Seperti Fir’aun bagi Musa dan Herod bagi Yesus, Abraha adalah latar pekat yang menyempurnakan kemilau cahaya kelahiran Muhammad saw di penghujung abad keenam. Siapakah sosok raja Abraha yang siap melumat apa saja yang mendegradasi kekuasaannya, termasuk Kakbah?
Tubuh raksasanya hitam legam. Ke mana pun wajahnya berpaling, mata dan hidungnya yang lebar selalu menebarkan rasa gentar. Seperti kuncirnya yang menjulur ke dahi, Abraha adalah jalinan antara ambisi dan muslihat yang terpilin rapi.
Atas titahnya, Yusuf Asar Yathar yang bergelar Dzu Nuwas, raja Yahudi dari suku Himyar pun dibenamkan ke sungai hingga menjadi bangkai. Guna menyelesaikan persaingan politik mengenai siapa yang berhak atas Yaman setelah kematian Dzu Nuwas, ia menantang duel ‘Ariyat–sesama panglima utusan Kaisar Kaleb dari Kerajaan Akstum di Abesinia yang mengirim mereka berdua demi menolong umat Kristen Yaman dari kekejian si raja Yahudi fanatik itu.
Dalam arena pergumulan yang dikelilingi parit, sedetik lagi maut menjemput Abraha. Ujung pedang ‘Ariyat berkelebat, jidat hingga mulut Abraha tergores dan mengucurkan darah segar. Sorak sorai pasukan ‘Ariyat menggemuruh hendak mengiringi tebasan terakhir yang akan memenggal kepala Abraha.
Tapi muslihat Abraha bekerja secepat kilat. ‘Atawdah, pengawal Abraha, serta-merta melemparkan lembing dan menembus dada ‘Ariyat. Maka, tanah Yaman pun segera berada di bawah genggaman penuh Abraha yang kemudian bergelar “al-Ashram”. Arinya, Abraha si Wajah Terbelah.
Di istana Akstum Kaisar Kaleb amat masygul. Ia bersumpah untuk segera menginjak-injak tanah Yaman, memangkas kuncir si Abraha dan menghukumnya. Abraha tak ingin takluk, tapi juga tak hendak menantang kekuatan Kaisar Kaleb yang jelas bukan tandingannya. Ia pun mengirim aneka upeti untuk mengambil hati sang Kaisar. Di dalam upeti itu ia sertakan sekarung tanah Yaman dan sebagian dari kuncir rambut kebanggaan yang telah dicukurnya. Abraha menulis surat:
“Mohon Paduka berkenan menerima upeti sederhana dari Sana’a. Guna memenuhi sumpah Paduka, bersama ini pula hamba hantarkan kuncir hina sahaya dan sekantong tanah Yaman untuk diinjak oleh kaki Paduka yang mulia. Paduka tidak perlu pergi jauh-jauh ke Sana’a. Sahaya senantiasa ada di bawah titah Paduka.”
Tawa Raja Kaleb menggelegar memenuhi ruangan istana Akstum. Ia merasa puas dan terhibur mendapat persembahan dan surat Abraha.
Di Sana’a, guna mengokohkan kekuasaannya, Abraha membangun sejumlah proyek raksasa. Dua mega project menjadi fokus utamanya: dam dan sistem irigasi buat kemakmuran ekonomi wilayahnya dan gereja paling megah yang ia rancang sebagai pusat penziarahan utama di Semenanjung Arabia.
Gereja itu sekaligus juga sebagai persembahan kepada Kaisar Kaleb di Abesinia. Ke luar, Abraha aktif melakukan ekspedisi militer guna menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya.
Berawal sebagai panglima utusan, kini Abraha telah berhasil membangun kerajaan tersendiri di tanah yang subur. Di wilayah sekelilingnya ia amat disegani. Ia menjaga hubungan baik dengan kekaisaran induknya di Afrika. Dam irigasi raksasa dan gereja megah yang dibangunnya merupakan sarana legitimasi ampuh di depan rakyat yang diperintahnya. Dari atas singgasana, kini mata dan hidungnya yang lebar tampak kian berpendar-pendar.
Tapi pedang kekuasaan selalu memiliki dua mata paradoks. Ia adalah pusaka sakti bagi pemeganya, tapi bahaya yang berkilat-kilat bagi selainnya. Sepak terjang Abraha membuat suku-suku Arab kian banyak yang terdesak atau merasa terancam dan memendam dendam. Rencana Abraha yang hendak merebut supremasi Kakbah di Mmkkah sebagai pusat penziarahan sejak masa ribuan tahun silam dianggap sebagai ancaman serius banyak kalangan.
Maka, pada suatu malam, demikian kisah Ibnu Hisham, seorang pemuda suku Quraish sengaja datang dari jauh dan menyelinap ke dalam Gereja al-Qullays yang dibangun Abraha di Sana’a. Untuk membuktikan ketakkeramatan bangunan yang diagungkan itu, sekaligus buat menistakan kepercayaan pemujanya, di sana si pemuda tadi berak sebelum kembali menghilang menembus malam. Dalam versi Muqatil b. Sulayman, sekelompok pemuda Arab datang diam-diam dan membakar gereja megah itu pada suatu malam yang berangin kencang. Gereja megah itu pun hangus menjadi puing-puing hitam.
Amarah Abraha mendidih hingga ke ubun-ubun. Ia merasa kekuasaannya ditantang, nama besarnya dihinakan. Setelah sekian lama tak menemukan alasan, Abraha pun segera melihat penistaan ini sebagai kesempatan untuk menghancurkan Ka’bah, saingan utama al-Qullays. Dilengkapi gajah-gajah perkasa yang didatangkannya dari Afrika, Abraha berangkat memimpin sendiri pasukannya. Targetnya satu: hancurkan Kakbah dan perangi setiap kekuatan yang menghalangi maksudnya.
Gelar si “Wajah Terbelah” telah tersebar ke seantero Arabia dan membuat setiap orang, dari segenap sudut kota hingga ke celah bebatuan di bukit-bukit yang sunyi, gentar menghadapi Abraha. Misinya tentu akan berlangsung cepat dan mudah. Prajuritnya akan mengikatkan rantai besi pada setiap penopang utama bangunan Ka’bah. Ujung rantai yang lain diikatkan ke belalai belasan gajah yang akan menariknya kuat-kuat ke berbagai arah secara berlawanan.
Dengan sekali perintah, berantakanlah bangunan kubus hitam itu. Para prajurit tinggal membakar puing-puingnya buat menuntaskan amarah Abraha. Biarkan orang-orang Arab itu meratapi warisan nenek moyang yang mereka agungkan dari kejauhan sembari menekan kemarahan tanpa berani bergeming.
Kakbah pra-Islam adalah pusat penziarahan terpenting di semenanjung Arabia. Orang dari berbagai suku, dekat maupun jauh, berdatangan secara teratur pada bulan tertentu untuk merayakan festival setiap tahun. Aneka upacara, transaksi ekonomi, juga kegiatan sosial dan budaya terjadi di sekitar Kakbah. Karena itu, rencana penghancuran Kakbah maupun upaya melawan Abraha adalah dua dilema yang sama-sama amat mengerikan akibatnya buat mereka.
Di Yaman, Dz Nafr dan orang-orang terbaiknya yang mencegat langkah Abraha segera tersungkur. Nufail b. Habib al-Kath’amy yang menggalang kekuatan suku Shahran dan Nahis mengalami nasib serupa. Ia bahkan dipaksa menjadi pemandu jalan pasukan Abraha. Di wilayah Ta’if, orang-orang Thaqif hanya berani memohon agar Abraha tak menghancurkan tempat pemujaan dewa lokal mereka. Semakin banyak yang menghalangi, semakin menggelegak nafsu Abraha buat mencapai maksudnya. Derap Abraha dan pasukannya yang kian cepat menghampiri Mekkah ibarat gelombang dahsyat yang mustahil terbendung.
Menjelang petang, Abraha menyuruh pasukannya berhenti di al-Mughammas. Selain memberi mereka kesempatan untuk beristirahat di pinggiran Mekkah itu, ia bermaksud menyelidiki situasi di sekitar Kakbah dan gerak-gerik suku Quraish.
Ketika tak dilihatnya ada tanda-tanda perlawanan, dipanggilnya juru kunci Kabah guna mendengar maksud kedatangannya. Abdul Muthallib, sang juru kunci, berkata dengan berani tapi tetap santun,
“Kabah adalah rumah Allah. Dialah yang punya kekuasaan untuk melindungi atau menghancurkannya. Paduka bukan tandingan kami suku Quraish. Tapi, mohon prajurit Paduka bertindak adil. Kembalikanlah unta-unta kami yang mereka rampas.” Abraha marah dan mengusir sang juru kunci pergi.
Pagi harinya, kesenyapan amat panjang menyaput setiap relung kota Mekkah. Tak nampak sepotong bayangan manusia pun melintas. Abdul Muthallib telah memerintahkan seluruh penduduk mengungsi ke daerah pegunungan di luar kota. Hanya satu dua ekor binatang liar berkelebat dengan tergesa. Hampir bersamaan dengan munculnya mentari pagi, tiba-tiba kesunyian langit terobek oleh sorak-sorai pasukan Abraha dari arah selatan. Debu pasir membubung tinggi di belakang mereka.
Ketika itulah anti klimaks terjadi.
Ribuan burung-burung berwarna hijau atau hitam berbondong-bondong memenuhi angkasa. Masing-masing burung itu melemparkan batu-batu neraka dari paruh dan cakar mereka. Angin amat kencang yang mendadak datang membuat lontaran batu-batu itu bagai desingan peluru yang menghantam dada, kepala, mata, kaki, tangan, telinga siapa saja yang ada di bawahnya.
Pasukan bergajah yang sedang bergerak menuju Kakbah pun kocar-kacir. Sorak-sorai mereka berubah menjadi erangan sakit dan jerit ketakutan tak terkira. Itulah lukisan dramatis dalam Alquran surah al-Fil.
Sekujur tubuh Abraha melepuh tanpa daya. Sebagian besar prajuritnya lari lintang pukang menjemput ajal. Abraha yang tak tertaklukkan oleh lawan-lawannya kini harus digotong kembali ke Sana’a’ oleh sisa prajuritnya dengan kondisi tubuh compang-camping. Kulit tubuhnya mengelupas, luka terbuka di mana-mana, dadanya menganga. Ia akhirnya mati dengan amat tersiksa.
Sebagian mufasir memahami peristiwa yang menimpa Abraha ini sebagai berjangkitnya wabah cacar (chicken pox), atau mungkin flu burung, yang menjalar luar biasa pada malam ketika mereka berhenti di al-Mughammas.
Apapun fakta sejarah yang mungkin ada, Abraha adalah kisah tentang ambisi kekuasaan yang menggelegak tanpa batas. Yang kemudian melumat habis dirinya tanpa bekas. Ia tak lebih ibarat “daun-daun yang dimakan ulat”. Compang-camping, merana, menjadi kotoran busuk yang sia-sia.