Teks adalah puncak peradaban. Demikian pernah ditulis Ibnu Khaldun. Tanpa Solon atau Pericles, Athena hanya akan menjadi kota indah yang tak dikenang siapa-siapa; belum lagi Socrates, Plato dan Aristoteles.
Alkitab melahirkan tradisi besar keilmuan Yahudi; dan ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, melahirkan perpaduan antara Athena dan Yerusalem, membangkitkan napas peradaban Barat modern.
Dimulai dari Abad kedelapan, peradaban Islam berjalan beriringan dengan Barat, dan dalam banyak hal memiliki persinggungan kuat. Islam dianugerahi, seperti peradaban Kristen, dengan teks puncak berupa Alquran, yang pada pendalamannya merupakan panggilan untuk pengetahuan, mencari ilmu dan pengabdian. Alquran menyebutkan kata ‘pengetahuan’ lebih dari seratus kali; kata ‘berpikir’ sekira enampuluh delapan kali.
Persinggungan antara Yunani dan Islam telah terjadi pada masa kehidupan Nabi Muhammad, yang juga semasa dengan pemerintahan Gregorius Agung yang mengubah masyarakat Jerman yang liar menjadi salah satu bangsa terpelajar di dunia.
Sebagai pewaris tradisi Musa, Nabi Muhammad ingin bersekutu dengan orang-orang Yahudi di Madinah karena pertalian agama.
Meski pada awalnya mendukung, mereka tetap bersikeras untuk tidak menerima kenabian Muhammad. Beliau kemudian berusaha mendekati orang-orang Kristen; dan selama perang besar nan dahsyat yang berkecamuk antara orang-orang Kristen Yunani dan Persia (yang bersekutu dengan Yahudi), Nabi berpihak pada orang-orang Yunani.
Para sahabat bersukacita dengan kemenangan Kristen atas Persia. Sebuah hadis dalam kitab Kanzul Ummal fi Sunanil Aqwal wal Af’al, Nabi bersabda, “Orang-orang Yunani adalah temanmu, sepanjang mereka melakukan perbuatan yang baik”. Beliau juga bersabda, “Hikmah (warisan keilmuan Yunani) adalah kendaraan bagi orang yang beriman; di mana pun dia menemukannya, tentulah keimanannya semakin membaik.”
Generasi-generasi berikutnya menyerap pemikiran Yunani dalam berbagai aspek. Di tengah pertentangan kaum rasionalis dan tekstualis, kaum Sunni memadukan keduanya, antara rasional (buah peradaban Yunani) dengan wahyu.
Dengan metodologi yang ketat, kaum Sunni mempertahankan otoritas wahyu pada wilayahnya sendiri, dan tetap menegaskan otoritas nalar pada tempatnya yang tepat.
Hasil sintesis ini memunculkan pentingnya rasionalitas dalam ilmu-ilmu alam, matematika dan metafiska yang berakar pada wahyu; di satu sisi mempertahankan pentingnya kebenaran hal-hal gaib yang tidak bisa dijangkau hanya dengan nalar. Inilah dua sayap yang memungkinkan peradaban Islam melambung selama berabad-abad lamanya.
Dunia muslim tumbuh dalam kesuburan pengetahuan. Franz Rosenthal dalam buku Knowledge Triumphant menjelaskan bahwa tradisi keilmuan dalam Islam tidak cukup hanya dengan motodologi berupa penemuan, pengembangan dan penyebaran. Konsep tentang pengetahuan juga mencakup keyakinan, apa yang dianggap baik dan buruk, juga hal-hal prinsipil dalam pengamalan. Karenanya, gagasan tentang pendidikan juga berarti pada pengembangan moral, intelektual dan spiritual.
Eugene A. Myers di dalam buku Arabic Thought and the Western World memberikan komentar terhadap pola keilmuan Islam, yang menurutnya terwakili lewat Imam al-Ghazali, bahwa:
Kontribusinya bagi Islam adalah menempatkan tradisi keilmuan ke dalam hubungan yang organik dengan sistem etika yang ketat. Dia mengajarkan bahwa pencapaian materi tidak langsung mengindikasikan kebahagiaan tanpa pemenuhan moral dan spiritual. Keilmuan tidak harus terbatas pada pencapaian pemahaman; keilmuan harus merangsang kesadaran moral individu.
Dalam buku itu pula, Myers menjelaskan sejarah panjang penerjemahan pengetahuan klasik Yunani mulai dari matematika, logika dan filsafat selama periode 650 sampai 1000 Masehi. Penerjemahan besar-besaran tersebut diinisiasi oleh mayoritas Kristen Arab yang belajar dalam tradisi Bizantium, memperkenalkan beragam teks yang kelak mengubah dunia Islam secara signifikan.
Keilmuan Islam yang bertumpu pada Alquran dan Hadis, menjadikan studi bahasa sebagai sentral. Tatabahasa, leksikologi, begitu pula dengan pembelajaran puisi Arab Jahili termasuk kurikulum awal dalam sistem pembelajaran Islam. Ibn Sina mewarisi diktat-diktat Aristoteles lantas menulis al-Qanun fith Thib yang merupakan versinya sendiri dari The Organon karya Aristoteles, dengan tambahan dan kritik atas beberapa kesimpulan Aristoteles; Al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah yang menjelaskan dalam bahasa yang lebih sederhana tentang tradisi Peripatetik.
Pemikiran Ibn Sina tumbuh dan berpengaruh besar dalam tradisi keilmuan Yahudi dan Kristen. Sedangkan Al-Ghazali yang kemudian memperkenalkan ilmu kalam, menjadi kurikulum utama di dunia Islam sebagai prasyarat pembelajaran teologi dan fikih. Meski begitu, keduanya masih mempertahankan pembelajaran bahasa.
Dalam buku The Foundations of Grammar, Jonathan Owens mengungkapkan bahwa para ahli tatabahasa Islam lebih dekat dengan apa yang sekarang kita sebut sebagai linguis (ahli bahasa).
Mereka mempelajari setiap aspek bahasa, termasuk permasalahan filosofisnya, bahkan sampai pada metafisika bahasa. Owens menyatakan bahwa para sarjana Arab abad ke-11 dan ke-12 harus ditinjau kembali di masa sekarang. Sebab, selama ini kita hanya mengetahuinya dari sarjana orientalis abad ke-19 yang tidak memiliki alat bantu pengetahuan secanggih orang-orang Arab dahulu.
Di masa itu, proses pembelajaran bahasa mirip dengan pembelajaran yang kemudian muncul di Barat modern (dan terus dilestarikan oleh pondok-pondok salaf di Indonesia, dengan kekhasannya masing-masing). Selama enam sampai tujuh tahun pertama, para siswa menghafal Alquran dan mempelajari tatabahasa. Penguasaan bahasa dipraktikkan lewat pembacaan syair dan maqamat. Begitu juga, setiap siswa akan menghapal seluruh bagian maqamat beserta syarh dan definisi kata.
Berabad-abad lamanya pemikiran Athena melatari lahirnya tradisi keilmuan Islam yang kita agungkan; pada masa-masa Ibn Rushd dan para ilmuan Islam di zamannya menyaksikan pembumihangusan buku-buku, di sisi lain Barat yang kembali menemukan masa lalunya—pemikiran Athena tentunya—lewat Spanyol. Mereka mengais-ngais sisa peradaban Athena lewat buku-buku berbahasa Arab, lantas memimpikan kebangkitan kembali yang kita sebut sebagai Renaisans.
Di dunia Islam kini, kita semakin menjauhi Athena dan tradisi berpikir logis yang ketat. Bagi sarjana Islam di Barat, perlu adanya pembaharuan dalam tradisi keilmuan kita. Namun bagi kita, yang dianugerahi tanah kosmopolit berupa Nusantara, tradisi keilmuan itu cukup tinggal dijalankan.
Kita sejatinya masih mewarisi pemikiran Al-Ghazali yang penuh dengan penggabungan nalar dan wahyu, baik dalam tradisi fiqh maupun kalam. Selain itu, kita terus berharap, pondok-pondok salaf yang masih mengagungkan tradisi kebahasaan—penggabungan antara nalar dan teks keagamaan—tetap berada dalam jalurnya yang demikian. (atk)