“Semua angsa itu berwarna putih”, begitu ungkapan yang dahulu diyakini semua orang di dunia. Istilah black swan atau angsa hitam hanya digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan peristiwa yang tidak mungkin terjadi. Tahun 1697 Willem de Vlamingh, seorang traveler Belanda menemukan fakta sebaliknya. Ternyata angsa hitam memang benar-benar ada dan ia melihatnya langsung di Australia bagian barat.
Penemuan ini tak hanya mengejutkan para ahli biologi, ia juga mendorong lahirnya sebuah paradigma baru. Berangkat dari fenomena ini juga, Nassim Nicholas Taleb, seorang ahli statistik dan peneliti berdarah Lebanon-Amerika, melahirkan teori black swan yang dituangkan dalam bukunya dengan judul sama “The Black Swan” terbit tahun 2007.
Teori black swan menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi di luar prediksi, namun memiliki dampak yang sangat ekstrim, sehingga menimbulkan efek kejut luar biasa. Banyak peristiwa penting di dunia yang berawal dari fenomena black swan, sebut saja keruntuhan Uni Soviet, penemuan internet, peristiwa 11 September, dan masih banyak lagi. Awalnya, teori ini banyak digunakan untuk memprediksi kondisi ekonomi, sehingga memudahkan para pengambil kebijakan maupun pelaku pasar.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah black swan mengalami perluasan makna, bahkan telah digunakan secara bebas dalam kancah budaya pop. Ia semacam situasi ketidakpastian yang merupakan antitesa kemapanan. Lagu “Black Swan” yang baru saja dirilis awal tahun 2020 oleh BTS, group band kenamaan asal Korea ini, sedikit banyak bercerita tentang ketidakpastian. Perasaan takut pada momen ketika mereka tidak lagi dapat berdiri di atas panggung sebagai seorang artis.
Kecemasan tersebut banyak dialami masyarakat modern hari ini. Setiap kita pernah mengalami kekhawatiran akan terjadinya ketidaknyamanan di masa depan. Seorang pekerja mapan atau pebisnis kerap mencemaskan apakah suatu saat dia akan kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin. Seorang yang selalu hidup dikelilingi keluarga tercinta tetap mengkhawatirkan suatu hari ia akan ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya. Terlebih, di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini. Setiap saat, tanpa terduga orang bisa dengan cepat mengalami situasi black swan-nya.
Segala kemapanan sains dan teknologi pada satu sisi dan munculnya berbagai peristiwa tak terduga pada sisi lain, memunculkan sebuah kebingungan dalam masyarakat modern. Tak jarang, hal ini memicu lahirnya sikap-sikap ekstrim dan saling berseberangan. Ada yang mengambil jalan bergantung sepenuhnya pada hasil sains, tanpa menyisakan sedikitipun adanya faktor eksternal. Ada juga yang memilih berserah secara pasif dengan tidak peduli pada aturan dan data-data ilmiah. Di sinilah, jalan spiritualitas Rumi menemukan relevansinya. Jalaluddin Rumi, melalui konsep tawakal-nya yang dinamis, berupaya menjembatani dua pergulatan ini.
Kita mungkin sudah sangat akrab dengan istilah tawakal, bahkan mengetahui maknanya di luar kepala, yaitu sebuah keyakinan dan sikap yang hanya bergantung kepada Tuhan. Namun, konsep ini memerlukan penjelasan yang tepat, karena acapkali disalahpahami menjadi sikap kepasarahan yang pasif.
Benar, sikap tawakal memang akan melahirkan totalitas kesadaran dan kepasrahan, karena ia merupakan tingkatan tertinggi dalam perjalanan sufistik. Seorang yang telah mencapai maqam tawakal akan menyadari bahwa segala gerak di alam ini atas kehendakNya. Rumi dalam kitab Matsnawi jilid 3, bait 1899 menyebutkan: “Tak ada satu pun daun yang jatuh dari pohon, tanpa seizin Sang Pencipta”
Tetapi, tawakal sendiri memiliki berbagai tahapan dan syarat yang perlu dipahami. Tahapan awal yang perlu disadari adalah bahwa sikap kepasrahan ini harus disertai dengan ikhtiar. Inilah yang oleh Rumi disebut sebagai tawakal dinamis.
Dengan tegas Nabi sabdakan
Tawakal hendaknya bersama ikhtiar
Hai engkau yang enggan berusaha
Ingatlah hadis: “Tuhan mengasihi orang-orang yang berusaha”
(Matsnawi, jili1, bait 913-914)
Penjelasan puisi Rumi ini merujuk pada sebuah riwayat. Suatu hari, Nabi bertemu dengan sekelompok orang yang terlihat berpangku tangan. Nabi bertanya: “Siapakah kalian?”. Mereka menjawab: “Kami adalah golongan orang yang bertawakal”. Nabi bersabda: “Bukan, kalian termasuk orang-orang yang memberatkan beban orang lain”. Riwayat ini diperkuat oleh hadis yang sangat popular tentang kisah seorang Baduy yang kehilangan untanya karena ketelodaran.
Dalam pandangan Rumi, sandaran utama kita adalah Tuhan, namun dalam prosesnya kita juga harus mematuhi hukum sebab akibat. Karena, hal tersebut merupakan sunatullah atau aturan Tuhan yang universal. Rumi dalam salah satu puisinya menyebutkan:
Dunia menuntut sebab akibat, tak ada peristiwa terjadi tanpa sebab
Maka berusaha dan bersungguh-sungguh amatlah penting
(Matsnawi, jilid 5, bait 2383)
Dalam bait-bait berikutnya (masih di buku matsnawi jilid ke-5, bait 2385-2387), Rumi memberikan contoh detail, bagaimana hukum sebab akibat itu bekerja. Tuhan memang memberikan rezeki kepada setiap makhluknya. Rumi mengibaratkan rezeki itu seperti rumah yang pintunya masih tertutup. Dan kunci untuk membuka pintu itu adalah kerja keras. Tanpa kerja keras tak mungkin seseorang akan mendapat rezeki. Tuhan tidak akan memberikan rezeki kepada seseorang tanpa usaha yang maksimal. Kaidah ini juga berlaku pada berbagai persoalan hidup lainnya seperti pekerjaan, jodoh, kesehatan dan sebagainya.
Ketika kita telah memaksimalkan usaha, namun terjadi hal yang tidak diinginkan. Di situlah saatnya kembali memaknai kepasrahan yang sejak awal kita ikrarkan bersama dengan segala ikhtiar. Barangkali inilah metode yang oleh Viktor Frankl disebut sebagai logoterapi. Bagaimana seseorang tetap dapat menemukan kebermaknaan hidup di tengah situasi paling buruk sekalipun. Ia tidak hanya mampu bertahan, bahkan dapat melakukan lompatan.
Jadi, jika diaplikasikan secara tepat, konsep tawakal ini dapat menjadi amnunisi agar tetap berada di jalur kewarasan. Kita tidak akan mengalami kebingungan atas berbagai peristiwa yang sulit diprediksi, baik yang terjadi hari ini maupun di masa mendatang. Karena ada sandaran utama yang akan menentramkan hati dan mencegah dari rasa putus asa. Namun keyakinan ini perlu disertai dengan mematuhi mekanisme sebab akibat, sebagai bagian dari hukum universal Tuhan.