Dalam dua dekade terakhir, gelombang santri yang studi dan berkiprah di level internasional semakin meningkat. Fenomena ini menjadi titik balik kebangkitan santri di level akademik, sekaligus juga bidang-bidang professional lainnya. Jika pada masa lampau susah ditemui santri yang menggeluti ranah sains, sekarang kita bisa mudah menemukan alumni-alumni pesantren di bidang tersebut. Santri yang menjadi pakar nano-technologi sembari tetap mengaji kitab, santri yang menjadi professor di kampus-kampus internasional sembari tetap shalawatan dan nderes al-Qur’an.
Bahkan, tidak pula santri-santri yang kemudian berdiaspora dan menetap di berbagai negara untuk melanjutkan karirnya. Mereka bekerja di perusahaan-perusahaan internasional dalam bidang arficial intelligence, robotika, biostatistik, juga menjadi manajer beberapa bank internasional. Karirnya di bidang yang digeluti terus menanjak, tapi tidak menghilangkan akarnya sebagai santri. Kelompok diaspora santri ini tersebar di berbagai negara Eropa, Amerika, Australia, bahkan juga di Jepang, Korea, dan beberapa negara di kawasan Timur Tengah.
Gelombang baru diaspora santri inilah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam memaknai hari santri tahun ini, juga dalam rangka meneroka Abad ke-2 Nahdlatul Ulama sekaligus persiapan menuju Indonesia 2045. Saya kira, peta jalan NU pada abad-2 haruslah terkoneksi dengan mimpi seratus tahun Indonesia, agar pengabdian dan garis cita-cita warga Nahdliyyin selaras dengan penguatan keindonesiaan kita.
Dalam beberapa esai lain, saya sudah mengelaborasi tentang pergerakan diaspora santri sekaligus juga kontribusinya dalam peta jalan menuju NU Abad kedua. Pada esai kali ini, saya ingin lebih terfokus pada pertanyaan berikut: bagaimana strategi mengkonsolidasi diaspora santri yang tersebar di berbagai negara?
Secara garis besar, diaspora santri sekarang ini tersebar dan sekaligus menguatkan peran PCI Nahdlatul Ulama dan komunitas nahdliyyin di lebih dari 40 negara. Ada yang dalam pengabdiannya menjadi penggerak organisasi PCINU, ada juga yang nyaman menghidupkan majelis ta’lim dan jamaah shalawatan di berbagai kawasan.
Di samping kerja-kerja professional sehari-hari di lintas bidang, mereka tetap meluangkan waktu untuk berkhidmah menemani komunitas muslim di masing-masing kawasan di mana mereka bermukim. Bahkan, tidak jarang juga menjadi ‘rumah bertanya’ dan referensi kehidupan bagi diaspora Indonesia lintas agama. Sebagian yang lain, berinteraksi secara mendalam dengan warga lokal di berbagai negara dengan kekhasan masing-masing.
Lalu, bagaimana mengkonsolidasi diaspora santri yang saat ini tersebar di berbagai negara itu? Berdasar pengalaman pendek saya berkhidmah di PCINU United Kingdom, ada beberapa hal yang bisa dikerjakan untuk konsolidasi ini. Tentu saja, gagasan-gagasan lain dari pelbagai pihak juga perlu dimunculkan untuk menguatkan kolaborasi.
Pertama, pengelolaan dan penguatan sumber daya. Sekarang ini, ada ribuan diaspora santri yang tersebar di berbagai negara, dengan kualifikasi keilmuan yang merentang luas. Dari bidang ekonomi hingga biostatistika, dari robotika hingga artificial intelligence. Teman-teman santri ini menekuni bidang-bidang khusus hingga menjadi pakar dan professional di bidangnya. Tentu ini merupakan potensi besar bagi Nahdlatul Ulama dan Indonesia secara keseluruhan.
Namun, perlu ada pengelolaan sumber daya dengan rencana database yang komprehensif dan terstruktur, sekaligus juga memiliki perencanaan yang matang ke mana pemetaan sumber daya ini menuju. Saya membayangkan, jika dikelola secara serius dengan tim khusus yang mengawal ini, NU akan memiliki energi SDM yang besar dari diaspora santri ini, baik dalam konteks khidmah an-Nahdliyyah maupun dalam rangka menyiapkan inovasi-inovasi strategis untuk Indonesia—bahkan berkontribusi lebih luas di level internasional.
Tentu saja, dengan pengelolaan sumber daya ini, sekaligus juga penguatan skills dan koordinasi yang lebih rapi, sehingga menjadikan komunikasi jamaah dan jam’iyyah menjadi lebih intensif. Sebagai warga nahdliyyin yang memiliki akar tradisi, diaspora santri juga bisa tersapa sebagai jamaah. Di sisi lain, sebagai penggerak PCINU, diaspora santri juga bisa terkoneksi secara intensif dengan jaringan-jaringan yang mengurusi program-program internasional.
Maka, sangat urgent apabila dalam kepengurusan PBNU mendatang, terbentuk divisi internasional yang mengkoordinasi PCINU dan sekaligus mengelola energi sumber daya diaspora santri. Pembentukan divisi internasional ini mendesak, karena mengurus jaringan PCINU dan komunitas nahdliyyin di 40+ negara tentu tidak cukup dilakukan 1 atau 2 orang semata, karena ini cakupan tugas dan koordinasinya hampir seluas Kementerian Luar Negeri.
Kedua, menguatkan jaringan filantropi. Peran NUCare-Lazisnu sudah sangat besar dan perlu ditingkatkan dengan pembentukan dan sekaligus konsolidasi di tiap PCINU. Penguatan basis filantropi ini penting, karena hal ini merupakan kaki dari dakwah an-Nahdliyyah yang saling terkait dengan program-program lain. Sirkulasi anggaran infaq, shadaqah dan zakat dari warga diaspora Indonesia di luar negeri sangat besar, dan NUCare-Lazisnu perlu menjadi kanal utama untuk mengelola anggaran itu demi kemaslahatan publik.
Kisah menarik dari proses pembangunan masjid Indonesia di Brussels yang dikomando oleh PCINU Belgia. Dengan menggunakan ‘mesin’ NUCare-Lazisnu dan jaringan media, yang dikoordinasi dengan tim yang solid, alhamdulillah mimpi teman-teman Nahdliyyin di Belgia untuk memiliki masjid mendekati kenyataan. Begitu pula, teman-teman Nahdliyyin di Jepang dan Korea Selatan, yang telah melakukan hal yang sama dengan menggerakkan energi filantropi.
Nah, jika ‘mesin’ NUCare-Lazisnu diperkuat dengan jaringan dan sumber daya yang lebih kuat di 40+ negara, sekaligus juga dipadukan dengan konsolidasi yang rapi di pelbagai provinsi di Indonesia, pada momentum 100 tahun Nahdlatul Ulama sangat mungkin untuk membangun 20-an masjid NU di berbagai negara: dari negara-negara Eropa, Amerika, hingga Australia, you name it.
Ketiga, energi dakwah. Dengan jejaring yang terkonsolidasi, mimpi untuk dakwah Islam Nusantara-Islam washatiyyah di level internasional akan menjadi kenyataan. Saat ini, PCINU di berbagai negara sudah ditunggu untuk berdakwah lebih intensif di negara masing-masing. Bahkan, di negara-negara sekuler, tantangan dakwah makin membesar karena menanjaknya islamophobia. Namun, peluang juga terbuka: bahwa pemerintah di berbagai negara juga mengajak PCINU untuk lebih aktif berdakwah tidak hanya untuk warga diaspora Indonesia semata, namun juga lebih luas kepada warga muslim lain di masing-masing negara.
Tentu saja, ini membutuhkan energi dan sumber daya yang besar. Dengan kolaborasi sekaligus konsolidasi sumber daya, tugas dakwah an-nahdliyyah akan semakin ringan. Peluang untuk dakwah Islam Nusantara ke berbagai negara akan menemukan momentumnya. Bismillah, semoga berkah melimpah.