Setiap simbol, atau penyematan nama, memiliki filosofi dan kesakralan tersendiri. Misalkan aksara yang tertulis di benda-benda atau tempat-tempat sakral, penyematan suatu nama atau julukan terhadap sebuah pusaka dan orang-orang yang diagungkan oleh pengikutnya, seperti keris sakti Sunan Giri yang dinamai “Kalam Munyeng”, dua gagang keris buatan Ki Sura yang dinamai “Tunggak Semi” oleh Sunan Bonang, Raden Bondan Kejawan diganti “Lembu Peteng” oleh Kiai Ageng Tarub, Raden Said menjadi “Sunan Kalijaga”, dan banyak lagi.
Nabi Muhammad Saw. sendiri, dijuluki sebagai al-Amin, karena sikap kejujurannya tiada tanding. Begiupula sahabat dekat beliau, yakni Abu Bakar, mendapat gelar as-Siddiq, lantaran selalu seiya-sekata dengan apapun yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan, jika terjadi sesuatu yang menimpa Nabi, Abu Bakar lah menjadi orang yang pertama membelanya.
Bukan hanya benda, tempat, manusia, dan makhluk lainnya saja yang memiliki julukan atau nama spesial, Allah pun punya, yang dikenal dengan Asma’u al-Husna, yakni nama-nama baik nan indah yang jumlahnya 99, seperti yang sering terdapat di dalam cover al-Qur’an. Namun, tidak bisa disamakan antara julukan makhluk dengan julukan yang disematkan kepada Sang Khaliq. Perbedaannya sangat kontras. Akan diulas lebih lanjut sebagai berikut.
Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang Asma’u al-Husna, misalnya QS. at-Taha: 8, QS. al-A’raf: 180, dan QS. al-Isra’: 110. Nabi juga menegaskan dalam haditsnya: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghafal dan menjaganya, maka ia akan masuk surga. Dan Hamam menambahkan dalam hadits tersebut, dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad Saw., bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah itu tunggal, dan menyukai yang ganjil.” (HR Ahmad).
Perihal nama-nama indah yang disematkan kepada Allah Swt., lebih detail ditulis oleh Muhammad Amin Ibn Idris Ibn Abdillah Ibn Syekh Abi Bakar Salim, dalam kitabnya, al-Asna fii Ma’ani wa Khowashi Asma’u Allah al-Husna. Sesuai namanya, kitab ini menjelaskan filosofi dan kesakralan Asma’u al-Husna. Tentu, setiap nama memiliki makna, faidah, dan teknis pengamalan yang tidak sama.
Di antara nama-nama indah itu, salah satunya al-Qahhar, pernah dibaca oleh KH. Hasyim Asy’ari saat dijemput paksa oleh pasukan Jepang bersama santrinya, Mahfudz Siddiq. Lalu, kedua pejuang Nahdliyin dari generasi tua dan muda ini terkungkung dalam ruangan yang sangat sempit, yang jauh dari rasa nyaman. Dalam keadaan seperti itu, founding father NU ini meminta pertolongan kepada Allah, seraya berdzikir dengan menyebut Ya Qahhar.
Dalam kitab ini, keistimewaan al-Qahhar terdapat pada halaman 38 – 39. Diterangkan:
و من كانت له حاجة يقول: يا قهار (مائة مرة) في بيته أو في المسجد، و يرفع يده، ويكشف رأسه …. يقضي الله حاجته.
“Barang siapa yang mempunyai hajat, lalu membaca Ya Qahhar sebanyak 100 kali, dibaca saat sedang di rumahnya atau di masjid, dengan mengangkat tangan dan membuka kepalanya (tanpa tudung), maka Allah akan mengabulkan hajatnya.”
Dalam keterangan lain, pengarang juga menulis:
ويذكر عند طلوع الشمس و جوف الليل لإهلاك الظالم بهذه الصيغة: يا جبار، يا قهار، يا ذاالبطش الشديد … (مرة) ثم يقول: خذ حقي ممن ظلمني و عدى علي.
“Ya Qahhar dapat dibaca saat matahari terbit dan di pertengahan malam, dapat berfungsi untuk membinasakan orang yang dzolim, dibaca dengan sighat: “Ya Jabbar, Ya Qahhar, Ya Dza al-Bathsyu as-Syadid,” sebanyak 100 kali, kemudian mengatakan: Ambillah! (Allah) apa yang menjadi milikku dari orang yang mendzolimi dan memusuhiku.”
Selain asma Allah yang dizikirkan oleh Kyai Hasyim ini, masih banyak lagi keistimewaan-keistimewaan yang terdapat dalam setiap nama-nama indah Allah. Misalnya al-Lathif, salah satu dzikir yang sering diamalkan oleh santri Ma’had Aly Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, sehabis dzikir sholat Subuh berjamaah.
Adapun keistimewaan dan teknis pengamalannya, pada halaman 59 – 61, Syekh Muhammad Amin mengutip kitab Syarhu Asma’u al-Husna, hlm. 10, karya Imam Zaruq:
خاصيته: دفع الالام لمن ذكره عدد الواقع عليه (أي: 129 مرة) ومن ذكر (مائة مرة)، أو (مائة و ثلاثة وثلاثين مرة) … وسع غليه ما ضاق، و كان ملطوفا به في أمره.
“Keistimewaan al-Lathif: dapat menghindari kejelekan/keburukan bagi orang yang membacanya sebanyak 129 kali, adapun orang yang membacanya sebanyak 100 kali, atau 133 kali, maka sesuatu yang sempit akan dilapangkan, dan urusannya dimudahkan.”
Nama Kitab : al-Asna fii Ma’ani wa Khawashi Asma’u al-Husna.
Pengarang : Muhammad Amin Ibn Idrus Ibn Abdillah Ibn Syekh Abi Bakar Salim.
Penerbit : Markaz Dar as-Syekh Abi Bakar Ibn Salim.
Halaman : 235.
Juz : 1.
ISBN : 978-602-53655-1-5.