Sedang Membaca
Ritmik Madura: Melihat Madura yang Berbeda
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Ritmik Madura: Melihat Madura yang Berbeda

Kasokan Live

Tampak wajah pesimis saat rangkaian acara Ritmik Madura yang digagas oleh Keluarga Kasokan dari Bangkalan akan dimulai. Tidak banyak orang di halaman Museum Keraton Sumenep tersebut, tempat yang dipilih sebagai venue perdana untuk serangkaian konser empat kabupaten mereka di Madura, pada Sabtu malam, 14 Juni 2025. Maklum, nyaris dua hari hujan mengguyur, sehingga orang-orang memilih berada di balik selimut, di rumah masing-masing, daripada pergi ke area keraton dan duduk beratapkan langit. Setelah Bapak D. Zawawi Imron menyampaikan orasi pada pukul 20.00, pembukaan acara dimulai dengan pementasan dari Teater Cemara, barulah beberapa kelompok orang mulai maju, mendekat ke panggung.

Ritmik Madura adalah nama kegiatan Keluarga Kasokan untuk memperkenalkan album baru mereka, Nata Aba’, keliling Madura. Pertunjukannya dimulai dari Sumenep. Mereka akan melakukan serangkaian konser berturutan per dua pekan. Dari Sumenep, acara berikutnya ditempatkan di Pamekasan, Sampang, dan berakhir di rumah mereka sendiri, Bangkalan. Tentu, perhelatan besar dan panjang ini akan banyak menguras energi dan dana. Untunglah, banyak sponsor yang mendukung mereka, termasuk LPDP Indonesiana.

Sebelum memulai pertunjukan, mereka mempersilakan Saidart untuk tampil. Band yang digawangi oleh Oches Sumantri ini membawakan lagu-lagu bertema kritik sosial yang pernah dipopulerkan oleh Iwan Fals, terutama saat bersama Swami. Pembacaan puisi oleh Khalil Tirta menjadi bagian dari kolaborasi Kasokan dengan seniman tempatan. Khalil membacakan madah gubahannya untuk Syaikhona Kholil atas ratibnya. Sementara pementasan topeng oleh Sanggar Pantai Harapan (Pasongsongan) diatur agar menjadi penyela dua babak pertunjukan Kasokan.

Melihat persiapan mereka dalam memperkenalkan album keduanya ini, dua jempol harus diangkat. Panggung yang besar, tata cahaya yang hidup, serta audio yang jernih, adalah sedikit bukti dari banyak lainnya. Mungkin, langkah ini sebagai ‘balas dendam’ atas kerja mereka saat memperkenalkan album pertamanya, “Arassah tor Aromasah” (yang menelorkan debut populer, Allahumma Estoh Lana) yang dianggap kurang maksimal. Akan tetapi, seperti kata pepatah ‘ketika semuanya telah selesai, maka akan tampak kekurangannya’, seperti itu pula dengan proyek ini. Poster dan flyer yang disebar terlalu dekat dengan hari-H, juga penata acara yang terlalu banyak which is dan I think-nya untuk sang penampil yang justru sedang mengkampanyekan penggunaan bhasa alos dan visi kemaduraan menjadi bagian dari masalah-masalah tersebut.  

Kasokan 1

Materi Lagu: Aransemen dan Konsep

Secara umum, struktur lagu mereka–bahkan tercakup album pertamanya–‘normal’ saja sebagai lagu. Konsep lagu-lagunya tidak butuh banyak chord, tidak banyak perubahan tempo, tidak terlalu banyak varian, dan itu semua bermakna “enak didengar”. Akan tetapi, kenyataannya, lagu-lagu pada Nata Aba’ ini memang mengasyikkan, tapi sejatinya tidak terlalu ringan untuk disimak. Pasalnya, bunyi-bunyian pada musiknya sangatlah kaya, ibarat menu rendang yang disuguhkan kepada lidah yang terbiasa makan ayam geprek. Suara alat musik sangat banyak yang muncul dalam satu lapis trek, bergabung dengan trek demi trek, telah membentuk satu kepaduan bunyi yang utuh: harmoni. Koor atau choir pada vokal juga tak kalah perannya dalam mengisi celah-celah kosong yang biasanya selalu muncul dalam sembarang lagu, pada lapisan-lapisannya, entah itu di awal atau di tengah atau di akhir atau di antaranya.

Baca juga:  Forum R20 NU DIY: Para Pemuka Agama Bertemu untuk Mencari Jawaban atas Krisis Iklim

Ciri khas Kasokan yang dapat dengan mudah ditangkap oleh telinga awam yang pertama kali mendengarnya adalah kesan meruang (ambience) pada banyak lagu, bahkan nyaris pada semua lagu. Kesan meruang ini sangat mendukung untuk kontemplasi, sehingga ketika ada bagian senyap di bagian tertentu, lalu muncul suara kosmik dari synthesizer, suasana akan menjadi syahdu. Kesan demikian bahkan bisa muncul meskipun ia sedang dipentaskan di ruang terbuka yang luas dan panggung yang besar, seperti pada konser pertama mereka di halaman Museum Keraton Sumenep itu (Silakan periksa lagu Pang-Pangghalian di menit ke 1:50. Ada keheningan di sana, momentum yang seakan memberikan kesempatan untuk pendengar, sejenak saja, agar turut serta mengisinya dengan tafakur. Lagu ditutup dengan ‘senandika’ di akhir lagu, dengan sisa suara synth yang meredup perlahan).

Dari 13 lagu di album Nata Aba’ (Mantra, Kadung Estoh, Bhupa Babu Guru Ratoh, Ngereng Abhesah, Aeng Tengal, Se Aghung, Sabeb Ajunan, Pangghughah Bhaten, Dhi Endhi, Ngemodhi Lalampa, Pang Pangghalian, Bhangkalan, dan Shalawat Ilmi), hanya lagu berjudul “Pangghugah Bhaten”-lah yang ‘diusili’ sinkup pada temponya. Sementara lagu “Bhangkalan” diistimewakan dengan teknik modulasi, suatu bagian yang tak ditemukan pada lagu lainnya. Meskipun begitu, keduanya tetap akrab di telinga awam, bahkan pada pendengaran orang yang menyimaknya selintas kilas.

Baca juga:  Strategi dan Narasi Perjuangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Adapun dua trek yang layak digarisbawahi adalah “Se Aghung” dan “Mantra”. Aura mistis terasa kuat pada keduanya. Elemen-elemen musikal yang mestinya menjadi arus utama dalam lagu justru berposisi sampingan pada kedua komposisi ini. Adanya suara kejhung membuatnya berbeda dan berasa istimewa. Durasi “Mantra”  bahkan kurang dari 2 menit, ya, tak lain karena ia adalah mantra sementara bunyi-bunyi yang muncul sekadar membantu menguatkan, bukan kekuatan itu sendiri. Mantra itulah kekuatannya. Mantra sudah kuat dengan sendirinya. Sedangkan lagu “Se Agung”, yang diawali oleh ‘senandika’ bercengkok khas, merupakan lagu yang pasti akan sulit ditiru oleh vokalis umum arustama jika ia tidak terbiasa dengan nada-nada pentatonis seperti pada kejhung. “Se Agung” semakin agung begitu dipungkasi dengan zikir asma Allah yang agung.

Sesuai dengan visi dan misi Keluarga Kasokan (mereka lebih suka menyebut ‘keluarga’, alih-alih ‘band’) untuk menghidupkan khazanah kemaduraan dan leluri leluhur Madura, lagu “Ngereng Abhesah” dan “Dhi Endhi” menjadi jawabannya. Kedua lagu tersebut mengejawantahkan misi revitalisasi bahasa dan warisan budaya, termasuk permainan-permainan tradisional, yang kini ditinggalkan, yang kalau ditilis lebih jauh, gagasan tersebut sejatinya bukan semata soal bahasa atau budaya. Ada pesan mendalam pada keduanya, yakni khazanah kemaduraan yang sering menjadi inferior justru di mata orang Madura sendiri. Khusus lagu “Dhi Endhi”, masuknya suara-suara kosmik membuat sensasi unik: pendengar seolah dibawa ke alam dongeng, atau ke masa lalu, masa ketika orang tidak mencari kecuali sekadar yang dibutuhkannya, tidak rakus pada yang sudah dimilikinya. Lagu ini berubah tempo di tengah, menjadi riang, rancak, seperti ketukan musik daul yang sekarang sedang marak, menjadikan lagu itu seperti bergerak, melewati lorong waktu, dari dulu sampai kini.

Baca juga:  Jelang Harlah Nurul Jadid dan Satu Abad NU, Mahad Aly Nurul Jadid Buka Call for Paper Muktamar Pemikiran Mahasantri 2023

Kehadiran album Nata Aba’ dari Kasokan telah ikut meramaikan belantika musik di Madura. Bersama La Ngetnik dan Lorjhu’, mereka hadir untuk menjawab tudingan bahwa musik Madura mutakhir tak lain kecuali hanya produk salin-tempel dari lagu-lagu India dan Arab yang diambil, dipotong, dan dicetak ulang secara ugal-ugalan namun berterima di masyarakat. Di antara kenyataan umum ini, yang tentu saja pandangan tersebut merupakan bagian dari stereotyping, Kasokan telah menjadi perkecualiannya.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
7
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top