Sedang Membaca
Bocah Mengenali Ulama Itu Pahlawan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Bocah Mengenali Ulama Itu Pahlawan

Daftar ulama diangkat menjadi pahlawan terus bertambah di masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dua tahun kemarin, publik diajak menghormati atas penetapan Kiai Haji Raden As’ad Samsul Arifin sebagai pahlawan nasional.

Kini, ulama demi ulama dalam arus sejarah Indonesia pantas menjadi pahlawan. Mereka telah menulis, berkhotbah, mendidik, dan beraksi demi Indonesia. Agama jadi pijakan memuliakan Tanah Air.

Pada 1897, pahlawan itu dilahirkan di Makah, Arab Saudi. Ia mendapat nama As’ad, berarti membahagiakan. As’ad berusia enam tahun pulang ke Tanah Air. Diri perlahan menghirup udara pedih di tanah jajahan. Bocah itu masih lugu tapi telah menginjak tanah di tanah para leluhur.

Barangkali ia mulai mengimpikan Tanah Air berubah menuju bahagia. As’ad kembali ke Makah untuk belajar. Di Tanah Suci, ia seperti menumpuk ilmu dan tekad untuk terbagikan demi sebaran adab dan etos kebangsaan. Pada 1924, As’ad pulang ke Indonesia. Ia menjadi pribadi berkemauan keras mencipta kebahagiaan. Ia melanjutkan belajar ke ulama tenar dan mengejawantahkan cinta Tanah Air. Bukti terpenting tentu keterlibatan dalam pendirian Nahdlatul Ulama.

Kesanggupan menunaikan misi berbangsa-bernegara dibuktikan dengan menjadi anggota Konstituante (1957-1959). Ia berlanjut membesarkan (lagi) pesantren. Pengabdian untuk pondok pesantren menguat ketimbang godaan di politik.

Dulu, Soekarno pernah menawari As’ad menjadi menteri agama. Godaan itu tak manjur dalam kesungguhan membesarkan pesantren. As’ad ingin penguatan ilmu dan adab dalam mencipta kebahagiaan di Indonesia (Tempo, 2 September 1989).

Penggalan biografi itu masih terkesan bacaan bagi orang dewasa. Ketokohan dan peristiwa-peristiwa politik di Indonesia agak sulit terpahamkan oleh bocah. Di Indonesia, pengenalan pahlawan ke bocah biasa berupa gambar-gambar menempel di dinding kelas. Ikhtiar untuk menceritakan pahlawan melalui buku sempat muncul sejak masa 1970-an. Buku-buku bacaan bertema pahlawan mendapat sokongan negara melalui penerapan Inpres.

Baca juga:  Malam yang Terberkahi

Kini, kita menanti pengenalan  Kiai Haji Raden As’ad Samsul Arifin berlaku bagi bocah-bocah di Indonesia melalui garapan buku biografi, cerita pendek, novel, dan puisi. Penghadiran teks sastra membuat bocah ingat sejarah, menghormati tokoh, dan berhak berimajinasi tentang Indonesia.

Dulu, usaha menggubah teks-teks sastra kepahlawanan sebagai bacaan bocah pernah dilakukan Sides S. Kita sejenak ingin mengenang dan mengapresiasi para ulama sebagai pahlawan melalui gubahan puisi. Buku berjudul Pahlawan dalam Puisi (1979) garapan Sides S. menjadi acuan mengartikan peran para ulama dalam dakwah dan gerakan kebangsaan, sejak awal abad XX.

Mereka turut membentuk Indonesia dengan ceramah, buku, aksi sosial, gerakan pendidikan, dan seni-kultural. Sajian puisi memang tak memadai untuk apresiasi utuh tapi tetap memberi ajakan bagi para pembaca menghormati kebermaknaan ulama dalam sejarah Indonesia.

Puisi berjudul “Kyai Haji Achmad Dahlan” mengingatkan kesejarahan gerakan kemajuan Islam dan kebangsaan. Beliau adalah pendiri Muhammadiyah (1912), menggerakkan agenda-agenda pencerahan dan berkemajuan. Sides menulis:

Kyai, dikau adalah ulama Indonesia/ Yang sadar selalu akan nasib bangsamu/ Kau tebarkan amal solehmu/ Kau pancarkan sinar dakwahmu// Langkah demi langkah kau meniti/ Di jalan Allah nan Maha Suci/ Kau bangkitkan gairah iman bangsamu/ Kau tumbuhkan jiwa agama di negerimu.

Puisi memang berisi pujian, berkaitan peran sebagai ulama dan penggerak bangsa. Puisi itu sederhana tapi bercerita tentang tekad dan pengorbanan. Ulama adalah panutan atau teladan.

Baca juga:  Beberapa Hadis Ini Meminta Kita Jangan Asal Menuduh Kafir

Penghormatan pada ulama berlanjut ke puisi berjudul “Kyai Hasjim Asj’ari” . Tokoh NU itu diceritakan sebagai pendakwah dan pemersatu umat. Kita simak dua bait pujian:

Kyai, dikau ikut serta menyebarkan Islam/ Di pelosok-pelosok tanah air/ Demi kemajuan umat dan rakyat/ Menjauhkan kaum dari sifat kafir// Dengan ikhlas kau bela keagungan Islam/ Dengan penuh semangat kau galang persatuan/ dan kau eratkan umat Islam nan setia/ Dengan kebathilan kau enggan bersapa.

Kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air.

Muhammadiyah dan NU menjadi lokomotif dakwah dan kebangsaan. Di rahim dua organisasi, para tokoh tampil sebagai penggerak dan penentu arah sejarah Indonesia. Sides menggubah puisi berjudul “Haji Fakhruddin”, ulama bermisi kebangsaan:

Dikau penyiar agama nan mulia/ Bergerak selalu demi kejayaan Islam/ Membina semangat kaum muda/ Untuk cinta agama dan bangsa// Kau masuk warga Budi Utomo/ Kau bergabung dengan Sarekat Islam/ Kau kembangkan jiwa Muhammadiyah/ Demi kemajuan segala insan.

Di NU, penghormatan pantas kita berikan pada ulama bernama Wahid Hasjim. Sides mempersembahkan puisi berjudul “K.H. Abdul Wahid Hasjim”, puisi menggugah album sejarah:

Kyai Wahid Hasjim yang selalu sujud/ Tangan bersih tercuci, tubuhmu bermandi doa/ Kau pijarkan sinar muslim nan hakiki/ Kau percikkan pada setiap hati/ Api Islam nan suci// Dalam hidupmu tekun tenang berseri/ Bekerja dari hari ke hari/ Memperjuangkan nasib negeri/ Menegakkan agama Illahi.

Pembaca diajak menempatkan ulama di dua alur: dakwah dan pergerakan kebangsaan.

Baca juga:  Puritanisme Berbahasa Orang Beragama

Kini, kita menantikan undangan agar pelbagai pihak mengenalkan kepahlawanan Kiai Haji Raden As’ad Samsul Arifin ke jutaan bocah di Indonesia. Pengenalan biografis dan ajakan ke bocah agar menulis cerita atau puisi memungkinkan penghormatan literasi.

Siasat itu agak membelok dari kecenderungan mengenali pahlawan melulu dalam gambar-poster dan patung. Bocah-bocah berhak mengartikan pahlawan melalui bahasa dan imajinasi. Pahlawan tak terasa tinggi seperti di dinding kelas dan mengeras seperti patung.

Puisi-puisi gubahan bocah dan bacaan bagi bocah agar merangsang imajinasi Indonesia, mengacu pada ketokohan para ulama sebagai pahlawan. Apresiasi puisi  menuntun bocah melakukan pendalaman makna dengan berlanjut membaca buku-buku biografi.

Pengenalan para ulama dari rahim Muhammadiyah dan NU juga memungkinkan semaian harmoni dalam gerakan agama dan kebangsaan di Indonesia. Para ulama itu teladan. Mereka telah menggerakkan sejarah dan mengartikan Indonesia. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top