomena ini? Apakah salat cepat sebagai salah satu bentuk dakwah dapat dibenarkan? Apa justru praktik tersebut malah menyalahi tuntunan Rasul? Mari kita kupas.

Dalam tulisan ini, pertama-tama, saya akan mencoba mengulas fenomena ini berdasarkan mazhab Syafi’i, sebagai mazhab yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, apabila tidak bisa dikatakan seluruhnya. Kemudian, saya juga akan menambahkan satu atau dua pandangan dari mazhab lain sebagai perbandingan.

Apabila kita cermati, problem utama dalam praktik salat semacam ini sejatinya kembali pada dua rukun: bacaan surat Al-Fatihah dan tumakninah (sudah ada di KBBI).

Ketika salat dengan cepat (apalagi sebagai imam), biasanya banyak huruf-huruf dari Al-Fatihah tertinggal dan tidak terbaca. Yang banyak terjadi misalnya adalah membaca iyyâka yang seharusnya ada tasydid pada huruf ya, menjadi iyâka, tanpa tasydid. Kesalahan bacaan ini biasa disebut sebagai lahn.

lahn sendiri ada dua macam: lahn yang tidak mengubah makna lafaz dan lahn yang sampai mengubah makna sebuah lafaz. Dan contoh lahn di atas masuk dalam kategori kedua. Sebab, lafaz iyyâka yang asalnya bermakna “hanya kepadaMU”, maknanya berubah menjadi “cahaya matahari” apabila dibaca iyâka, tanpa tasydid.

Baca juga:  Seputar Kelakar Gus Ulil tentang “Sogokan Hasanah”

Sebelum kita bahas lebih lanjut, saya ingin mempertegas bahwa yang kita bahas dalam tulisan ini adalah imam yang sebetulnya bisa membaca Al-Fatihah dengan benar dalam keadaan normal, namun karena tuntutan salat cepat, ia tak membaca Al-Fatihah dengan sempurna.

Dalam mazhab Syafi’i, lahn (kesalahan baca) seperti ini tidak bisa ditoleransi dan dapat membatalkan salat. Dalam kitab Kifayah Al-Akhyar, Imam Taqiyuddin Al-Hisni menjelaskan bahwa dalam membaca Al-Fatihah ada dua hal yang harus dijaga: huruf-hurufnya dan juga tasydidnya. Apabila terdapat kesalahan dalam dua hal tersebut, maka bacaan dan salat yang dilakukan tidak sah. Pandangan ini juga diamini oleh mazhab Hanafi dan Hanabilah.

Dalam masalah ini, mazhab Maliki mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut mazhab ini, lahn, meskipun sampai mengubah makna dari Al-Fatihah, tidak membatalkan salat. Pandangan ini secara eksplisit diungkapkan oleh Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi dalam kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi. Bahkan menurutnya, ini merupakan pendapat muktamad dalam mazhab Maliki.

Dari sini, kita seakan mendapat angin segar sebab praktik bacaan dalam fenomena salat cepat ternyata mendapatkan legalitas dalam mazhab Maliki. Namun, setelah mendalami masalah ini, saya mendapati bahwa dalam mazhab malik, legalitas membaca lahn ini hanya berlaku bagi orang yang memang tak mampu membaca Al-Fatihah dengan sempurna, entah sebab penyakit bawaan ataupun sebab tak ada yang mengajarinya.

Adapun orang yang mampu membaca dengan sempurna, namun ia membaca secara lahn, maka dapat dipastikan salatnya (dan makmumnya) batal. Sebab, dalam pandangan mazhab Maliki, bacaan lahn diperbolehkan selama dilakukan orang yang punya uzur. Keterangan ini secara jelas diungkapkan oleh Imam Al-Khurasyi dalam kitab Syarh Al-Khurasyi ‘ala Mukhtashar Al-Khalil.

Dalam kasus kita, imam tarawih sejatinya mampu membaca Al-Fatihah dengan sempurna apabila salat dilakukan dengan kecepatan “normal”. Dengan begitu, bacaan imam semacam itu jelas tak bisa dibenarkan, baik dalam pandangan mazhab Maliki maupun lainnya.

Baca juga:  Kisah Sepatu di Hari Lebaran

Mengenai tumakninah, mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanabilah sepakat bahwa hal tersebut merupakan rukun salat. Kadar tumakninah adalah berhenti sekiranya ada jarak antara satu gerakan dengan gerakan yang lain. Beberapa ulama berpandangan bahwa kadar tumakninah adalah bacaan tasbih sekali. Dengan begitu, menurut tiga mazhab ini, hukum salat tanpa tumakninah adalah tidak sah, sebagaimana keterangan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, karya Abdurrahman Al-Jazari.

Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, tumakninah merupakan wajibat ash-shalat, kewajiban salat dan bukan termasuk rukun atau fardu. Dalam mazhab ini, ada perbedaan mendasar antara fardu dan wajib. Fardu adalah perkara yang ketika ditinggalkan maka akan berakibat batalnya salat, sedangkan wajib adalah sebaliknya. Namun, ketika perkara wajib ditinggalkan, orang yang melakukannya dianggap melakukan dosa kecil.

Apabila kita terapkan dalam fenomena di atas, berarti, selama imam masih salat dalam batas kecepatan yang wajar dan memenuhi batas minimal kadar tumakninah, maka salatnya tetap  sah. Sebaliknya, apabila salat tersebut ternyata dilaksanakan dengan sangat cepat dan tidak ada tumakninak, maka salatnya batal menurut mayoritas ulama dan sah menurut mazhab Hanafi, meskipun pada akhirnya dianggap melakukan perbuatan dosa.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa praktik salat seperti fenomena di atas jelas sangat sulit untuk diberi approval (pembenaran). Dalam masalah lahn, tidak ada satu pun pendapat yang dapat dipakai untuk mengabsahkannya.

Sedangkan dalam masalah tumakninah, hampir seluruh ulama mengatakan bahwa praktik salat super cepat semacam itu membatalkan salat. Harus diakui, memang ada pendapat dalam mazhab Hanafi yang berpandangan bahwa meninggalkan tumakninah tidak membatalkan salat. Namun, apakah dapat dibenarkan atas nama dakwah kita boleh melakukan sebuah dosa (meskipun kecil)?!

Baca juga:  Hidangan dan Pemandangan

Sejatinya, salat dengan “cepat” pada dasarnya sah-sah saja selama syarat dan rukunnya terpenuhi. Akan tetapi, Salat dengan kecepatan super hingga meninggalkan beberapa rukun atas nama dakwah itu ibarat kita sedekah dengan uang curian, tujuannya baik namun caranya kurang tepat. Dengan mengatasnamakan dakwah, bukan berarti kita boleh menabrak aturan-aturan yang telah ada.

Begitu pun sebaliknya, salat terlalu lama juga belum tentu sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Buktinya, Rasulullah justru malah menegur Muadz bin Jabal ketika ia dilaporkan salat terlalu lama saat menjadi imam. Rasulullah mengatakan kepada Muadz, “afattanun anta ya Muadz?”, apakah engkau ingin menyebar fitnah, wahai Muadz? (Al-Bukhari:705). Rasulullah menganggap salat terlalu lama juga tak baik, terlebih ketika menjadi Imam dan di belakangnya terdapat masyarakat dari berbagai macam usia dan latar belakang yang berbeda. Fal yukhoffif, maka persingkatlah salatmu, begitu kata Nabi.

Oleh karena itu, salat yang baik adalah salat dengan tak terlalu cepat dan juga tak terlalu lama. Bisa dikatakan, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk selalu proporsional dalam segala hal, termasuk salat. Semuanya harus dilakukan secara pas, tak kurang, tak pula berlebihan.

Sekian. In uridu illa al-islah mastatha’thu.

 

Daftar bacaan:

Ad-Dasuqi, Muhammad bin Ahmad, Hasyiyah Ad-Dasuqi, (Beirut: Darul Fikr, Tt).

Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Labuan: Saqifah Safa Ilmiyah, 2020).

Al-Hasni, Taqiyuddin, Kifayat Al-Akhyar, (Damaskus: Darul Khair, 1998).

Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2003).

Al-Khurasyi, Muhammad, Syarh Al-Khurasyi, (Beirut: Darul Fikr, Tt).

Ar-Ramli, Syamsuddin, Nihayah Al-Muhtaj, (Beirut: Darul Fikr, 1974)

Menteri Wakaf Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Wizarat Al-Auqaf wa Asy-Syuun Al-Islamiyyah, 2006).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top