“Jangan sampaikan apa-apa yang kauimpikan kepada mereka, wahai Yusuf!”
“Ya, Ayah,” jawab Yusuf kepada ayahnya, Yakub.
Tapi rasa dengki dan irihati yang merasuki kakak-kakak Yusuf tak mampu menepis niat-niat jahat mereka untuk menyingkirkan Yusuf dan membuangnya, atau membunuhnya agar sang ayah tidak memberi perhatian khusus kepadanya.
Pada suatu hari, ketika mereka berhasil membujuk ayahnya untuk mengajak Yusuf bermain-main, benar saja dugaan sang ayah. Yusuf kecil dilucuti baju gamisnya, kemudian didorongnya ke tepian sumur hingga terjatuh di bawahnya.
Sesampainya di rumah, mereka pun berteriak histeris, “Ayaah, maafkan kami, Ayah! Seekor serigala telah menerkam Yusuf hingga bajunya terkoyak dan berlumuran darah! Yusuf telah tiada, Ayah… dia telah diterkam serigala di tengah hutan…!”
Yakub merasa terpukul dan bersedih hati, hingga – karena kesedihannya itu – lambat laun matanya mengalami rabun dan buta.
Di sisi lain, para musafir yang terbiasa menimba air dari sumur di tengah hutan itu menemukan seorang bocah yang mungil dan putih bersih. Yusuf kecil dipelihara sebagai budak hingga beranjak remaja, sampai kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lain dengan harga mahal.
Suatu ketika, istri raja Mesir Julaeha, mendengar kabar mengenai remaja yang diperjualbelikan dengan harga tinggi tersebut. Tergerak dalam hatinya ingin menebusnya agar tinggal di lingkungan istana kerajaan. Seketika sang raja menyetujuinya, meski kemudian menimbulkan berbagai teka-teki mengenai para pelayan wanita di istana yang sontak bergunjing mengenai kecerdasan, kedewasaan dan ketampanan seorang budak baru bernama Yusuf.
Lambat laun Julaeha tidak tinggal diam. Ia menguping apa-apa yang menjadi gunjingan para wanita di istana kerajaan. Permaisuri raja tersebut merasa tertarik, hingga diajaknya Yusuf pada saat sang raja mengadakan inspeksi dan blusukan di tengah aktivitas rakyatnya. Julaeha mengeluh kurang enak badan hingga merasa nyaman apabila Yusuf menemaninya di dalam kamar. Nafsu birahi menyelimutinya, sampai-sampai Yusuf dipaksa untuk mendekat dan lebih dekat lagi. Saat itu, Yusuf menyadari sang raja yang baik hati dan peduli pada kepentingan rakyat Mesir, hingga tak mungkin ia berkhianat dengan melakukan tindakan senonoh di belakang raja.
Julaeha terus memaksanya, dan Yusuf pun bersejingkat untuk berlari keluar, hingga terkoyaklah bagian belakang dari baju jubahnya.
“Ada apa ini! Apa yang kau lakukan di kamar permaisuri, wahai Yusuf? Apa yang kau lakukan terhadap istri raja?” kata beberapa pelayan yang memergokinya.
Tak lama kemudian, para menteri dan kaki-tangan raja berkumpul mengadakan rapat tertutup. Mereka merasa riskan akan insiden menghebohkan yang dapat membuat citra kerajaan Mesir akan tercemar. Keputusan pengadilan telah memberikan vonis atas kesalahan Julaeha, tapi kemudian Yusuf secara sepihak membatalkan keputusan itu, serta mengakui bahwa dirinya yang telah melakukan kesalahan tersebut, dan bukan Julaeha.
Masyarakat Mesir terperangah atas insiden perselingkuhan itu. Sang raja membiarkan Yusuf mendekam selama beberapa tahun di penjara. Meski dalam hatinya, ia paham akan tabiat dan karakter istrinya yang mudah tergoda pada syahwat dan nafsu badani. Di dalam penjara, Yusuf bersahabat dengan para narapidana yang pernah terlibat dalam berbagai kasus, dari tingkat pencurian, pembegalan, hingga pembunuhan tingkat tinggi.
Sebagai pemuda yang cerdas, Yusuf pun menjadi pemimpin di dalam sel penjara. Ia memiliki keahlian menafsir mimpi-mimpi yang dialami para napi. Tak ayal, ia menjadi tokoh kepercayaan di antara para napi dengan wajah-wajah angker dan sangar, namun secara keilmuwan telah takluk di bawah kendali kepemimpinan Yusuf.
Pada waktu bersamaan, di usia senjanya Raja Mesir merasa kesulitan menemukan para ahli di bidang takwil mimpi. Ia telah bermimpi beberapa kali, perihal adanya tujuh ekor sapi kurus yang menyantap tujuh ekor sapi gemuk. Seorang mantan napi memberikan kabar tentang adanya pemuda tampan di dalam sel yang punya keahlian dalam soal takwil mimpi. Tapi siapakah gerangan orang itu?
“Rupanya kau, Yusuf?” sang raja nyaris terpancing emosi, meski kemudian menyadari bahwa peristiwa beberapa tahun lalu yang melibatkan Yusuf dan istrinya, mesti bermula dari kesalahan istrinya sendiri. Raja pun berbesar hati meminta pertolongan Yusuf agar menakwilkan mimpinya, bahwa dalam waktu dekat, di wilayah Mesir dan negeri-negeri sekitarnya akan terjadi tujuh tahun masa penghujan kemudian disusul dengan tujuh tahun masa paceklik.
Firasat raja sehaluan dengan takwil mimpi yang disampaikan Yusuf, hingga dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ia segera mengerahkan para menterinya, serta memberikan ultimatum tentang pentingnya dunia agraria, pertanian dan perkebunan. Para menteri yang terkait di bidang pertanian lebih diutamakan. Mereka mengerahkan segenap aparaturnya agar menggalakkan dunia pertanian, membantu para petani dengan bibit-bibit gandum dan makanan pokok lainnya. Mereka dibekali beragam pelatihan guna memanfaatkan satu-dua bidang tanah di pekarangan agar senantiasa bercocok-tanam mempersiapkan masa paceklik yang akan datang.
Dalam tujuh tahun itu, negeri Mesir berkelimpahan bahan pangan, seakan-akan memiliki motto hidup bermasyarakat dengan gimah ripah loh jinawi. Gudang-gudang bulog didirikan dengan menampung ribuan ton bahan pangan untuk kebutuhan rakyat. Masa tujuh tahun paceklik pun datang, tapi negeri Mesir telah bersiap siaga untuk menyongsong tahun-tahun yang serba kesulitan bagi rakyat di negeri-negeri tetangga Mesir.
Mesir menjadi pusat perhatian dengan maraknya sistem perdagangan dan kemakmuran rakyatnya. Sementara itu, masyarakat di negeri tetangga berdatangan untuk memperjualbelikan kekayaan yang mereka miliki dengan bahan pangan bagi kebutuhan keluarganya. Nilai mata uang menjadi anjlok dan terpuruk. Satu liter gandum telah melonjak harganya sebanyak puluhan bahkan ratusan kali lipat, hingga nilai mata uang di negeri-negeri tetangga menjadi tak berharga.
Sementara itu, keluarga Yakub di negeri Kanaan, nyaris kehabisan persediaan harta mereka, karena seringnya melakukan barter di sana-sini untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Diutuslah dua anaknya untuk mengadakan barter di kerajaan Mesir yang konon masih menyimpan bahan pangan yang melimpah dengan harga yang terjangkau. Saat itu, raja Mesir sudah mengalami lansia, kemudian mengutus bendaharanya Yusuf, untuk menggantikan posisinya sebagai raja. Terpanggil oleh rasa tanggungjawab terhadap amanah, Yusuf pun tak kuasa menolak mandat yang dititahkan langsung oleh Baginda Raja.
Tak berapa lama, raja Mesir pun wafat. Yusuf memegang tampuk kekuasaan sebagai pemimpin tunggal kerajaan Mesir. Selang beberapa tahun kemudian, ia pun menikahi Julaeha, sang mantan permaisuri yang kemudian tetap menjadi permaisuri raja.
Di atas singgasananya, Yusuf melihat antrian orang-orang dari negeri tetangga yang sibuk menukarkan barang-barang yang mereka miliki dengan bahan pangan. Seketika ia terperanjat saat menyaksikan dua kakaknya yang berpakaian lusuh dan kumal, ternyata ada di antara antrian orang-orang di sekitar pintu gerbang kerajaan.
“Apa yang kalian lakukan di negeri Mesir ini?” tanya sang raja.
“Kami dari negeri Kanaan, diperintahkan Ayah untuk menukarkan barang-barang ini dengan bahan pangan. Negeri kami mengalami kekeringan selama bertahun-tahun, wahai Paduka Raja,” jawab salah seorang dari mereka.
“Siapa nama Ayah kalian?”
“Yakub.”
Tepat sekali dugaan Yusuf. Kedua orang itu tak lain dari kakak-kakaknya yang dulu pernah mencelakakannya ke dalam sumur yang berada di tengah hutan itu, hingga ia diperjualbelikan sebagai budak dari satu tangan ke tangan lain. Sampai kemudian, ia pun tertuduh sebagai pemerkosa permaisuri, serta mendekam bertahun-tahun di dalam sel penjara.
Agenda pun segera dirancang oleh Raja Yusuf. Ketika untuk ke sekian kalinya mereka menukarkan bahan pangan di istana kerajaan, Yusuf menyelipkan cangkir emas di karung gandum milik kakak-kakaknya, hingga sontak para ajudan raja mencari-cari di manakah gerangan cangkir emas yang biasa dipakai raja untuk minum.
“Ayo cari cepat! Siapakah gerangan yang berani mencuri cangkir emas itu?” kata sang raja.
Ultimatum dikeluarkan agar pintu gerbang segera ditutup. Para musafir yang menukarkan bahan pangan diperiksa satu-persatu, sampai akhirnya cangkir emas itu diketemukan di dalam karung gandum milik keluarga Yusuf.
“Ampun, wahai Paduka… sungguh tidak ada di antara kami yang memasukkan cangkir itu ke dalam karung… kami ini dari keluarga baik-baik, wahai Paduka Raja…”
“Cangkir emas itu ada dalam karung kalian, bagaiamana mungkin kalian akan menampiknya?”
Ketika Raja Yusuf memerintahkan mereka agar segara ditahan, serta-merta mereka melolong-lolong minta ampun. Mereka menangis meraung-raung sambil bersujud di hadapan raja, “Ampuni kami, wahai Paduka Raja… orang tua kami belum makan selama beberapa hari, saat ini matanya buta, kami khawatir ia akan meninggal seandainya kami ditahan di istana kerajaan ini…”
Raja Yusuf maklum. Setelah menimbang selama beberapa waktu, akhirnya ia memutuskan agar mereka dibiarkan pulang ke negeri Kanaan, dengan syarat mereka harus membawa bapaknya yang buta ke hadapan raja Mesir.
Seketika itu, Raja Yusuf memerintahkan mereka agar memberikan baju kepada bapak mereka, yakni baju gamis yang pernah dipakainya sewaktu diperlakukan secara tidak layak oleh kakak-kakaknya dulu.
Ketika mencium aroma pada baju yang dibawa anak-anaknya dari Mesir, sontak Nabi Yakub mengalami kejutan pada adrenalinnya, seperti terkena sengatan listrik bertegangan tinggi. Saraf-saraf matanya pulih kembali. Ia dapat melihat seketika setelah bertahun-tahun mengalami kebutaan karena menahan rasa pedih dan pilu.
“Oh Tuhan… dia masih hidup… dia masih hidup…,” katanya dengan penuh optimistis.
Kakak-kakak Yusuf merasa keheranan, gerangan apakah yang diomongkan ayahnya seakan-akan mengigau atau ngelindur kehilangan akalnya. Dengan mata yang terbuka, Nabi Yakub segera memerintahkan anak-anaknya agar berkemas memberesi barang-barang yang akan dibawanya menuju Negeri Mesir.
Di istana kerajaan, Raja Yusuf dan permaisurinya sudah menunggu di atas singgasana. Setibanya sang ayah, mereka langsung menghambur dan saling berpelukan mesra, kemudian satu-persatu, seluruh keluarga Yusuf pun dipeluknya pula. Sang Ayah pun menjelaskan di hadapan mereka, “Raja Mesir ini adalah Yusuf, adik-adik kalian yang diberitakan ke seluruh masyarakat bahwa dia telah diterkam serigala puluhan tahun lalu….”
Kakak-kakak Yusuf yang dulu memperlakukannya secara tidak layak, kontan meminta maaf dengan setulus hati dan penuh penyesalan. Yusuf pun senantiasa memaafkan kesalahan mereka, serta menempatkan mereka secara terhormat di lingkungan istana kerajaan, dalam kehidupan yang harmoni dan dinaungi kemakmuran dan kesejahteraan bersama. (*)