Sebagaimana kita ketahui, Alquran telah menyatakan bahwa dirinya adalah sebagai kitab petunjuk (hudan) yang dapat menuntun umat manusia menuju jalan yang benar. Selain itu, juga berfungsi sebagai pemberi penjelasan (tibyan) terhadap segala sesuatu, serta pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membuktikan bahwa Alquran adalah kitab petunjuk, pemberi penjelasan serta pembeda antara yang benar dan yang bathil. Yang semua itu telah dilakukan oleh orang-orang kompeten yang telah memenuhi syarat (para ahli tafsir), dengan melakukan penafsiran terhadap Alquran, mulai sejak awal-awal peradaban Islam hingga kini.
Keindahan bahasa Alquran, kedalaman maknanya serta keragaman temanya, membuat pesan-pesan yang ada didalamnya tidak pernah habis, meski telah dikaji dari berbagai aspek. Keagungan dan keajaibannya selalu muncul seiring dengan perkembangan akal manusia dari masa ke masa. Oleh Karena itu, upaya untuk menghadirkan pesan-pesan yang ada dalam Alquran merupakan proses yang tidak pernah habis selama manusia masih hidup. Dari sinilah kemudian muncul berbagai ragam corak karya tafsir dengan berbagai metode yang digunakan.
Salah satu bentuk tafsir yang dikembangkan oleh para ulama kontemporer adalah tafsir tematik atau penafsiran Alquran tematik, yang dalam bahasa Arab biasa disebut dengan At-Tafsir Al-Maudlui atau dalam bahasa ulama asal Iran M Baqir al-Shadr disebut dengan Tafsir At-Tauhidi.
Dalam kitab Mabahis fit Tafsir al-Maudhui karya Musthafa Muslim, dijelaskan bahwa Tafsir ini berupaya menetapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau bagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut. Untuk kemudian dikaitkan dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Alquran. Atau bisa dikatakan sebagai sebuah penafsiran, yang membahas persoalan-persoalan sesuai dengan tema melalui penjelasan satu surah atau lebih.
Bagi sebagaian ulama, tafsir tematik dianggap sebagai metode alternatif yang paling sesuai dengan kebutuhan umat di era saat ini. Hal ini dikarenakan metode ini dianggap sebagai metode yang paling obyektif, tentunya dengan batasan-batasan yang ada. Dalam metode ini, seolah penafsir mempersilahkan Alquran berbicara sendiri melalui ayat dan kosa katanya, terhadap persoalan tertentu atau biasa disebut dengan Istantiq Alquran (ajaklah berbicara Alquran). Dan kata ini biasa dikumandangkan oleh para pendukung metode tafsir ini.
Dalam metode ini, seorang penafsir yang hidup di tengah realitas dengan pengalaman dari berbagai manusia dan kehidupan, duduk bersimpuh dihadapan Alquran untuk berdialog, mengajukan persoalan dan berusaha menemukan jawaban-jawabannyan dari Alquran.
Selain itu, metode ini dikatakan obyektif karena sesuai maknanya yaitu maudhui, yang berarti sesuatu yang ditetapkan disebuah tempat dan tidak kemana-mana. Para mufassir maudhui ketika menjelaskan pesan-pesan Alquran terikat dengan makna dan permaslahan tertentu yang terkait, dengan menetapkan setiap ayat pada tempatnya.
Metode ini dikembangkan oleh para ulama sebagai upaya untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada khazanah tafsir klasik yang didominasi oleh pendekatan tahlili. Yaitu sebuah penafsiran Alquran ayat demi ayat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dengan segala segi yang dianggap perlu oleh sang mufassir diuraikan, yang dimulai dari arti kosata, asbabun nuzul, munasabah dan lainnya, yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat.
Kritik yang sering ditujukan terhadap model penafsiran tahlili yang banyak digunakan oleh ulama-ulama tafsir klasik, karena dianggap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufassir. Dan sering kali tidak mampu memberi jawaban yang tuntas, terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis. Sehingga tafsir tematik dianggap sebagai alternative untuk menjawab kebutuhan umat, yang lebih suka terhadap penjelasan-penjelasan yang tidak terlalu rumit dan njlimet. (RM)