Dunia pendidikan selalu memberikan cita rasa tersendiri dalam setiap peradaban, memberikan warna khusus dalam setiap masa, dengan gaya khas masing-masing yang tidak bisa dibuang. Selain itu, perjalanan pendidikan selalu menjadi pilihan terbaik bagi umat manusia. Semua percaya bahwa pendidikan menjadi satu-satunya tempat untuk menempatkan seorang anak untuk menjadi manusia yang berguna kelak.
Meski demikian, dunia pendidikan yang sangat beragam dan multikultural serta memiliki dimensi yang sangat berbeda, selalu memberikan corak dan warna yang juga berbeda.
Misalnya, pelajar Eropa dan Amerika yang begitu menikmati kebebasannya untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan, seperti data, informasi, analisa, hasil penelitian dan semuanya. Bagi mereka, setiap informasi bagaikan emas bagi siapa saja. Dengan demikian, ilmu apapun tidak boleh kekang dan peti.
Begitu juga dengan dunia pesantren. Ia juga memiliki ciri khas secara khusus yang tidak kalah saing dengan pendidikan-pendidikan non-pesantren. Meski sering dianggap kolot dan tidak sesuai dengan zaman, pesantren merupakan salah satu tempat belajar yang masih menghargai sekian banyak tradisi dan nilai-nilai.
Dalam studi pesantren, ilmu sebagai pengetahuan paling absolut bukanlah monopoli obyektivitas. Masih ada kendali lain yang mewarnai, mengimbangi, atau minimal berdialog dengan obyektivitas itu sendiri. Misalnya, orang-orang pesantren masih meyakini adanya manfaat dan berkah, yang juga tak kalah penting dari ilmu pengetahuan. Keduanya merupakan salah satu pokok paling penting setelah ilmu. Tanpanya, ilmu tak memiliki nilai apa pun.
Dengan pola itulah pesantren muncul sebagai tempat pendidikan yang unik, awalnya dianggap tak memiliki nilai, namun akhirnya sangat bernilai tinggi. Bahkan, tak sedikit sarjana-sarjana barat pun yang mencoba meneliti sistem dan pola yang diterapkan di dalam pesantren. Misalnya, generasi Hurgronje hingga Bruinessen. Hal ini mereka lakukan tentu dengan bermacam latar belakang, mulai dari penasaran, motivasi, hingga studi ilmiah.
Dari sinilah kehidupan pesantren menjadi senarai kisah yang apik, seperti sebuah novel fiksi yang selalu ditunggu dan diminati. Bahkan, tak sedikit kita jumpai orang-orang yang kehidupan sehari-hari ada dalam pesantren, masih asyik membaca buku KH Saifuddin Zuhri, “Guruku Orang-Orang Pesantren”, atau beberapa humor ala pesantren yang cukup sering tampil di rak-rak toko buku.
Pondok Pesantren memiliki gaya tersendiri, bahkan sering masuk dalam nostalgia romantisme. Gayanya yang merdeka tak lahir dari dikte, dan tidak terlalu terikat dengan tetek bengek formalitas, akan tetapi lebih mengdepankan raalitas.
Misalnya, orang tua datang ke pesantren tanpa melihat visi misi di brosur dan pamflet, juga tidak menanyakan kurikulum dan jaminan mutu. Dan, pesantren memang tidak menuliskan jaminan apa-apa, kecuali bahwa mereka ingin mencetak santri menjadi sosok yang memiliki kemuliaan sejati.
Oleh karenanya, harapan semua orang tua tidak ditumpahkan melalui item-item yang detail dan terperinci. Mereka hanya menumpahkannya dalam kemantapan hati dan kepercayaan penuh terhadap Kiai, “Abdinah masra akinah potrah abdinah dek ajunan-saya pasrahkan anak saya kepada sampean.” Selebihnya, mereka tidak bertanya tentang sistem pembelajaran, target ilmu balaghah, ushul fiqih, ilmu falak, apalagi fisika, sosiologi dan ilmu ekonomi.
Kata “pasrah” dalam dunia pesantren memiliki makna yang sangat dalam. Jika seseorang memasrahkan sesuatu pada orang lain, berarti orang lain memiliki hak penuh pada barang tersebut. Atau, jika dikaitkan dengan dunia pesantren, maka lebih mirip kain yang ada pada tangan tukang jahit. Pemilik kain pasti menahan diri untuk tidak mengganggu proses, apalagi mengambil sebelum waktunya.
Dalam penitipan, yang memiliki hak penuh berada di tangan pemilik, tapi tidak dalam pemasrahan, hak penuh berada di tangan penerima.
Mas Dwy Sadoellah dalam bukunya, “Catatan Tidur dan Lain-lain” halaman 106, menceritakan sebuah kisah antara memasrahkan dan menitipkan. Menurutnya, konon ada seorang Syekh yang mengajari makna pemasrahan. Saat itu, ibu dari salah satu santrinya memprotes.
“Anakku kurus. Ia hanya makan sepotong roti kasar. Sementara Anda (Syekh) memakan daging ayam yang empuk.”
Syekh tersebut menjawab dengan tenang dan enteng, “Kalau anakmu sudah bisa seperti ini, silahkan makan apa saja!” Kemudian Syekh tersebut memegang tulang-tulang ayam yang sudah hancur, dan seketika, ayam itu hidup kembali dan masih utuh sebagaimana sebelumnya.
Pada kisah di atas, Syekh tersebut memiliki pola pendidikan sendiri yang kadang gagal dipahami oleh orang lain, termasuk wali santri dan santri itu sendiri. Maka, di sinilah keyakinan pemasrahan dan pemantapan memiliki peran yang sangat penting.
Konon, pendidikan Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan yang bisa melahirkan ulama-ulama hebat itu, tidak memiliki kurikulum apa-apa. Cara pendidikannya aneh, tidak logis, bahkan seperti mengada-ada. Akan tetapi, semua wali santri saat itu tidak mempertanyakannya, apalagi memprotesnya. Kenyataannya, semua mengalir begitu saja. Seperti air di dalam kali yang dangkal; air tidak terganggu oleh batu-batu, melainkan meliuk hingga sampai pada muara.
Di wilayah jawa, kata pasrah juga pernah diperankan oleh Sunan Kalijaga. Pada masanya, beliau menunggu tongkat Sunan Bonang selama tiga tahun di sungai Jatiwangi. Hanya menunggu tongkat, tanpa kitab atau materi apa pun. Hanya saja, bagaimana hasilnya? Sungguh luar biasa, bahkan tidak bisa diraih melalui pendidikan dengan manajemen sehebat apa pun, puluhan atau bahkan ratusan tahun sekalipun.
Pada masa dahulu, tepatnya pada masa kelahiran ulama-ulama hebat, kata “pasrah” merupakan ungkapan lain dari keyakinan kuat terhadap para kiai. Tidak heran jika jargon “Ayah dan ibu merupakan orang tua dalam kehidupan duniamu. Tapi guru adalah dalam kehidupan akhiratmu” lahir sejak beberapa tahun yang lalu.