Sedang Membaca
100 Tahun Soeharto (2): Padi dan Cabai
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

100 Tahun Soeharto (2): Padi dan Cabai

Whatsapp Image 2021 06 07 At 11.02.35 Pm

Sekian bulan lalu, harga cabai naik. Berita kenaikan harga juga terjadi untuk kedelai, berakibat merepotkan kehidupan pembuat dan pedagang tahu-tempe. Kebiasaan harga naik terus berulang. Tahun demi tahun, belum ada jawab dan kepastian. Indonesia masih dirundung harga untuk santapan. Soeharto mungkin lupa tak mengumumkan swasembada cabai dan kedelai. Puluhan tahun, kita selalu saja mengingat swasembada pangan alias beras.

Soeharto lahir di rumah beralamat di Kemusuk. Desa dengan hamparan sawah. Soeharto pasti mengerti padi dan beragam tanaman untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap hari. “Ia dilahirkan disebuah dusun ketjil ditengah-tengah sawah,” deskripsi OG Roeder dalam buku berjudul Soeharto: Dari Pradjurit Sampai Presiden (1969). Roeder mengamati dan menuliskan untuk pembaca masih asing dengan perdesaan Jawa: “Penduduknja mendjalani kehidupan jang tak berobah-obah dari dulu sampai sekarang, menanam dan memotong padi. Irama jang tak berkesudahan semendjak berabad-abad.” Soeharto lahir di tanah subur, bertumbuh di adab agraris. Lumrahlah saat menjadi presiden memihak ke pembahasaan dan pemaknaan agraris ketimbang maritim!

Kita bergerak menuju ke rumah orangtua Soeharto di Kemusuk. Rumah sederhana berdinding gedheg. Di buku, rumah itu disebut pondok. Kita agak meragukan keterangan Roeder tapi mendingan dibaca sambil berimajinasi berlatar waktu 1920-an: “Pekarangan jang mengelilingi pondok itu penuh dengan berbagai matjam pohon buah-buahan. Sebagian ketjil dari pekarangan ditanami dengan sajuran seperti bawang, ketimun, bajam, katjang pandjang dan djagung untuk keperluan sehari-hari.” Keluarga miskin tapi kecukupan pangan. Keluarga mungkin tak berselera pedas. Di situ, kita tak membaca ada tanaman cabai di pekarangan.

Ingat Soeharto, ingat cabai. Kita melompat ke masa 1990-an. Orang-orang mungkin tak lagi mengingat foto Soeharto makan cabai. Foto bersejarah tapi terkalahkan foto-foto saat memancing, memegang cerutu, menggenggam padi di sawah, dan memegang kertas saat berpidato pada 1998. Foto itu terlihat di Gatra, 13 April 1996. Foto menampilkan wajah semringah. Soeharto masih sosok berkuasa dan ditakuti. Babak dua tahun sebelum tamat. Foto dihasilkan dan dikoleksi oleh Setneg RI. Foto mengabarkan bahagia meski Indonesia sedang apes gara-gara cabai. Soeharto ingin memberi jawaban dan keselamatan bagi Indonesia memiliki jutaan orang suka pedas.

Baca juga:  Islam Kultural ala Gus Dur Melawan Politik Islamisasi ala Soeharto

Kutipan dari berita: “Gara-gara harga cabai sempat menjulang, pohon-pohon cabai masuk ke atas meja Sidang Kabinet di Bina Graha, Rabu pekan lalu. Hampir di tiap meja peserta, pot cabai dipajang dengan cantik.” Pemandangan tak biasa. Presiden dan para menteri bersidang bersama cabai. Oh, cabai terpikirkan dalam situasi darurat. Indonesia ingin pedas tapi harga mahal. Jutaan orang bermimpi makan cabai dan menikmati sambal. Indonesia sehari tanpa sambal bisa lesu dan cemberut.

Menit-menit sebelum sidang dimulai, Soeharto berkata: “Nanti kalau di sidang ini mengantuk, makan saja rawit ini. He, he, he.” Soeharto memberi anjuran atau petunjuk, bukan sindiran atau perintah mengandung marah. “Para menteri pun tertawa,” tulis di Gatra. Ginandjar Kartasasmita, menteri ganteng berkacamata berani mengucap: “Boleh dibawa pulang, Pak?” Ia berpikiran menjadikan itu oleh-oleh untuk istri tercinta. Soeharto mengangguk dan mesem. Giranglah para menteri! Mereka girang meski mengetahui orang-orang di luar Bina Graha mendambakan cabai lekas berharga murah. Indonesia belum becus mengurusi cabai tapi sempat “sombong” dengan swasembada beras.

Berita itu terbaca orang-orang ingin ikut bergembira: “Begitu sidang yang berlangsung dua jam usai, tahu dan tempe bacem dihidangkan. Rawitnya tentu sebagai penyedap dipetik langsung oleh Pak Harto dari pot di atas meja, diikuti menteri lain. Mereka mengunyah bersama sambil tertawa. Suasana di ruang itu menjadi ceria.” Orang-orang boleh cemburu. Cabai itu dinikmati presiden dan para menteri. Orang-orang biasa ngiler dan berharap mendapat sisa-sisa cabai di pohon. Beruntunglah masa itu kenaikan cuma untuk cabai, belum tahu dan tempe. Kehadiran pot cabai mengandung maksud. Soeharto menginginkan orang-orang menanam cabai di pekarangan rumah. Petunjuk sulit berlaku. Kita membuktikan cabai masih masalah rumit sampai 2021.

Baca juga:  KH. Agus Sunyoto, Sang Begawan Sejarah NU Berpulang

Kita tentu tak melupa kelakar cabai. Para menteri membutuhkan hiburan politis. Jaksa Agung Singgih berkata: “Wah, cabainya kebanyakan merah dan hijau. Kok tidak ada yang kuning?” Harmoko mendengar candaan itu tertawa lebar. Kuning itu Golkar. Indonesia “dikuasai” golkar, terbiasa mengalahkan partai berwarna merah dan hijau. Golkar tak mungkin mengganti logo: dari pohon beringin menjadi cabai. Pemaksaan perubahan logo pun bakal sia-sia. Orang-orang telanjur mengerti cabai itu merah dan hijau tapi mengetahui pula ada cabai kekuning-kuningan.

Soeharto sedang mengajarkan pangan. Menteri-menteri berkomedi. Pengajaran pangan itu dimulai dari Kemusuk, desa kelahiran Soeharto. Kita membuka buku berjudul Gemuruh Kemusuk (1991) susunan Djudjuk J, Lazuardi Adi Sage, dan S Budhi Rahardjo. Buku direstui Probosutedjo. Di halaman awal, terpasang foto Presiden Soeharto. Pembaca diajak mengingat Kemusuk pada akhir 1948: “Musim tanam padi yang mengasyikkan. Semangat menyala di dada. Semangat untuk berproduksi pangan di alam merdeka. Merdeka. Menanam padi untuk bangsa sendiri. Tidak ada lagi tanam paksa. Tidak ada lagi keharusan menanam tanaman produksi untuk kepentingan penjajah. Bertani untuk menyongsong hari depan yang indah asri.” Kita berpikiran lagi-lagi padi, bukan cabai.

Kita mengerti bila mengenang Soeharto adalah mengenang cita-cita Indonesia menjadi hamparan sawah berpadi. Indonesia dijanjikan berlimpahan beras. Ah, kita perlahan meragu! Indonesia sering mengimpor beras. Soeharto mungkin kelimpungan dalam membuat kebijakan pangan. Ia pernah mendapat penghargaan berkaitan beras tapi memberi warisan masalah rumit dalam pertanian, terutama beras. Indonesia masa sekarang masih ribut beras. Polemik bermunculan mengarah politik, keuntungan pengusaha, petani, musim, dan lain-lain. Dulu, Soeharto belum serius menjadikan Indonesia itu negeri bercabai.

Baca juga:  100 Tahun Soeharto (1): Bocah dan Doa

Petunjuk dan kebijakan Soeharto melulu padi berakibat pengetahuan dan imajinasi anak-anak di Indonesia berpusat padi. Kita mencomot puisi gubahan bocah bernama Indah Kumoro Dewi (Jogjakarta) dalam buku berjudul Surat dan Puisi Anak-Anak untuk Pak Harto (1992) dengan editor G Dwipayana dan S Sinansari Ecip. Puisi sederhana dibandingkan puisi sederhana gubahan Sapardi Djoko Damono. Kita simak: Kehidupan memutar segala ragu/ Petani melangkah riang ke sawah/ Tersentuhlah daun nan hijau/ Melambai minta dibelai// Kicau riang nyanyian pagi/ Membawa anak ke masa depan/ Dusunku kecil, padi menguning/ Bagai kencana titian masa.

Pada saat Soeharto berkuasa dengan sihir pembangunan nasional, bocah-bocah keseringan berimajinasi sawah dan padi. Mereka gagal mengimajinasikan beragam tanaman bercerita Indonesia. Bocah belum menulis cabai dalam puisi. Kini, kita mengenang bahwa Soeharto pernah bercerita cabai dalam kegembiraan tapi telanjur ditokohkan gara-gara beras atau kebijakan “memerintahkan” ratusan juta orang di Indonesia makan nasi setiap hari.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top