Perempuan, inferioritas, dan subordinasi bukanlah hal baru yang ada di negeri ini. Sejak lama, perempuan diidentikan dengan masak, macak (berhias), dan manak (memiliki anak). Pun sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan tidak memiliki tempat yang cukup untuk berperan dalam sosial kemasyarakatan. Bahkan beberapa diantaranya justru tersisihkan, disembunyikan di balik tirai-tirai keningratan. Langkah geraknya terbatasi dinding kokoh patriarisme yang mengakar kuat sejak ratusan tahun silam. Adalah Raden Ajeng Kartini, sosok perempuan Indonesia pertama yang berani mendobrak tatanan keningratan bangsawan.
Siapa yang tidak tahu sosoknya? Perempuan yang harum namanya, perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi sesamanya, perempuan yang kelahirannya diperingati dan menandai lahirnya kebangkitan perempuan pribumi. Statusnya sebagai putri dari keluarga Priyayi atau bangsawan jawa yang mendapat kenikmatan secara ekonomi dan strata sosial ternyata tidak menjadikan seorang R.A Kartini larut dalam bayang-bayang Moyangnya.
Ia justru memiliki keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi kala itu berada pada status sosial yang rendah. Bahkan pada perkenalannya dengan teman Belandanya, Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat. Dimana perempuan tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, bahkan harus bersedia dimadu.
Di akhir kehidupannya, beberapa sejarawan mencatat R.A Kartini ‘tunduk’ pada patriarki dengan bersedia dijodohkan dengan seorang Adipati. Bahkan ada yang menuliskan bahwa R.A Kartini menjadi lebih toleran dengan menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi. Hal tersebut dilihat dari ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang. Namun, saya tidak sepakat dengan pernyataan tersebut. Menurut saya, langkah R.A Kartini untuk memilih menikah daripada menggapai cita-citanya bersekolah adalah sebuah strategi untuk menggapai cita-citanya yang lebih besar. Yaitu memajukan perempuan pribumi dengan memberikan akses pendidikan. Hal tersebut yang kemudian dilakukan R.A Kartini selepas menikah yaitu mendirikan sekolah bagi perempuan.
Energi besar seorang perempuan yang memiliki potensi namun harus tersembunyi di balik tirai patriarki nyatanya belum padam. Wafatnya Kartini, justru menjadi momentum kebangkitan perempuan. Hingga dekade ini, sudah berapa ratus organisasi perempuan bahkan ada ribuan hingga puluhan ribu aktivis perempuan yang terus mengawal hak-hak perempuan di berbagai bidang. Geliat semangat para perempuan terus memberikan angin segar perubahan. Angin segar tersebut juga sudah memasuki dinding Pesantren yang sebagian besar masih identik dengan nilai patriarki.
Seperti halnya Kartini yang lahir dari trah ningrat dengan kemapanan ekonomi dan sosial, serta dengan segala peraturan tradisi yang melekat. Dahulu para Nyai (Panggilan Istri Kiai) dan Ning (Panggilan Putri Kiai) tidak diikutsertakan dalam kepengurusan Pesantren. Jika pun ada, perannya sangat kecil dan tidak terlihat. Dahulu Nyai dan Ning lebih diidentikan dengan perempuan saleha yang tersimpan di dalam rumah, ikhlas dipoligami, rela dijodohkan dengan laki-laki yang tidak dikenalnya, serta bertugas mendukung peran suami sebagai pemimpin Pesantren dan tokoh di masyarakat. Sehingga masyarakat melakukan modeling dan mempersepsikan bahwa perempuan yang saleha adalah perempuan yang diam di rumah, mau dipoligami, serta mau dijodohkan.
Meski masih ada kalangan pesantren yang tertutup dengan paham kesetaraan gender, namun wacanan-wacana gender di dunia pesantren sudah cukup menggembirakan. Para Kiai tidak sedikit yang sudah menerapkan monogami dalam perkawinannya. Pun begitu dengan Para Nyai dan Ning yang juga sudah mulai ikut terlibat dalam kepengurusan dan kepemimpinan Pesantren, mendapat pendidikan tinggi, dan ikut menentukan pilihan tambatan hatinya. Sebut saja, Nyai Aina Ainaul Mardliyah Anwar, sosok Ning serta Nyai yang progresif dengan kepemimpinannya yang tegas. Ia menjadi pelopor ulama perempuan Lirboyo yang mampu memimpin pesantren dan berkiprah di organisasi keagamaan. Selain itu, ada sosok Nyai Hannah Zamzami Lirboyo yang aktif dalam kepengurusan santri dan aktivitas keagamaan di luar Pesantren. Lebih lanjut, ada Putri dari Nyai Hasbiyah Pemimpin Pesantren Al-Islahiyah, Singosari Malang, yang justru aktif terlibat dalam mengelola WCC (Women Crisis Centre). Sosok lainnya ada ulama perempuan pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islami di Cirebon, Jawa Barat yaitu Ning Nyai Masriyah Amva. Ia merupakan Ning dan Nyai yang produktif dengan karya-karya feminismenya. Ia merefleksikan pengalaman dan usaha pribadinya sebagai perempuan dan ulama dengan akar tradisi pesantren yang berdaya, mandiri, dan toleran dengan keragaman.
Sepak terjang Kartini dan para Nyai serta Ning tentu tidak lepas dari konstruksi nalar yang terbangun lantaran kondisi sosial di sekitarnya. Seperti meminjam istilah Maslow dalam teorinya Hierarchy of Needs, Kartini, Nyai, dan Ning merupakan individu dengan status sosial dan ekonomi yang mapan sehingga kebutuhan dasarnya (physiological needs) sudah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar individu telah terpenuhi ia akan berusaha untuk mencapai kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi secara berurutan yaitu safety need, belonging needs, esteem, dan self actualization.
Apa yang dilakukan para Nyai dan Ning hari ini, adalah perwujudan aktualisasi diri sebagai perempuan. Mereka memantahkan asumsi bahwa perempuan yang ikut berkarir di ranah publik semata mengejar materi. Toh para Nyai dan Ning, dalam hal itu sudah sangat tercukupi. Keikutsertaan Nyai dan Ning adalah gambaran aktualisasi potensi dan kapasitas diri. Ya, semestinya kita bisa berkaca pada mereka bahwa perempuan juga mampu menjadi dirinya dan ikut serta dalam menarasikan isi nurani dan akal budi.
Perkembangan wacana perempuan, kesetaraan gender, dan penghapusan subordinasi perempuan membuat decak kagum. Keikutsertaan Nyai dan Ning dalam berperan aktif melakonkan sosok perempuan progresif mencerminkan bahwa wajah pesantren hari ini tidak lagi seksis, patriarkis, dan mensubordinasi perempuan seperti gambarannya beberapa puluh tahun lalu. Kini, para Nyai dan Ning telah bermetamorfosis menjadi agen “perempuan juga bisa”. Energi Kartini telah teresonansikan ke dalam diri Nyai dan Ning. Meski dalam kenyataannya masih banyak Nyai, Ning, serta perempuan-perempuan lainnya yang terkungkung dalam bayang-bayang moyangnya. (RM)
Waalaikumsalam, terima kasih untuk masukannya. Untuk foto yg memilihkan dari pihak Alif.id karena saya kelupaan untuk mengirimkan gambar yg mendukung tulisan tsb.
Assalamu’alaikum…. mohon maaf, ijin memberi masukan, untuk gambar atau foto apakah bisa diganti atau diblurr yang tengah,hehe…. Terimakasih . dari https://khairpedia.blogspot.com