Konsep wali dan makamnya sebenarnya sederhana. Sebab, kalau menjadi nabi, rasul, kita memang tak mungkin. Namun, kita memiliki kemungkinan mendapat sertifikat walayah (kewalian) dari Allah. Konsep wali dan derajat wali sebenarnya sudah ada dalam Alquran.
Dalam surat Yunus ayat 62-64, dijelaskan kriteria kewalian itu hanya pada keunggulan iman dan takwa. Jika sudah terpenuhi kriteria itu, berarti seorang berhak menyandang predikat wali.
Syekh Abdul Wahid dalam kitab Shautul Hidayah, menekankan derajat wali itu pada tataran zuhud dengan orientasi meninggalkan kehidupan duniawi disertai dengan perasaan takut (khauf) akan murka Allah dan mengaharapkan (raja’) pengampunan dari-Nya. Sedangkan Mujieb (2009: 567) mendefinisikan wali itu sufi dan kekasih Allah karena kebersihan hati. Mereka selalu taat melakukan kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah. Konsep-konsep ini sangat sederhana namun susah menggapainya. Sangat wajar jika wali memiliki derajat sesuai kadar kesufian dan ketaatan.
Dari beberapa literatur kitab kuning yang ditulis ulama-ulama Timur Tengah dan sekitarnya, banyak pembagian derajat wali. Syekh Mahyuddin Ibnu Arabi dalam kitab Futuhatul Makiah (1203-1231 M) versi pertama, menjelaskan ada 589 macam/jenis kewalian. Ahmad bin Muhammad bin Iyad as-Syafi’i dalam kitab Al-Mafakir al-‘Aliyah (2002: 15-17), berpendapat ada enam tingkatan wali sesuai konsep Quthub al-Ghauts. Konsep ini, menjelaskan ada enam tingkatan wali, anggotanya banyak, namun yang mumpuni itu hanya ada seorang.
Pertama, An-Nuqaba’ yang jumlahnya ada 300 orang. Mereka orang-orang pengungkap rahasia-rahasia nafsu tersembunyi. Kedua, An-Nujaba’, jumlahnya 40 orang, pendapat lain 70 orang.
Mereka mempunyai kesibukan menanggung beban-beban masyarakat. Mereka tak memandang hak diri sendiri, melainkan hanya memandang hak umat.
Ketiga, Al-Abdal, jumlah mereka ada 7 orang, pendapat lain jumlahnya 47 orang yang kesemuanya orang baik dan pilihan. Mereka memiliki makam kamal (sifat-sifat sempurna), istiqamah (tegak lurus dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik) dan makam i’tidal (sikap tengah-tengah di antara dua hal).
Jiwa mereka telah bersih dari prasangka buruk. Keempat, Al-Autad, mereka wali-wali agung berjumlah 4 orang, bertempat tinggal di empat penjuru yakni timur, barat, utara dan selatan. Mereka mempunyai pemimpin di antara mereka yang disebut quthub.
Kelima, Al-Imamani, mereka dua orang yang satu berada di sebelah kanan quthub dan yang satu berada di sebelah kirinya. Di sebelah kanan memandang alam malakut (alam ghaib), derajat dan tugasnya pengganti quthub tersebut. Sedangkan sebelah kiri memandang alam mulk (alam nyata).
Keenam, Al-Ghauts, sebutan dari seorang laki-laki agung, pemimpin mulia yang dibutuhkan masyarakat untuk menjelaskan ilmu-ilmu penting dan rahasia-rahasia di saat mendesak. Doa wali ini sangat mustajab dan bisa membantu orang di sekitarnya.
Literatur lain, menyebutkan ada 85 derajat wali. Derajat ini sesuai keterangan kitab Al Mafakhirul Aliyah fil Ma’tsar Asy Syadziliyah (1153 H / 1740 M) karya Ahmad bin Muhammad bin Ibad Al Mahalliy Asy Syafi’i, dan Safinatul Qadiriyyah (1423 H/2002 M) karya Syekh Abdul Qadir Jailani yang sering dijadikan rujukan penelitian.
Pertama wali Qutubul Ghautsil Fardil Jaami`i (1 abad 1 orang). Ke-85 Dakhilul Hizab (1 abad 4 orang). Wali terakhir ini berada dalam hijab Allah. Sesuai derajatnya, wali ini tak dapat diketahui kewaliannya para wali yang lain sekalipun Qutbil Aqtob seperti Syekh Abdul Qodir Jailani.
Jika melihat generasi santri milenial sekarang, sangat sedikit yang mengkaji lebih dalam derajat wali itu. Padahal, ada “makam di balik kuburan” yang harusnya tak dilihat dengan mata telanjang, melainkan harus menggunakan mata batin.
Dalam penelitian skripsi, tesis, disertasi, kebanyakan hanya mengulas keuntungan pragmatisnya saja daripada kepentingan menebalkan iman dan takwa. Meski demikian, tradisi ziarah ke makam wali menjadi bagian dari merawat tradisi. Sebab, ada potensi menebalkan iman dan takwa melalui kemesraan rohani antara manusia, wali, dan Allah.