
Dalam tubuh manusia, semesta menitipkan rahasia paling purba dalam bentuk yang amat kecil: kromosom. Dua di antaranya—X dan Y—bukan hanya membawa cetak biru biologis, tapi juga seperti dua huruf dalam kitab langit yang takkan selesai ditafsirkan. Sejak awal kehidupan, keduanya menari dalam harmoni, membentuk tubuh, wajah, bahkan sejarah jenis kelamin makhluk hidup, terutama manusia.
Namun, kini kita mendengar kabar senyap tapi mengejutkan: kromosom Y tengah menyusut, perlahan tapi pasti. Tak lagi perkasa, tak lagi penuh dengan beban genetik. Ia kini hanya memuat sekitar 55 gen, sangat jauh dibandingkan pasangannya, X, yang memuat lebih dari seribu. Sains mengungkapkan: kromosom Y telah kehilangan 97% dari isi asalinya dalam 200 juta tahun terakhir. Jika tren ini berlanjut, ia mungkin akan lenyap dalam sekitar 4,6 juta tahun ke depan.
Di titik inilah kaum Adam pantas tersentak. Apakah ini akhir bagi kedigdayaan laki-laki? Apakah maskulinitas sedang memasuki fase senjakala? Ataukah ini isyarat dari langit bahwa manusia harus bertransformasi?
Dalam pandangan sufi, tidak ada sesuatu yang benar-benar hilang—semua hanya sedang berpindah bentuk. Apa yang menyusut di satu sisi, akan muncul dalam bentuk baru di sisi lain. Ini adalah hukum transendensi: “Segala yang fana pasti diganti dengan yang lebih hakiki.”
“Kullu man ‘alaihā fān. Wa yabqā wajhu rabbika dhul-jalāli wal-ikrām.
Segala yang ada di atas bumi ini akan sirna. Yang abadi hanyalah wajah Tuhan.” (QS. Ar-Rahman [55]: 26-27)
Maka, barangkali kromosom Y tidak sedang sekarat—ia sedang ber-tajalli, menyingkap sisi fana-nya, agar kita menyadari bahwa bahkan pada tubuh kita sendiri, tidak ada yang mutlak kecuali Kehendak-Nya.
Profesor Jenny Graves dari La Trobe University memaparkan bahwa kromosom Y kehilangan sebagian besar gennya akibat “kesunyian evolusi”—ia tidak mengalami pertukaran gen seperti kromosom lain. Karena tak memiliki pasangan sejati, ia menua dalam keheningan. Bukankah ini mirip dengan seorang sufi yang menyendiri di padang batin, pelan-pelan melepaskan segala atribut duniawi, hingga yang tersisa hanyalah inti?
Sains lalu menunjukkan bahwa beberapa spesies telah kehilangan kromosom Y dan tetap bertahan. Tikus jantan di Jepang, misalnya, kini tak lagi membutuhkan kromosom Y untuk menjadi jantan. Gen penentu jenis kelamin telah berpindah ke tempat lain. Evolusi mencari jalan, bahkan di tengah kebuntuan.
Sufisme menyebut hal ini sebagai tajdid khalq—pembaruan ciptaan. Ketika bentuk lama tidak lagi mampu menampung cahaya-Nya, bentuk baru akan lahir. Di sinilah manusia diajak tidak sekadar memikirkan “bagaimana bertahan hidup, tapi “bagaimana menghidupkan makna.”
Jenis kelamin bukan hanya persoalan fisik atau genetik. Ia adalah isyarat tentang polaritas: yin dan yang, jalāl dan jamāl, qayyūm dan wadūd. Laki-laki dan perempuan dalam Islam bukan hanya sekadar perbedaan biologis, tapi manifestasi dualitas dalam satu Tauhid.
Saat kromosom Y menyusut, mungkin kita harus bertanya ulang: apa yang membuat seorang lelaki adalah “lelaki”? Adakah itu hanya sekumpulan gen? Atau adakah kualitas ruhani—keberanian untuk merengkuh tanggung jawab, menaburkan kasih, melindungi, dan berserah?
Ketika sains menyatakan bahwa kelak kita mungkin bisa menentukan jenis kelamin tanpa kromosom Y, bahkan melahirkan keturunan tanpa hubungan biologis, maka dunia sedang memasuki masa transisi eksistensial. Namun bagi seorang salik, ini bukan kegelisahan, melainkan pertanyaan tafakur:
“Apakah kita masih mengenali diri di tengah perubahan tubuh ini?”
“Apakah yang tersisa saat tubuh kita tak lagi menjadi referensi?”
Kita seperti berdiri di antara laboratorium dan ruang dzikir. Di satu sisi, mikroskop yang menelanjangi kromosom. Di sisi lain, dzikir yang menelusuri makna hakikat.
Kromosom Y mungkin menyusut. Tapi apakah cinta juga ikut menciut?
Kromosom Y mungkin menghilang. Tapi apakah ruh lelaki dalam diri kita ikut lenyap? Ataukah, seperti puisi Jalaluddin Rumi:
“Jangan bersedih jika tubuhmu hancur, karena ruhmu adalah angin yang sedang menari.”
Dalam skala waktu semesta, manusia mungkin tak akan sama lagi. Tapi barangkali, dalam skala ilahi, kita sedang kembali—bukan kepada bentuk, tetapi kepada asal mula nurani.
Keberadaan tubuh dan segala unsur biologis, dalam perspektif Vedanta, hanyalah lapisan terluar dari Atman—Sang Diri Sejati. Kromosom, gen, bahkan jenis kelamin hanyalah manifestasi dari prakriti (materi), sedangkan hakikat manusia terletak pada purusha (kesadaran murni).
Ketika kromosom Y meriut, sesungguhnya ia bukan kehilangan esensi, melainkan pengupasan maya—tabir ilusi yang selama ini dianggap hakikat. Ini adalah permainan dari lila, permainan kosmik yang menyingkap kebenaran melalui perubahan.
Dalam ajaran Vedanta, perubahan adalah bagian dari samsara, tetapi dibalik perubahan selalu ada Brahman yang tak berubah. Maka penyusutan kromosom Y, dalam sudut pandang Vedantik, bisa dipahami sebagai bagian dari tarian semesta yang mengantar manusia pada pengenalan ulang terhadap dirinya sendiri—bahwa ia bukan gen, bukan tubuh, bukan jenis kelamin, tapi jiwa yang lestari.
Seperti kata Shankaracharya, “Brahma satyam jagat mithya, jivo brahmaiva na parah.”
(Brahman adalah nyata, dunia ini maya, dan jiwa sesungguhnya tidak berbeda dari Brahman.)
Maka, apakah maskulinitas akan punah? Sepertinya tidak, karena yang sejati tak mungkin binasa. Yang binasa hanyalah bentuk, bukan cahaya yang berpendaran di dalamnya. []