Sedang Membaca
Ingatan Sejarah di Ruang Publik
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Ingatan Sejarah di Ruang Publik

Whatsapp Image 2023 05 23 At 15.39.12

Seperempat abad reformasi diperingati dengan berbagai cara. Lewat pameran dan diskusi, “Generasi ’98” tak luput merangkul tunas muda untuk mengekalkan ingatan akan tumbangnya rezim Orde Baru yang korup dan otoriter. Jalannya reformasi harus dibayar mahal. Mulai pembakaran kota, penjarahan, aksi penculikan aktivis, hingga penghilangan nyawa mewarnai tergulingnya pemerintahan Presiden Soeharto. 

Peristiwa kelam Mei 1998 sukar dihapus dalam memori kolektif. Masih segar dalam ingatan, salah satu titik yang menjadi sasaran empuk keberingasan massa kala itu adalah jalan Singosaren di telatah Surakarta. Pertokoan dan mall Singosaren yang menjadi simbol ketamakan Orde Baru dilalap jago merah. Ratusan bahkan ribuan orang menyemut melampiaskan kemarahan. 

Duapuluh lima tahun kemudian, seorang kawan mengunggah selembar foto dengan lokasi yang sama, di Jalan Gatot Subroto Singosaren. Bedanya, dulu masyarakat berjubel untuk ngobong kutha, tapi sekarang para warga menikmati hiburan malam dan menatap keindahan lukisan mural di pintu-pintu pertokoan. Di sinilah, terjadi tarik menarik antara narasi sejarah dalam ruang publik tersebut.

Belum lama sepotong jalan ini disulap menjadi public space dengan warna baru alias tidak menduplikasi yang sudah ada. Jika tidak bisa dikatakan menandingi Malioboro di Yogyakarta, ruang sosial yang sempat didatangi Presiden Joko Widodo beberapa bulan lalu tersebut cukup menambah kegairahan akivitas malam penghuni kota. Apabila Malioboro terukir dengan cerita kegetolan penyair Umbu Landu Paranggi mengasuh para calon sastrawan berbakat, maka di koridor Singosaren juga dijumpai maestro Sardono W Kusumo menempa sejumlah seniman muda berolah kreatif.

Baca juga:  Catatan Perjalanan Haji Ibnu Jubair: Perampokan Jamaah Haji di Jeddah (2)

Laksana kebo mulih kandang selepas melakoni penjelajahan jauh, mantan rektor Institut Kesenian Jakarta ini mendirikan “padepokan seni” di Kemlayan, yang ungkur-ungkuran (membelakangi) dengan bekas kediaman “kepala suku” gerombolan niyaga Keraton Kasunanan bernama Kanjeng Raden Tumenggung Warsadiningrat. Ibarat penderita sakit jantung, ruang itu semula nyaris mandeg, kini berdetak lebih kencang lagi. Pasalnya, terdapat aktivitas kesenian menyuntikkan ruh. Memang, tiada lagi bunyi tetabuhan gamelan dan senggakan layaknya seabad lalu. Namun, adanya kegiatan mural di dinding gang hingga pertokoan sepanjang jalan Singosaren dewasa ini, ditambah keberadaan komunitas menghelat blusukan sejarah, tak ayal ruang sosial tersebut serasa digugah dari tidur panjangnya. 

Publik bisa dipameri keunikan sejarah yang saya temukan dalam Serat Kridha Pradangga. Naskah lawas berupa buku peraturan untuk para niyaga ini dibuat pada Jumadil awal tahun Jawa 1845 atau 1920 Masehi. Regulasi itu disusun 9 tahun selepas bayi maestro karawitan Mlayawidada lair ceprot melihat terangnya jagad (1911), dan setahun umur bayi S. Ngaliman (1919). Termaktub beberapa nama niyaga Kemlayan, yaitu Jayadikara, Arjapangrawit, Reksapangrawit, Karya Bremara, Karya Pangasih, Mlayataruna, Sastrapangrawit, Warnapangrawit, Trunarambu, Truna Pengasih, Truna Jari, Manguntanaya, Kartawitana, Cuwek, Nayaprawira, Resaratna, serta Jayadikrama. 

Serat langka itu menuduhkan karawitan tidak sebatas pilar penyangga kebudayaan luhung keraton. Mereka bukan “manusia kaku” yang sendika dawuh atas titah raja tanpa diberi kebebasan berolah kreatif. Oleh puluhan abdi dalem niyaga yang berdiam di Kemlayan, karawitan dipakai untuk “ngamen” di luar tembok istana. Di hari luang, juga berproses kreatif di kampung berlorong sempit. Ekosistem Kemlayan dilengkapi pula besalen atawa bengkel pembuatan gamelan yang dipandegani empu Yasapradangga dan Karyopradangga. Yang mengejutkan bahwa tempo itu telah tertanam kesadaran managemen seni pada barisan seniman tradisional. Sudah diterapkan aspek keadilan dalam perolehan pendapatan pada tubuh organisasi seniman, tak sebatas guyub rukun dan nasi sepiring tatkala pentas. 

Baca juga:  Kanjeng Nabi, Pramoedya, dan Pelajaran Hidup Mandiri

Pengetahuan unik perihal manajemen bisnis seniman ini lantas dibulatkan oleh Ki Padmasusastra dalam Serat Tatacara. Tanpa ragu sang pujangga ternama itu turut mempromosikan kumpulan niyaga jempolan bersarang di Kemlayan. Keluarga priayi maupun kaum berduit berniat menggelar klenengan disarankan cukup jawil alias menemui kepala suku niyaga. Kemudian, pentolan pangrawit ini bakal mengerahkan “pasukan” untuk nabuh bersama.

Menyeruak sepenggal pertanyaan, apakah karawitan dan gamelan ikut dalam sejarah kebangsaan Indonesia? Fakta berharga yang patut dibentangkan di sini, yakni momentum berdirinya Indonesia Muda yang berlangsung tanggal 28 Desember 1930 – 1 Januari 1931 di Societeit Habipraja. Perhelatan nasional yang menandai peleburan banyak jong atau perkumpulan pemuda bersifat etnosentris ini digelar di bangunan yang kini dipakai untuk pertokoan batik Danar Hadi. Tokoh yang masuk dalam struktur kepanitiaan antara lain, Amir Hamzah, Mr Wongsonagoro, Goenardjo Wreksoatmodjo, dan Wawardi.

Acara agung di bibir jalan Singosaren itu merupakan kristalisasi dari Sumpah Pemuda tahun 1928. Selepas pembacaan piagam, disusul pengesahan panji Indonesia Muda diiringi tetabuhan gamelan. Telinga peserta lintas suku seperti tersihir dan hanyut dalam gending. Kemudian, semua orang yang hadir di situ serentak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kenyataan ini menandaskan kesungguhan sikap dan tekad mereka untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Peserta yang memadati ruang juga dimanjakan oleh pertunjukan sendratari yang naskahnya dipersiapkan oleh Muh. Yamin berjudul “Kalau Dewi Tara Sudah Berkata”. Lakon itu menyiratkan pesan mendalam bahwa kekuasaan pemerintah kolonial Belanda ingin memecah belah dan menguasai Indonesia. Maka, dibutuhkan kesadaran nasional untuk melawannya.

Baca juga:  Spiritualitas Resolusi Jihad (2): Slogan al-Ulamā Umanā’ullāh ‘Alā ‘Ibādihi

Demikianlah, ruang publik anyar itu menjadi “momumen” penjaga ingatan dari peristiwa sejarah yang terjadi seperempat abad silam, bahkan seabad lampau. Masing-masing zaman memiliki kekhasan, juga memantulkan pesan yang bermuara pada kearifan sejarah. Sesuai kepentingan masing-masing, narasi sejarah yang tersekam dalam ruang tersebut memberikan petunjuk bagi pengunjungnya. Sebuah pelajaran penting bagi lembaga plat merah bahwa ruang publik tidak bebas nilai Mari, merawat memori kebangsaan dengan kluyuran ke sini. 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top