Tunisia adalah salah satu negara yang bisa disebut cukup terbuka dalam aspek pemikiran. Berbagai sarjana dengan latar belakang dan arus gerakan berbeda-beda muncul di sana. Salah satunya adalah Muhammad Thahir bin Asyur, seorang ulama bertangan dingin yang berhasil melahirkan karya dan pemikiran luar biasa, khususnya dalam bidang Maqashid al-Syariah.
Ia menulis Tahrir al-Ma’na al-Sadid wa Tanwir al-Aqli al-Jadid Min Tafsir al-Kitab al-Majid atau yang lebih sering disebut al-Tahrir wa al-Tanwir dalam bidang tafsir, sebuah kitab yang corak penafsirannya sangat detail, sastrawi dan bumbu-bumbu Maqashidnya ditemukan di mana-mana. Untuk menulis kitab ini, Ibnu Asyur mengadopsi referensi dari tafsir-tafsir terdahulu seperti al-Kassyaf karya al-Zamakhsari, al-Muharrar al-Wajiz karya Ibnu Athiyah, Mafatih al-Ghaib karya al-Razi, Tafsir al-Baydhawi karya al-Imam al-Baydhawi dan lain sebagainya.
Sementara dalam Maqashid al-Syariah, yang kemudian menjadi fokus utama pemikirannya, ia menulis kitab Maqashid al-Syariah al-Islamiyah. Kitab yang kedua, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, awalnya adalah materi-materi kuliah Ibnu Asyur di Universitas al-Zaintunah tentang ilmu Maqashid.
Ketika banyak ulama masih berdebat rancang bangun ilmu Maqashid, apakah ia menjadi bagian dari ushul fiqh atau tidak? Ibnu Asyur hadir dengan lantang dan menyebut Maqashid adalah ilmu tersendiri.
Meskipun demikian, keberadaan Maqashid al-Syariah tak bisa dipisahkan dari materi ushul fiqh, khususnya bab kiyas. Dalam bab kiyas ada pembahasan yang disebu dengan Masalikul illat, yakni metode penelurusan illat hukum.
Kiyas butuh illat untuk mempertemukan satu hukum baru (far’u) dengan hukum lama (ashl). Nah, menetapkan illat ini butuh yang disebut dengan Maqashid al-Syariah seperti dalam metode penelusuran illat munasabah—dalam bahasa lain takhrijul manath–, Tanqih al-Manath dan Ilgha’ al-Fariq. Dalam bab ini bisa disebut titik balik ilmu Maqashid.
Ibnu Asyur bisa disebut pelanjut pemikiran al-Syatibi. Kedua sosok ini ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Abdul Majid Najjar, seorang sarjana besar menyebut, jika al-Syatibi adalah pelopor Maqashid al-Syariah maka Ibnu Asyur pelajut sekaligus juoru bicaranya hari ini.
Lebih ekstrem lagi, Muhammad Abu Ashi menyebut bahwa Ibnu Asyur dalam bidang Maqashid sebenarnya lebih cerdas ketimbang al-Syatibi sendiri. Sebuah pandangan yang jika ditelaah lebih serius bisa ditolak. Sebab keduanya hidup dalam era dan tantangan yang berbeda maka membandingkan keduanya secara head to head sebenarnya kurang fair.
Meski demikian, setidaknya komentar fantastis di atas menyiratkan bahwa Ibnu Asyur bukan sosok biasa. Tapi anda akan sedikit mengamini jika membuka lembaran demi lembaran karya Ibnu Asyur. Di Maqashid al-Syariah al-Islamiyah misalnya, tak jarang pembaca akan dihadapkan dengan kritik-kritik Ibnu Asyur terhadap al-Syatibi.
Ibnu Asyur lahir dan berkarir di Tunisia, sebuah negara yang terbuka terhadap kajian dan pemikiran. Ketika negara-negara Islam lain masih berpolemik soal keabsahan Maqashid sebagai metodologi perumusan hukum, Tunisia sudah menyepakti dan menggunakan ilmu Maqashid dalam instibanth al-Ahkam.
Pada tahun 1879 Masehi atau 1296 H di sebuah daerah Timur Laut Tunisia lahir seorang anak yang kelak dinamai dengan Muhammad Thahir bin Asyur. Sejak lahir, ia hidup dalam tanggungan kakeknya, Syaikh Muhammad Aziz. Ketika usianya sampai pada angka enam tahun ia belajar membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an. Bukan hanya itu, di usia yang sama ia juga mulai belajar bahasa Prancis.
Tahun 1310 H ia masuk ke Perguruan Tinggi al-Zaitunah, Tunisia belajar secara resmi dan juga pada masa itu ia berguru kepada beberapa tokoh, seperti Syaikh Mahmud bin al-Khaujah, seorang ulama besar Hanafi di Tunisia, Syaikh Salim Buhajib, ulama besar mazhab Maliki dan lain sebagainya.
Secara umum buku karya Ibnu Asyur yang berjudul Maqashid al-Syariah al-Islamiyah mengandung dua ide utama. Bagian pertama berisi kajian-kajian teoritis (qism al-Nadzari). Dalam bagian ini ia mengelaborasi Maqashid al-Syariah dari aspek penetapannya dalam fikih, mekanisme penetapan dan tingkatan urutannya.
Bagian kedua adalah kajian praktis (qism tathbiqi) yakni bagaimana kaidah-kaidah teoritis dalam Maqashid tadi diterapkan dalam kasus-kasus fikih.
Masih dalam karya yang sama, Ibnu Asyur menyebut hasil riset pembacaannya terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia memastikan bahwa hukum-hukum dalam syariat Islam dikaitkan dengan hikmah, illat yang kembali kepada kebaikan manusia, baik dalam ruang lingkup personal atapun komunal.
Lalu bagaimana cara menetapkan Maqashid al-Syariah dalam tiap kasus hukum Islam? Menurut Ibnu Asyur ada dua cara. Pertama adalah melakukan riset serius (istiqra’) terhadap syariat Islam. Metodenya dengan meneliti hukum-hukum yang illatnya dietahui. Ketika kita meneliti illat-illat berbagai hukum bisa menyimpulkan satu tesis yang kemudian menjadi tolok ukur untuk hukum yang lain.
Metode lainnya adalah meneliti dalil-dalil beberapa hukum yang memiliki illat serupa sehingga bisa menyimpulkan satu maksud di balik hukum itu.
Cara kedua dalam menetapkan adanya sebuah Maqashid dalam hukum adalah adanya beberapa dalil al-Qur’an yang secara penunjukan (dalalah) menghilangkan kemungkinan atau maksud lain. Jadi mengomparasikan satu dalil dengan dalil yang lain untuk diputuskan pesan utamanya.
Cara ketiga adalah sunnah yang mutawatir. Bagian ini kemungkinan ada dua: pertama adalah mutawatir maknawi yang diperoleh sebab melihatnya banyak sahabat kepada prilaku nabi sehingga mereka mengerti maksud dan tujuan utama dalam sebuah aturan.
Kedua, mutawatir amali, yang diperoleh secara mandiri oleh masing-masing sahabat dengan melihat nabi berungkali melakukan hal tersebut sehingga disimpulkan satu tujuan utama (Maqashid).
Ibnu Asyur sendiri tak memungkiri bahwa kajian Maqashid al-Syariah bukanlah perkara ringan. Ia adalah pekerjaan akademik yang berat. Oleh karena itu menurut Ibnu Asyur, tidak semua orang dikenai beban moral untuk mengetahui Maqashid al-Syariah, mereka—lanjut Ayur—yang dikenai beban untuk mempelajar Maqashid adalah kaum intelektual.
Salah satu jejak kenapa ia bisa disebut penerus sekaligus juru bicara pemikiran al-Syatibi adalah ketika ia memberi penafsiran terhadap konsep al-Hifdzu dalam Maqashid al-Syariah. Al-Syatibi punya jasa besar bagaimana ia memberi pemetaan baru bahwa Hifz dalam al-Dlaruriyah al-Khams memiliki dua makna. Pertama, Hifz dalam konteks perlindungan dari sisi perwujudannya yang dapat melanggengkan eksistensinya (al-Hifz min janib al-Wujud). Kedua, Hifz dalam konteks perlindungan dari sisi pembelaan dan pencegahannya dari hal-hal yang dapat menghapuskan eksistensinya (al-Hifz min janib al-Adam).
Dalam rangka hifz al-Din min janib al-wujud misalnya, Islam mensyariatkan berbagai macam ibadah seperti iman, salat zakat puasa dan seterusnya. Sedangkan dalam rangka hifz al-Din min janib al-Adam, Islam mensyariatkan larangan murtad dan lain-lain. Konsep hifz yang ditawarkan oleh al-Syatibi ini bisa dianggap lebih maju ketimbang konsepsi hifz dari pemikir-pemikir sebelumnya.
Namun, upaya yang dilakukan oleh al-Syatibi itu dinilai masih dinilai masih tidak sesuai jika dihadapkan dengan konteks kekinian yang ditandai dengan semakin tumbuhnya kesadaran kesataraan hak-hak sebagai manusia. Maka kemudian konsep hifz menjadi al-Haqq, hifz al-Din menjadi Haqqu al-Tadayun, Hifz al-Nafs menjadi Haqqu al-Nafs dan begitu seterusnya.
Adalah Ibnu Asyur yang berpendapat bahwa hifz al-Din hendaknya dimaknai dengan hurriyah al-I’tiqad. Sebab, menurutnya pandangan ini lebih relevan dengan konteks saat ini, dimana banyak intoleransi dan kekerasan atas nama agama muncul akibat pemahaman terhadap ayat perang (ayat al-Syaif). Ia mendasarkan argumennnya dengan surat al-Baqarah [02]: 256.
Konsep kebebasan (al-Hurriyah) yang dicanangkan Ibnu Asyur berbeda dengan konsep al-Itqu (proses memerdekakan budak) dalam fikih klasik. Sehingga ide Ibnu Asyur ini benar-benar maju. Kebebasan berkeyakinan (freedom of belief) oleh Ibnu Asyur disebut tujuan utama dalam Syariat sesuai pembacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Sampai saat ini kajian Maqashid al-Syariah terus berkembang dengan pesat. Banyak sarjana-sarjana modern yang mengembangkan kajian maqashid al-Syariah lebih jauh. Misalnya yang paling intens adalah Jaser Audah, yang menawarkan pendekatan system dalam hokum Islam. Namun demikian, sejauh apapun pengembangan yang ditawarkan sarjana modern tak bisa menghindar dari pemikiran Thahir bin Asyuur, sebagai juru bicara utama Maqashid al-Syariah pasca al-Syatibi. Kontribusi Ibnu Asyur amat besar dalam bidang Maqashid, bisa disebut ia adalah pembuka pintu cakrawala kajian Maqashid untuk cendekiawan setelahya.[]