Agar tidak disalahpahami, saya tegaskan di awal, judul tulisan ini sebenarnya tidak menggambarkan bahwa dua istilah; Takbir dan Takabbur itu secara konseptual beda tipis atau hampir sama, justru sebenarnya dua istilah ini sangat berbeda, bahkan mungkin berlawanan.
Judul ini saya gunakan hanya dalam konteks gramatika dan pengucapan bahwa Takbir dan Takabbur itu beda-beda tipis. Malah, dalam gramatika bahasa Arab, dua istilah ini memiliki akar kata yang sama (baca; kabura), hanya berbeda penggunaan imbuhan (wazn) saja. Yang pertama menggunakan wazn Fa’’ala-Yufa’’ilu, jadi Kabbara-Yukabbiru-Takbir, sementara yang kedua menggunakan wazn Tafa’’ala-Yatafa’’alu, jadi Takabbara-Yatakabbaru-Takabbur. Beda tipis, bukan?
Oke, meskipun amat penting, saya tidak akan memperpanjang pembahasan soal gramatika, bukan jadi tujuan saya di sini. Silakan hal ini bisa dikaji di bidangnya khusus, orang pesantren bilang ilmu sharaf namanya, ilmu khusus untuk mengkaji gramatika bahasa Arab. Jadi, dikesampingkan dulu.
Saya lanjut, dalam pengertian umum di agama Islam, Takbir diartikan sebagai ucapan atau pujian yang digunakan untuk membesarkan, meninggikan, memuliakan dan mengagungkan Allah SWT. Singkatnya, takbir itu diucapkan seorang Muslim dengan tujuan untuk menegaskan keagungan dan kebesaran Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan, pencipta semesta. Berarti, Kata kuncinya adalah “membesarkan” dan “mengagungkan”.
Bagaimana dengan Takabbur? Sekali lagi saya gunakan pengertian umum dari sebuah konsep, bukan definisi dari para ahli yang menurut saya justru akan semakin rumit jika dimuat di sini. Berbeda dengan Takbir yang menuntut adanya objek yang diagungkan, Takabbur diartikan sebagai sikap atau sifat seseorang yang merasa bahwa dirinya besar, mulia, agung, dibanding yang lain. Bahkan, banyak literatur menyebut bahwa selain merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain, seorang Takabbur (baca: mutakabbir) juga memandang bahwa yang lain punya derajat lebih rendah dibanding dirinya, sehingga dengan begitu ia bisa dengan mudah merendahkan apa pun di luar dirinya, tidak hanya manusia. Jadi, kata kuncinya ada “merasa lebih tinggi”.
Dari sini saya anggap dapat dengan mudah dikatakan bahwa Takbir dan Takabbur adalah dua istilah yang sangat berbeda. Keduanya tidak bisa bersatu dalam satu waktu. Seorang yang mengucapkan Takbir dengan sesungguhnya dipastikan jiwanya akan hampa dari sifat “merasa” lebih tinggi dari yang ia agungkan. Rasa itu terlucuti dengan sendirinya dengan ia mengagungkan yang ia anggap agung. Ia anggap dirinya jauh lebih rendah dari yang ia anggap tinggi.
Lihat saja, ketika seorang muslim mendirikan shalat dengan baik, Takbir adalah ucapan yang mesti terus menerus diucapkan. Setiap gerakan selalu diiringi dengan ucapan itu. Apa artinya? Ketika mulut mengucap Takbir dalam shalat, seorang muslim dituntut untuk betul-betul mengagungkan dan meninggikan Allah SWT seagung-agungnya dan setinggi-tingginya, sekaligus menegaskan kerendahan diri di hadapan Allah SWT serendah-rendahnya. Ia harus menanggalkan semua egonya, menundukkan kepala menghadap Sang Maha Tinggi, menyerahkan seluruh ke-diri-anyya hanya kepada Allah SWT.
Pun demikian dengan Takabbur, sikap ini sama sekali tidak akan bersamaan dengan Takbir yang sesungguhnya. “Merasa lebih tinggi” sudah pasti tidak akan beriringan dengan meninggikan di luar dirinya, tidak mungkin rasanya. Yang ada, justru memandang apa pun selain diri dan kelompoknya lebih rendah. Sebab, sederhana saja, memuliakan yang sebenar-benarnya tidak akan muncul dari seorang yang merasa lebih mulia, atau, merendahkan pasti muncul dari seorang yang merasa lebih tinggi. Saya kira ini sudah menjadi realita psikologis, bukan?
Lantas, ketika hari ini banyak orang yang seolah “adu keras” memekikkan Takbir, namun diiringi dengan merendahkan orang di luar diri dan kelompoknya, merasa lebih tinggi, paling benar, paling Islam, lebih salih, apa pantas ucapan sakral itu dianggap Takbir dalam makna yang sebenarnya? Tentu tidak. Pekikan Takbir mestinya dijadikan momentum jiwa berserah diri kepada Sang Maha Tinggi. Teriakan Takbir di masjid, rumah, bahkan di jalanan harusnya menjadi spirit kerendah hatian seorang hamba dihadapan Allah SWT., bukan malah dijadikan senjata agar orang lain segan dan takut, dijadikan alat untuk mendapatkan kesan seolah ia dan kelompoknya lebih kuat, atau yang lebih mengerikan, dijadikan legitimasi keagamaan dalam melakukan kekerasan.
Kiranya, ini pula lah alasan kenapa Takbir dan Takabur itu “beda tipis”, bukan dalam maknanya, namun karena banyak orang bertakbir yang nyaris tidak sadar bahwa ia sedang mempertontonkan ke-Takabur-annya. Bukan berburuk sangka, namun satu hal yang perlu diingat, syaitan tidak akan pernah diam menjerumuskan manusia pada derajat paling rendah.
Ucapkan Takbir dengan kerendahan hati serendah-rendahnya, karena hanya dengan ini seorang muslim mampu mengagungkan, meninggikan Allah seagung-agungnya dan setingginya. Semoga dapat menjadi ‘ibrah…