Dalam survei Wahid Foundation, sebanyak 11 juta orang bersedia melakukan tindakan radikal. Data itu berdasarkan hasil survei tentang radikalisme dan intoleransi yang dilakukan lembaganya. Survei dilakukan pada 1. 520 responden dengan metode multi stage random sampling. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 0, 4 persen pendududuk Indonesia pernah bertindak radikal. Sedangkan 7, 7 persen mau bertindak radikal kalau memungkinkan.
Laporan paling mutakhir: Baru-baru ini, publik masih ingat dengan kasus pembunuhan di daerah Sulawesi, tepatnya di daerah Sigi. Menurut laporan dan investigasi tim media, kejadian itu mengakibatkan empat orang dalam satu keluarga tewas setelah mengalami penganiayaan oleh orang tak dikenal pada Jumat, 27 November 2020. Tidak berhenti di situ, para pelaku juga membakar enam rumah warga dan satu rumah pelayanan umat.
Sebenarnya jika kita flashback ke belakang, kira-kira sejak tahun 2002, Indonesia setidaknya mengalami serangan teror besar dengan skala yang mematikan. Disebut mematikan pasalnya kejadian itu menyebabkan banyak nyawa bergururan dan korban luka-luka berjatuhan.
Secara kronologis, kejadian itu adalah, pertama, Bom Bali 1 tahun 2002, kedua pengeboman J. W. Marriot Hotel Jakarta pada tahun 2003, ketiga, Pengeboman Kedutaan Australia pada tahun 2004, keempat, Bom Bali 2 tahun 2005 dan terakhir adalah pengeboman simultan di J. W. Marriot Hotel dan Ritz Carlton Hotel tahun 2009.
Terlepas apapun motif di balik kejadian-kejadian itu, setidaknya semua pihak khususnya umat Islam sangat meyayangkan. Sebab nilai kesucian agama akan hancur dengan peristiwa kemanusiaan itu. Namun demikian, yang agak aneh adalah ada sebagian pihak yang beranggapan, semua tindakan memalukan itu dikonfirmasi oleh dalil-dalil agama. Tak bisa disangkal, agama kerapkali menjadi alasan untuk melakukan kekerasan. Atas nama agama, tindakan kekerasan, pengrusakan, seolah mendapatkan pembenaran.
Agama, selama ini menjadi sumbu yang cepat memantik ledakan dari para pengikutnya. Tidak bisa dipungkiri, seseorang bisa menjadi martir dan menjemput kematian diinspirasi oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya. Mun’im Sirry mengutip Khaled Abou El-Fadl menuturkan bahwa akar teologi intoleran dan kekerasan atas nama agama berasal dari pemahaman mereka yang umumnya mencomot penggalan teks Alquran hadis secara out of context dan dijadikan sebagai justifikasi terhadap sikap eksklusifitas mereka. Ditambah lagi, mereka memahami ayat-ayat perang dengan sangat literal dan ahistoris. Hal inilah yang kemudian menjadi akar-akar kekerasan dalam beragama.
Ibrahim ibn Musa al-Syatibi dalam mognum opus-nya al-Muwafaqat juga menyebut bahwa memahami al-Quran dan al-Sunnah secara literal adalah karakteristik kelompok ekstrimis zaman dulu seperti Khawarij. Kelompok sempalan yang kecewa gara-gara politik ini dengan bunyi literal al-Qur’an, berani mengafirkan siapapun yang berada di luar mereka. Bahkan klaim takfir mereka juga dibarengi dengan tindakan. Jadilah kegiatan terorisme beragama bagi mereka memiliki landasan keagamaan.
Berangkat dari hal di atas, muncul pertanyaan utama: bagaimana Kiai Afifuddin Muhajir membangun narasi keagamaan di tengah hegemoni ideologi ekstrem- konservatif yang pasca reformasi yang terus subur di Indonesia?
Pertanyaan ini penting untuk merumuskan model, orientasi dan agenda kontra narasi yang dibangun beliau. Seperti kita tahu, narasi Islam puritan ini dengan gerakan yang solid makin hari makin menemukan tempat di hati sebagian orang Indonesia.
Kiai Afifuddin Muhajir, adalah salah satu tokoh yang mencoba memberi pandangan alternatif atas pandangan sementara orang yang literal dalam memahami agama.
Dalam pandangan Rais Syuriyah PBNU itu, memahami agama tidaklah boleh boleh picik dan ahistoris. Perlu memperhatikan asbab al-Nuzul dan al-Wurud (konteks sebuah teks agama dilahirkan), satu ayat, atau hadis tak bisa dipahami tanpa dikaitkan dengan ayat atau hadis lain. Bukan hanya itu, setelah selesai usaha mengaitkan tersebut (Rabth al-Nushus ba’duha min ba’d) ada poin yang harus menjadi rujukan seorang sarjana fikih yakni Maqasid al-Syariah.
Maqasid al-Syariah adalah tujuan akhir dari diberlakukannya syariat. Disimpulkan bahwa seluruh aturan, baik berupa perintah maupun larangan yang diberikan oleh Syari’ (Allah Swt. dan nabi) dalam segenap firmanNya memiliki hikmah dan tujuan. Meminjam bahasa al-Juwaini dalam al-Burhan:
من لم يتفطن لوقوع المقاصد في الأوامر والنواهي فليس على بصيرة في وضع الشريعة
“Siapa saja yang tak paham, tak sadar adanya maqasid dalam segenap perintah dan larangan, maka ia tak memiliki pandangan mata hadi yang mendalam dalam memahami peletakan syariat Islam”.
Dalam aturan agama, ternyata tidak ada satupun yang tak memiliki maksud dan tujuan. Disimpulkan bahwa tujuan dari beragama adalah mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Kemaslahatan itu meliputi menjaga agama (hifz al-Din), menjaga jiwa (hifdz al-Nafs), menjaga akal (hifdz al-Aql), menjaga reproduksi (hifdz al-Nasl) dan menjaga harta-properti (hifdz al-Mal).
Apa yang disebut Kiai Afif tersebut adalah kelanjutan dari apa yang pernah ditulis oleh al-Syatibi dalam kitabnya, al-Muwafaqat. Menurut ulama yang bermazhab Malikiyah itu, mengikuti bunyi literal sebuah teks al-Qur’an tanpa usaha merenungi dan mendalami kandungan, segera memutuskan hukumnya dengan sekejap adalah termasuk perkara yang dicela oleh nabi. Sebab nabi pernah mencela mereka yang hafal al-Qur’an tanpa memahami makna terdalamnya, al-Qur’an bagi komunitas ini hanya sekadar bacaan yang sekadar numpang lewat di kerongkongan.
Pertanyaanya selanjutnya adalah: darimana poin-poin maqasid al-Syariah ini dibuat? Atau apa bahan mentahnya? Dalam pandangan Kiai Afif, maqasid al-Syariah adalah “anak kandung” dari nushus al-Syariah itu sendiri. Keduanya saling membutuhkan, karena tanpa nushus maqasid tak akan lahir. Kiai Afif mengutip al-Raisuni:
مفاصد الشريعة لا مصدر سوى نصوص الشريعة
“Maqasid al-Syariah tak punya sumber lain kecuali Nushus al-Syariah”
Maqasid al-Syariah adalah hasil penelelitian (istiqra’) ulama zaman dulu pada hukum syar’i, baik yang berupa qawaid kulliyah maupun yang menyangkut masail juz’iyah. Lalu disimpulkan bahwa di balik ketentuan hukum Allah ada kemaslahatan di dalamnya.
Logika berfikir seperti ini juga secara tidak langsung memberi kritik terhadap sebagian orang yang sangat tasahul (mempermudah) dalam membicarakan konsep maqasid al-Syariah. Jadilah, kemudian konsep Maqasid menjadi alasan untuk dekonstruksi beberapa ajaran pokok yang sudah paten dalam Islam. Kelompok ini menduga bahwa maqasid lahir sendiri tanpa butuh kepada bantuan teks-teks agama, padahal tak bisa dipungkiri, maqasid al-Syariah itu adalah satu kesatuan dengan nushus al-Syariah.
Dalam pandangan Kiai Afif, nushus membutuhkan maqasid untuk menafsrikan dan menjabarkan nushus al-Syariah. Tujuannya agar postulat hukum yang dilahirkan tidak hanya tekstual akan tetapi juga kontekstual dan membawa kemaslahatan bagi manusia.
Dalam hal ini, Kiai Afif hadir mencoba berada di titik tengah, yakni antara konservatisme beragama yang sangat kaku, rigid dalam memahami al-Qur’an-al-Sunnah dan liberalisme Islam yang cenderung mengarah kepada kebebasan, tanpa rambu dalam memahami keduanya.
Dalam arena Bahtsul Masail, konsistensi Kiai Afif untuk berada di tengah itu dibuktikan dengan optimalisasinya terhadap metode qauli dan manhaji yang selama ini dirumuskan dalam model pengambilan keputusan hukum dalam Nahdaltul Ulama.
Diakui atau tidak, dalam forum-forum Bahtsul Masail, tradisi mazhab qauli, dengan pendekatan mengutip redaksi kitab kuning (naql al-Ibarat) masih begitu mendominasi. Bukan tanpa alasan, musyawirin saking begitu tawaduk hingga tidak mau menggunakan metode manhaji-isntibanthi. Dalam amatan mereka, yang bisa masuk ke tahap ini hanya para mujtahid. Padahal pentingnya melakukan metode manhaji ini tujuannya bukan sekadar selebrasi akan tetapi lebih kepada agar hukum islam terus ceketan dalam merespons persoalan yang bermunculan.
Menurut Kiai Afif, kedua metode itu perlu diperlakukan setara, duduk sama rata berdiri sama tinggi. Kitab kuning, di satu sisi adalah harta karun yang ditinggalkan ulama zaman dulu untuk kehidupan zaman ini. Maka tidak boleh kemudian mendesakralisasi kitab kuning, di sisi lain, fikih perlu diperhatikan—seperti karakteristik fikih itu sendiri—yang ia bersifat terikat dengan ruang dan waktu kapan dan dimana ia rumuskan (min haitsu al-Wadh’i). Sementara zaman dan kecanggihan ilmu pengetahuan terus berkembang pesat, maka jika tidak diimbangi, fikih akan kehilangan konteksnya.
Bagi Kiai Afif, kehadiran usul fiqh sangat penting dalam upaya dinamisasi hukum Islam. Ushul fiqh perlu dihadirkan bukan hanya dalam kasus-kasus fikih baru yang memang tak memiliki acuan dalam kitab-kitab kuning akan tetapi juga bisa dibaca terhadap produk fikih lama yang telah dirumuskan. Sehingga semangat pembacaan ushul fiqh ini pada kitab kuning bukan pada bunyi literalnya akan tetapi pada nalar, proses kreatif apa yang ada pada teks kitab kuning tersebut?
Masih menurut Kiai Afif, kenapa fikih pada era ini justru mandeg tidak seperti era dulu dimana dinamikanya begitu cepat? Padahal jika melihat latar belakang fikih, yakni ia sebagai hasil dialog aktif (jadaliyah) antara bunyi teks agama (nushus al-Syariah) dan realitas kehidupan (al-Waqi’) Jawabannya karena usul fiqh tidak diperlakukan semestinya. Ushul fiqh dibiarkan mengonggok sendirian tanpa ada yang menyentuhnya.
Dalam sebuah kesempatan, Kiai Afif pernah berseloroh bahwa ahli fikih (faqih) ada dua pertama faqih produktif, yakni ahli fikih yang mampu melahirkan hukum fikih baru atau setidaknya melakukan pembacaan ulang terhadap rumusan fikih lama, kedua, faqih konsumtif, yakni ahli fikih yang hanya paham bahkan hafal beberapa produk fikih tanpa harus tahu bagaimana dan kemana fikih itu diarahkan?
Apa yang kita bicarakan ini jelas hanya menyangkut yang ranahnya, dzanniyah-mutaghayyirah (hukum yang masih praduga dan ada potensi berubah) bukan pada tataran qat’iyah-tsabitah (hukum yang sudah konstan dan tegas). Misal, bagaimana respons fikih terhadap tema-tema yang tak pernah dibahas di kitab kuning sepeti kompleksitas dunia internet, perbankan modern, koorporasi bisnis antar negara, oligarkh, seluk beluk negara demokrasi dan lain sebagainya.
Akhiran, harus diakui kerja seperti yang tertulis di atas adalah kerja yang amat berat dan melelahkan. Sebab, seseorang sarjana atau pemikir islam harus punya dua kemampuan dalam satu tarikan nafas yang sama: punya basic yang kuat terhadap tradisi kajian Islam dan punya pembacaan yang jauh ke depan. Dari itu juga kita harus paham bahwa fikih harus kuat secara basic ia juga harus punya agenda praksis. []