Sedang Membaca
Statemen Gus Yaqut dan SE Menag dalam Kajian Turast Klasik
Misri A Muchsin
Penulis Kolom

Guru Besar Sejarah Pemikiran Modern Dalam Islam di UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Banda Aceh dan Pembina Ansor di Aceh

Statemen Gus Yaqut dan SE Menag dalam Kajian Turast Klasik

Ilustrasi Pengeras Suara Masjid 1 169

Jelang akhir bulan Rajab tahun ini, tanah air kembali “heboh” dengan Surat Edaran (SE) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) memicu reaksi beragam dari kalangan umat Islam. Ada pro dan kontra. SE Menag Nomor 5/2022 Tertanggal 18 Februari 2022 dan pembahasannya tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.

Terjadinya pro dan kontra merupakan hal lumrah. Umat yang pro menganggap tidak ada perlu dipermasalahkan. Tetapi, umat yang kontra, menganggap SE membatasi kebebasan penggunaan pengeras suara di masjid atau di musala. Mereka memprotes keras ucapan Menag yang mereka anggap membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing. Bahkan sangat disesalkan adanya pernyataan yang bersifat negatif dan menghina terhadap Menag.

Ketika melihat isinya ternyata biasa-biasa saja. Tidak berbeda jauh dengan apa selama ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan sebagian wong Islam. SE Menag hanya mengatur agar penggunaan pengeras suara di masjid dan musala dapat lebih baik. Dan mampu menciptakan suasana lebih tenang di dalam lingkungan.Sebagai salah satu contoh isi SE Menag. Penggunaan pengeras suara untuk azan dan iqamah boleh saja dipancarkan keluar masjid. Bahkan, sebelum azan, jika biasanya dilakukan tarhiman, ya disilakan. Waktunya antara 5 hingga 10 menit sebelum azan dikumandangkan. Lantas bagaimana pandangan ulama terhadap SE tersebut?

Salah seorang ulama kharismatik Aceh dan juga mursyid tarekat naqsyabandiah pemimpin dayah terbesar di Aceh Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga  Al-Musyid Abu Syekh H. Hasanoel Basri HG atau lebih dikenal dengan sebutan Abu MUDI beberapa pendapatnya seputar suara yang menimbulkan kegaduhan dalam massyarakat sudah pernah memberikan penjelasan meskipun ada kontroversi dalam masyarakat. Abu dalam pendapatnya menyebutkan pengajian bulan Ramadhan dengan pengeras suara di tengah malam dapat mengangu ketertiban masyarakat juga berdosa seseorang yang mendengar apabila ada kesalahan pembaca al-quran tidak ditengur, nyata pengajian bulan Ramadhan tersebut tidak sedikit yang salah, singkatnya Abu MUDI menyebutkan hendaknya pembaca quran tersebut memakai toa internal yang didengar pihak dalam masjid/musalla sehingga tidak menganggu ketertiban masyarakat dan doa pendengar apabila ada kesalahan. Intinya ibadah yang dilakukan tidak boleh menganggu orang lain dan juga jangan mengundang dosa orang lain saat adanya kesalahan membaca Alquran.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (14): Qur'an dan Metafora, Debat Quraish Shihab dan Nurcholis Madjid

Melihat dan menalaah penyataan ulama Aceh itu sejalan dengan subtansi yang disampaikan dalam SE tersebut, bahkan sebelum SE Menteri Agama No 5 Tahun 2022 tersebut, Abu MUDI telah duluan memberikan pencerahan kepada masyarakat dan video pengajian tersebut beberapa tahun silam tentunya pro dan kontra tidak terlelakkanPendapat Abu MUDI sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Abdurrahman Al Masyhur Ba’alawi dalam karyanya berjudul “Bughyatul Mustarsyidin” menjelaskan :

فائدة: جماعة يقرأون القرآن في المسجد جهراً، وينتفع بقراءتهم أناس، ويتشوّش آخرون، فإن كانت المصلحة أكثر من المفسدة فالقراءة أفضل، وإن كانت بالعكس كرهت اهـ فتاوى النووي

“(Keterangan) sekelompok orang membaca Al-Quran dengan lantang di masjid. Sebagian orang mengambil manfaat dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Quran itu lebih utama (afdhal). Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka baca Al-Quran itu menjadi makruh. Selesai. Fatwa An-Nawawi,”. (Sayyid Abdurrahman Al Masyhur Ba’alawi , “Bughyatul Mustarsyidin”, h. 108).

لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ ، كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى ، وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوّش على المصلين ، فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء

“Zikir dan sejenisnya, di antaranya membaca Al-Quran dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang shalat atau mengusik orang yang sedang tidur. Tetapi jika bacaan Al-Quran dengan lantang itu lebih banyak mengganggu (menyakiti orang lain), maka saat itu bacaan Al-Quran dengan lantang mesti dihentikan. Sama halnya dengan orang yang duduk setelah azan dan berzikir. Demikian halnya dengan setiap orang yang datang untuk shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat. Kalau di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Quran itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti taklim jika tidak dikhawatirkan riya,” (Sayyid Abdurrahman Al Masyhur Ba’alawi , “Bughyatul Mustarsyidin”, h. 108).

Baca juga:  Diaspora Santri (4): Peran Nahdlatul Ulama dalam Isu Xinjiang

Berdasarkan ungkapan di atas, dalam syariat Islam sebenarnya tadarus atau pemutaran kaset pengajian dengan pengeras suara masjid atau mushalla untuk sejumlah keperluan tersebut boleh saja. Tetapi pemutaran kaset itu atau tadarus Al-Quran dengan durasi panjang misalnya lebih dari satu jam juga tidak baik karena dapat mengganggu orang yang memerlukan kondisi tenang. Pemutaran kaset terlalu lama hanya membuat bising atau polusi suara hingga menggangu aktivitas sebagian masyarakat. Kebisingan atau polusi suara ini yang dilarang dalam agama. Jangankan pakai pengeras suara. Tadarus tanpa pengeras suara lalu mengacaukan konsenstrasi orang sembahyang jelas dilarang dalam syariat Islam. lebih lanjut Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan bahwa tadarus Al-Quran, zikir, atau semacamnya hingga membuat polusi suara bukan saja dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang bersembahyang. Semua itu dilarang dan karenanya harus dihentikan atau dikurangi volume suaranya karena dapat mengganggu sebagian orang lain bahkan mengganggu orang istirahat.

Memperkuat argumen di atas, dalam Alquran sendiri dijelaskan suara yang telalu keras dan memekakkan telinga dianggap sebagai suara yang paling tidak disenangi seperti suara keledai. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam surat Lukman berbunyi:

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان: ١٩

Artinya, “Dan biasalah dalam berjalanmu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu keras),” (Surat Luqman: ayat 19). Saat menjelaskan ayat tersebut ulama tafsir berdarah Cordova, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengatakan:  

لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي.  

Artinya, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”  

Baca juga:  Kerusakan Lingkungan dan Agama Hanya Sekadar Pemanis?

Imam Qurtubi dalam penjelasannya lebih lanjut dikisahkan bahwa Sayyidina Umar bin al Khatthab RA, Khalifah kedua setelah wafat Rasulullah SAW yang sangat terkenal ketegasannya pun pernah menegur muazin semasanya, yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi’yar RA, yang adzan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya. Penuh ketegasan Sayyidina Umar RA menegur muazin itu:

  لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَنْشَقَّ مُرَيْطَاؤُكَ  

Artinya, “Aku khawatir perut bagian pusar hingga (tempat tumbuh) rambut kemaluanmu bedah,” (Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz XIV, h. 71).   Inti yang ingin disampaikan  dari kisah ini hendaknya bahaya harus dihindarkan baik bagi diri sendiri maupun orang lain dan ini sejalan dengan semangat sabda Rasulullah SAW  

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ. حَسَنٌ  

“Tidak boleh menyakiti orang lain dan tidak boleh membalas menyakitinya,” (HR Ahmad dan Ibn Majah. Hasan.)

Berdasarkan penjelasan di atas, terbitnya SE Menteri Agama No 5 Tahun 2022 menjadi solusi dan pertimbangan durasi pengeras suara agar tidak menimbulkan polusi suara atau kebisingan yang tidak perlu. Hendaknya dengan terbitnya SE tersebut, pengurus masjid perlu mempertimbangkan sebagian masyarakat yang sedang sakit, orang perlu istirahat, lansia yang membutuhkan ketenangan, pelajar yang membutuhkan konsentrasi untuk belajar, atau pekerja yang memerlukan suasana kondusif tanpa polusi suara.Tentu saja ini tidak hanya berlaku untuk pengeras suara masjid atau mushala dan sejenisnya juga anggota masyarakat yang ingin menggunakan pengeras untuk pelbagai kepentingan. Intinya boleh saja menngunaksn pengerass suara asal tidak mengganggu orang lain.

Beranjak dari pembahasan di atas, salah satu pesan penting lainnya dalam menjaga ukhuwah dan solidaritas dalam bermasyarakat dan berbangsa sesungguhnya sesama anak bangsa hendaknya dalam memberitakan atau mengkhabarkan sesuatu kepada masyarakat untuk  lebih mengedepankan narasi-narasi positif terkait dengan SE Menteri Agama No 5 Tahun 2022 mengenai aturan pengeras suara. Kita sangat mendukung SE Menag tersebut sebagai bentuk menjaga ukhuwah kebangsaan, hidup rukun damai, menjunjung tinggi kebhinekaan sebagai wujud dari implementasi moderasi beragama. Sudahkah kita melakukannya?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top