Sedang Membaca
Wakaf Agraria: Inisiatif Kesalehan Pinggiran
Avatar
Penulis Kolom

Peneliti dan pegiat jurnal di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Wakaf Agraria: Inisiatif Kesalehan Pinggiran

Naskah awal buku ini bermula dari naskah ceramah penulis di acara halal bi halal Yayasan Sajogyo Inti Utama pada lebaran tahun 2018 lalu. Seusai ceramah, penulis mendapatkan pertanyaan berikut: “Apakah ada gunanya mendorong reforma agraria melalui agama? Bukankah agama telah dibajak oleh kalangan elite untuk dijadikan alat kekuasaan belaka?”

Penulis akhirnya menjawab demikian: “Apabila ajaran Islam tidak kita maknai untuk agenda transformatif semacam reforma agraria ini, maka jangan salahkan siapa pun apabila pemaknaan Islam lebih didominasi oleh para politisi dan kelompok konservatif” (hlm. xx).

Kemudian naskah ini menggelinding seperti bola salju, menguat dan membesar oleh berbagai masukan serta kesempatan, termasuk muncul di laman Alif.ID dalam tiga seri berturut (Wakaf sebagai Jalan Reforma Agraria, 9-11 Juli 2018).  

Walaupun buku ini mencoba menawarkan (kembali) sebuah wacana atau kerangka teoritis, namun penyampaiannya sangat runtut dan mudah dipahami bagi kalangan mana pun. Namun di beberapa bagian penulis masih menyampaikan bahasan yang mendalam dan detail dalam rangka membumikan dan menjembatani konsep-konsep yang selama ini dianggap berseberangan: reforma agraria (bab 2) dan wakaf (bab 3). Dalam hal ini, saya sepakat dengan Pak Zainal Abidin Bagir dalam Prolog buku ini, bahwa penulis telah berusaha “mengintegrasikan” antara ilmu dan agama secara kritis dengan memilih pendekatan induktif di mana praktik empiris di empat daerah (Tuban, Jombang, Pandeglang dan Aceh Besar) menjadi sumber refleksi normatif wakaf agraria (bab 4). Kemudian dengan modal tersebut penulis menyusun sintesis tujuh model operasional wakaf agraria di mana terdapat kepaduan komponen antara aspek-aspek pelaksanaan wakaf dengan berbagai komponen agenda reforma agraria (bab 5). Sebagai penjelasan terakhir (bab 6), penulis memberikan uraian bahwa wakaf agraria juga memberikan kedudukan yang setara antara Muslim dan non-Muslim, baik sebagai pelaku wakaf (wakif) maupun penerima manfaat harta benda wakaf.

Baca juga:  Catatan Perjalanan Ibnu Jubair: Inklusifitas Mazhab Fikih di Masjidil Haram (4-Habis)

Integrasi dari bawah

Yang menarik dalam pengajuan perspektif ini adalah penulis membangun basis argumentasinya dari rumusan-rumusan persoalan dan penyelesaian masalahnya. Setidaknya, ada empat persoalan struktural yang dihadapi oleh petani di Indonesia saat ini, antara lain: keterbatasan atau ketiadaan akses atas lahan pertanian, adanya politik alokasi tanah yang tidak berpihak kepada kepentingan pertanian rakyat, ancaman alih komoditas pertanian dari pangan ke non-pangan, dan konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian (hlm 3).

Kemudian penulis melihat bahwa ada keterbatasan-keterbatasan, jika tidak mau disebut kemandegan, dalam usaha penyelesaian yang didorong melalui kebijakan pemerintah hingga saat ini. Justru di sebagian masyarakat desa, baik individu maupun kelompok, penulis memperhatikan adanya best practices dalam menyiasati persoalan struktural di atas, khususnya melalui skema wakaf yang mampu mengintegrasikan beberapa komponen dan pilar dalam reforma agraria.

Dalam penjelasan buku ini (hlm 26-32), yang disebut sebagai komponen utama dalam reforma agraria adalah: (1) penataan kembali distribusi penguasaan tanah menjadi lebih adil (tata kuasa), (2) penataan kembali pola penggunaan lahan yang berkelanjutan (tata guna), dan (3) penataan sistem produksi pedesaan yang menguntungkan dalam jangka panjang (tata produksi). Sedangkan pilar pelaksanaannya mencakup: (1) adanya jaminan akses bagi kelompok miskin dan marjinal, (2) adanya perlindungan hak baik secara legal maupun kebijakan proteksi, (3) adanya perlindungan ekosistem yang menyeimbangkan antara daya dukung alam dan produktifitas lahan, serta (4) adanya perlindungan sistem produksi khususnya pertanian skala kecil yang efisien dan berkelanjutan.

Baca juga:  Dalailul Khairat: antara Shalawat Maulid dan Aurad

Sedangkan jika melihat elaborasi di bab wakaf (hlm 33-46), penulis menunjukkan peluang integrasi pada resolusi wakaf untuk kemajuan dan peningkatan ekonomi umat dan atau kemajuan kesejahteraan umum lain, seperti yang termaktub dalam UU Wakaf No. 41/2004 Pasal 22. Skema wakaf agraria ini bisa dimanfaatkan secara langsung jika harta benda wakaf berkaitan dengan proses produksi pertanian, dan tidak langsung jika hal itu berupa wakaf tunai yang dibutuhkan untuk pembiayaan. Kemudian penulis juga menunjukkan aspek pelaksanaan wakaf yang mesti diikatkan dalam ikrar wakaf untuk reforma agraria. Aspek-aspek pelaksanaan tersebut adalah: (1) peruntukan harta benda wakaf, (2) penggunaan harta benda wakaf, (3) bentuk-bentuk manfaat dari harta benda wakaf, (4) para penerima manfaat harta benda wakaf, dan (5) pengelola harta benda wakaf.

Dari pembahasan konseptual dan pengalaman empiris wakaf agraria, penulis setidaknya berhasil mengidentifikasi tujuh model wakaf agraria yang dapat dikembangkan oleh masyarakat. Pertama adalah model kontra-fragmentasi; kedua adalah model konsolidasi; ketiga adalah model donasi utama; keempat adalah model crowd funding; kelima adalah model integrasi dengan land reform by leverage; keenam adalah model tanah wakaf desa; dan terakhir adalah model integrasi dengan land reform program pemerintah (hlm. 63-73).

Di samping itu, di bagian akhir buku (hlm 85-86), penulis juga memberikan penekanan bahwa skema wakaf agraria tidak bersifat eksklusif bagi umat Islam, tetapi sebaliknya, justru mendorong inklusivitas dan motivasi untuk menciptakan ekonomi solidaritas. Secara psiko-politis dan historis, signifikansi perspektif ini mempunyai dampak rehabilitatif terhadap stigma yang sering mengaitkan agenda reforma agraria dengan agenda komunis. Penulis, sebaliknya, berhasil menunjukkan bahwa sebenarnya spirit keadilan sosial dan redistribusi justru merupakan bagian penting dari konsepsi dan praktik wakaf itu sendiri. Wakaf juga menanamkan kesadaran kuat atas sakralitas atau transendensi dari harta benda, karena pada dasarnya harta yang telah diwakafkan berarti sudah terlepas ikatan kepemilikannya dari manusia. Dengan kata lain, penulis mencoba meyakinkan pada khalayak bahwa inisiatif wakaf agraria, meskipun bukan pilihan yang populer dari dua sisi, namun tetap mempunyai peluang dan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat.

Baca juga:  Kitab Ulama yang Hangus Dibakar Istrinya

Penutup

Dari pembacaan seluruh bagian buku, pembaca awam seperti saya menjadi terbantu dan lebih mudah dalam memahami inisiatif yang ditawarkan penulis bahwa wakaf compatible dengan reforma agraria di Indonesia. Namun, mengingat bahwa praktik wakaf merupakan sebuah legacy seusia Islam dan sekaya ragam umatnya, maka buku ini melewatkan varian pengalaman dan peluang inovasi dari praktik wakaf (derma) umat Islam di masa lampau dan di negara lain, Pakistan misalnya. Termasuk kompleksitas dari penerapan varian fiqh yang diikuti oleh pelaku wakaf, walaupun sudah disinggung sedikit di bab 3, apalagi jika dalam praktiknya bertautan dengan hukum adat. 

 

Judul                  : WAKAF AGRARIA: Signifikasi Wakaf bagi Agenda Reforma Agraria

Penulis              : Mohamad Shohibuddin

Tebal                  : l + 122 halaman

Penerbit            : Kerjasama antara Baitul Hikmah, Sajogyo Institute dan Magnum Pustaka Utama

Cetakan            : Cet. 1, April 2019

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top