Di Indonesia, pisang terdapat dalam ritual-ritual. Ia tak cuma buah untuk dimakan. Ia telah lambang. Pohon pisang gampang bertumbuh di pelbagai tempat. Pohon-pohon bernama setelah orang mengerti dan sadar dalam pemanfaatan. Sekian nama pisang mengartikan kenikmatan, keluhuran, kebaikan, kehormatan, dan lain-lain. Di kebun, pinggir sungai, pinggir jalan, dan sekian tempat, pohon-pohon pisang hadir dengan cerita-cerita tak semua teringat dan tercatat. Cerita tentang daun dan buah mungkin agak panjang ketimbang hal-hal lain.
Pada musim hujan, jalan-jalan rusak. Pohon-pohon pisang dipindah warga dari kebun atau pinggiran sungai ditaruh di atas jalan berlubang. Pohon bertugas dalam protes. Di hajatan-hajatan pernikahan, martabat pohon pisang berbeda saat tampil menghiasi dan dinikmati para tamu. Pada bulan suci, orang-orang pun menginginkan pisang dalam pembuatan kolak. Sekian peristiwa dengan pisang menempatkan manusia dalam pemberian arti kadang sepenggal-sepenggal. Pengecualian adalah cerita termiliki orang-orang lama, sebelum mendapat berita-berita tentang sajian makanan dari pisang dalam pemanjaan kuliner. Penamaan pun berbahasa Inggris atau asing. Pisang perlahan menjauh dari pengalaman keseharian.
Acep Zamzam Noor tak mau lupa. Ia menulis puisi berjudul “Daun Pisang (2)”. Ia memilih daun, bukan buah. Kita membaca dalam kelembutan dan peringatan berkaitan kealaman dan religiositas. Acep Zamzam Noor mengamati: Daun-daun pisang mengangguk-angguk dan percaya/ Bahwa setiap tetes embun yang lelap di punggungnya/ Adalah cinta. Dan setiap angin pagi atau sore berhembus/ Mereka serempak tersenyum dan mengucapkan syukur. Kita merasa di dekat pohon pisang, melihat dengan lugu bersambung “cemburu”. Daun pisang berpasrah dalam tata alam, menempatkan diri dalam perjumpaan dan pergaulan selaras. Daun-daun dalam gerak dan pemenuhan amanah hidup.
Pohon-pohon pisang bersama kita tapi memikirkan pisang sebagai santapan sering mendahului pandangan atas daun-daun hijau. Orang-orang membiarkan daun di pohon, tak lagi berkepentingan menjadikan itu lambaran atau pembungkus makanan. Jarak makin tercipta. Daun-daun justru memiliki durasi panjang untuk merasakan sentuhan dan pergaulan di alam. Kita kadang melihat ada ulat menggulung dengan daun pisang. Daun menanggungkan nasib berbeda selain dari tangan-tangan manusia. Acep Zamzam Noor memberi pengertian: Waktu adalah karunia yang tak terhingga dan keikhlasan/ Yang selalu dilimpahkan ruang di mana mereka tumbuh/ Telah mematangkan pemahamannya pada semua jenis hama/ Yang juga berasal dari sumber segala cinta dan kerinduan/ Mereka selalu bercakap dan kerelaanlah yang mengembang/ Menjadi senyum jika terik mulai membakar punggungnya. Pengisahan daun pisang itu mengena batin, melampaui tampak mata. Kita dalam penerimaan alam-religius.
Acep Zamzam Noor tak menulis Tuhan tapi kita memahami ada perkenan Tuhan atau gelaran di alam. Daun pisang itu kepasrahan mengacu firman. Kerusakan dan keberakhiran tak harus dilawan. Semua itu berlaku. Kewajaran tanpa tanda seru, keluhan, dan sesalan. Daun pisang dalam gerak waktu dan geliat alam menerima nasib. Kepasrahan mengharukan: Embun perlahan sirna dan daun pisang berkibar-kibar/ Seperti bendera yang sobek namun tetap riang mengikuti/ Kehendak angin utara atau selatan. Kejadian itu diterima ikhlas. Pada adegan berbeda, kita mengerti sikap terhormat: bahkan hujan/ Yang tiba-tiba mematahkan tangkainya hingga terkulai/ Mencium tanah. Tapi senyumnya tetap mengembang/ Di tengah udara yang basah. Kita enggan membandingkan diri dengan kepasrahan daun pisang. Kita mungkin masih memiliki kesombongan dan penolakan. Khatam puisi berjudul “Daun Pisang (2)”, kita masih memikirkan buah pisang untuk disantap. Kita belum mau memesan keinsafan dan renungan. Begitu.