Sedang Membaca
Ki Hadjar Dewantara: Bermain adalah Pendidikan Menjadi Manusia Seutuhnya
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Ki Hadjar Dewantara: Bermain adalah Pendidikan Menjadi Manusia Seutuhnya

Selokan di Tambun, Kab. Bekasi.

Dalam proses pendidikan belakangan ini, aktivitas bermain sering kali dianggap sebagai sesuatu yang kurang berguna. Sebuah persepsi yang muncul karena porsi waktu bermain anak-anak nampak terlihat lebih banyak, dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan mereka untuk bertungkus lumus mendaras buku-buku atau belajar rumus-rumus.

Anak-anak tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena situasi zaman membuka jalan bagi mereka untuk lebih banyak bermain dan bahkan bisa membuat kecanduan. Pada sisi lain, orang tua juga sering absen untuk menemani anak bermain karena terbelenggu oleh sistem kerja upahan yang merenggut hal yang paling berharga dari mereka, waktu bersenang-senang dengan anak.

Krisis untuk kesempatan bermain ini sebenarnya adalah masalah yang sering dianggap enteng dan berlalu begitu saja. Orang-orang dewasa juga sebenarnya butuh ruang untuk menemukan kembali diri sebagai manusia seutuhnya, butuh bermain dan kesenangan. Dunia modern kemudian membuat berbagai rupa kesenangan artifisial agar manusia bisa sejenak bernafas di tengah pengapnya tekanan kerja yang memeras jiwa mereka setiap hari.

Kembali pada soal pendidikan dan aktivitas bermain, kedua hal ini sebenarnya bukanlah dua unsur yang tidak bisa disatukan. Sudah sejak lama, bermain justru dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dalam pendidikan untuk menjadi manusia seutuhnya. Inilah salah satu gagasan pendidikan yang bisa kembali dilihat dari salah satu tokoh pendidikan yang dijadikan mercusuar nilai-nilai pendidikan di negara ini.

Baca juga:  Menerabas Jalan Menuju Allah ala Gus Miek

Dalam kumpulan tulisannya di buku Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan (1977), Ki Hadjar beberapa kali menulis tentang pentingnya kegiatan bermain dalam pendidikan. Oleh sebab itu, permainan menjadi bagian yang tidak boleh dihilangkan dalam proses pendidikan manusia. Menurutnya, kaum pendidik perlu mengetahui bahwa permainan mempunyai faedah bagi pendidikan berdasarkan teori-teori yang berkembang saat itu (1938). Permainan yang menyatukan kata, jiwa, dan gerak badan harus dimasukkan ke dalam alam perguruan. Permainan bagi anak-anak, baik sekali untuk memajukan kecerdasan budi dari anak-anak.

Permainan memiliki fungsi untuk membangun “keutuhan jiwa (totalitet jiwa) sebagai dasarnya hidup kemanusiaan,” menurut Ki Hadjar. Dalam hal ini, ia menyadari bahwa kehidupan manusia perlu dijaga keutuhannya, dan ruang untuk bermain adalah salah satu bagian dari kebutuhan seseorang. Pendapat ini lahir dari pengaruh tokoh-tokoh pendidikan Eropa yang dielaborasikan oleh Ki Hadjar dengan nilai-nilai lokal yang disaksikannya hidup dalam masyarakat.

Jika melihat sejarah umat manusia, aktivitas bermain adalah bagian dari hakikat manusia, menurut Johan Huizinga (1949). Jauh sebelum kebudayaan muncul, kebiasaan bermain sudah melekat pada manusia. Menjadi semacam kodrat yang secara alamiah ada pada diri manusia tanpa perlu menyiapkan sistem rumit, manusia selalu bisa membuat kesenangan dalam aktivitas bermain seperti kucing-kucing yang saling bercanda.

Baca juga:  Sosialisme Religius Bung Hatta

Dalam Homo Ludens: A Study of Element of Culture, Huizinga bahkan menyebut bahwa bermain adalah sesuatu yang paling realistis dalam kehidupan manusia. Karena ketika bermain, manusia bisa melampaui batas rasionalitas, dalam kesenangan permainan orang paling pintar dan rasional sekalipun bisa kehilangan rasionalitasnya. Emosinya bisa tumpah, senang, sedih, atau marah. Dalam permainan, manusia bisa menyadari insting hidupnya yang paling primitif. Oleh karenanya bermain mungkin bisa membawa mereka pada sebuah cara pandang yang lebih terbuka pada kemanusiaan.

Selain sebagai bagian dari kemanusiaan, Ki Hadjar juga menganggap permainan merupakan bagian dari kesenian. Terutama permainan yang memadukan antara musik dan gerak tubuh. Permainan macam ini menurutnya penting karena “dalam permainan yang berwirama…perkataan-perkataan itu menerangkan artinya gerak dan lakunya permainan.” Dalam permainan, kata-kata yang terdapat dalam lirik musik perlu seirama dengan (laku) gerakan, hal ini memiliki makna filosofis bahwa perkataan yang keluar dari seseorang yang terdidik sudah semestinya bersenyawa dengan perilakunya. Jika apa yang keluar dari mulut seseorang adalah perkataan yang baik, perbuatan yang dilakukannya juga harus senada.

Namun, sepertinya kecenderungan orang-orang untuk bermain kini lebih banyak dipandang sebelah mata. Saat permainan kurang mendapat tempat dalam wilayah pendidikan, maka kecenderungan itu ditumpahkan ke wadah lain di luar pendidikan. Tren berjoget di media sosial TikTok mungkin sedikit menggambarkan ini.

Baca juga:  Kiai Noer Iskandar: Sang Inspirator Santri Urban

Dalam jejaring TikTok orang-orang saling berbagi musik dan tarian, agar kemudian mendapat sambutan yang luar biasa. Kehendak untuk mendapat perhatian dalam bermain ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Karena dalam permainan, kadang terjadi kompetisi untuk mendapatkan kekaguman publik (Huizinga, 1949). Contoh mutakhir adalah berlomba-lombanya orang memamerkan gerakan velocity saat momen berbuka puasa Ramadhan lalu.

Kuatnya kecenderungan untuk bermain membuat Huizinga merasa perlu untuk menyebut manusia sebagai homo ludens. Menurutnya, sebutan itu mungkin cukup tepat untuk menggambarkan sifat manusia selain menyebut homo sapiens. Sebagai makhluk yang butuh bermain, maka sudah selayaknya pendidikan kembali memberi ruang bagi permainan secara proporsional. Agar hasrat bermain tidak tumpah di tempat lain, dan justru membawa mudarat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top