Sedang Membaca
Hardiknas: Menghidupkan Kisah-kisah untuk Pendidikan Anak
Setyaningsih
Penulis Kolom

Esais dan Penulis buku "Bermula Buku, Berakhir Telepon" (2016).

Hardiknas: Menghidupkan Kisah-kisah untuk Pendidikan Anak

Sore masih riuh di ruang kelas IV F SD Takmirul Islam Surakarta. Hari itu Sabtu bertanggal 28 April 2018. Puluhan anak berkumpul dalam agenda Literasi Islam Santun sebagai program “Pengabdian Masyarakat Ekonomi Islam IAIN Surakarta” oleh dosen M. Endy Saputra dan teman-teman penulis dari Bilik Literasi Solo.

Para penulis di pelbagai tema dan media ini memang wajib datang untuk menemani dan memberi ide-ide nyeleneh. Dari SD Takmirul Islam, ada ibu guru Karisma Fahmi, penulis cerita sekaligus pengampu kelas menulis tiap hari Sabtu.

Pengantar kecil saya berikan dalam suara riuh anak-anak yang menanggapi. Bahkan sebelum menulis dimulai, ada anak-anak berebut mengintip buku-buku di dalam kresek hitam. Buku-buku sengaja dipersiapkan sebagai ganjaran penulisan.

Begitu ada anak yang mendapatkan buku, seketika sorak membahana. Anak-anak selalu suka mendapatkan buku dan mereka berani bertarung lewat tulisan. Literasi Islam Santun tahun ini masih membawa tema “Berbagi.” Berbagi bagi anak-anak tidak selalu tentang makanan, anak-anak menulis tentang berbagi hafalan, mukena, hijab, atau air.

Sejak kecil, kita diajari melakukan tindak berbagi atau memberi oleh orangtua, guru, atau teman. Memberi adalah ajaran sederhana sehari-hari, tapi melalukannya pasti tidak selalu sederhana. Ada orangtua yang memberikan perintah. Pun, orangtua lain menyatakan dengan percontohan karena sadar bahwa kita di waktu kecil suka meniru atau menduplikasi.

Melihat orang lain memberi dengan kebaikan hati, ketulusan, atau bahkan dengan senyum jahil, bisa jadi salah satu peristiwa yang terkenang dalam hidup. Apalagi saat ada orang yang begitu penting bagi kita memberikan sesuatu, kita merasa juga ingin memberi tanpa selalu ingin diberi.

Ada kisah yang bagus tentang laku Nabi Muhammad berbagi, dinyanyikan dengan riang oleh Gita Gutawa dalam lagi Kisah 8 Dirham, kita bisa membayangkan Nabi berjalan ke pasar dengan langkah ringan dan ceria:

Baca juga:  Perbedaan Peran Ushul Fiqh dan Qawaid al-Fiqh

Kisah 8 Dirham kisahnya Nabi Muhammad/ Pada suatu hari saat hendak ke pasar/ Nabi bawa uang sebanyak 8 Dirham/ Nabi ingin membeli pakaian.

Delapan dirham memang kepunyaan Nabi dan bisa dibelikan pakaian, tapi di perjalanan berangkat dan pulang ada kejadian-kejadian yang membikin delapan dirham lebih penting dan pas menolong sesama.

Di perjalanan berangkat, Nabi bertemu seorang budak yang menangis kehilangan 4 dirham. Nabi pun memberi separuh uangnya untuk mengganti kehilangan. Tersisa 4 dirham, Nabi justru bertemu seseorang yang kelaparan. Nabi berbagi 2 dirham. 2 dirham terakhir dibelikan pakaian di pasar.

Pakaian yang akhirnya tidak (jadi) dimiliki Nabi. Begini kisah lanjutan pakaian itu:

Dalam perjalanan berjumpa seorang pria/ Oya Rasulullah aku tak punya pakaian/ Akan Nabi memberikan pakaian barunya. Kini semua telah nabi berikan/ telah nabi berikan, telah nabi berikan.

Memberi bagi beberapa orang mungkin serupa ujian yang berat. Bagi Nabi, memberi tampak mudah, ringan, dan tidak muluk-muluk. Lumrah saja saat orang-orang merasakan keberatan memberi karena sesuatu itu mungkin memang hanya sedikit, terlalu berharga diberikan, atau perasaan memang tidak ingin berbagi.

Berbagi tercipta karena terbiasa, saking terbiasanya tidak ada pamrih atau iming-iming yang sering diucapkan orang dewasa kepada kita. Kita pasti dinasihati gemar memberi agar masuk surga, mendapat pahala, atau kuburan terasa longgar.

Prasangka
Di kumpulan cerpen Bobo seri Si Penjaga Pintu , ada kisah berbagi yang cukup lucu. Berbagi ternyata menimbulkan prasangka. Cerita berjudul Gara-gara Roti garapan Kusnal, bercerita tentang seorang anak perempuan yang gelisah karena badannya semakin gemuk.

Baca juga:  Yang Harus Diperhatikan dalam Mendirikan Pesantren Anak-Anak

Dia mencari-cari makanan apa yang bisa memberi berat badan berlebih, padahal dia bercita-cita menjadi pramugari. Elen pun mengingat bahwa Rita, teman sekolahnya, selalu senang memberi roti oles mentega bertabur cokelat. Ah, Elen menjadi kesal karena menganggap roti dan spontanitas memberi Rita sebagai sumber masalah bagi tubuh. Padahal, Elen tidak berusaha menolak pemberian Rita. Rita tidak hanya suka berbagi roti, ia juga pernah menjenguk Elen ketika sakit, mengajak belajar bersama, dan suka mentraktir bakso.

Kita pasti memiliki teman keseharian untuk berbagi. Terutama di sekolah, teman sebangku atau teman sekelas biasanya menjadi teman berbagi banyak hal; makanan, minuman, alat tulis, kertas binder, stiker, atau buku cerita.

Misalnya saat jajan, kita biasanya mengajak teman berkolaborasi membeli jajanan berbeda biar saling bertukar mengicipi. Berbagi makanan yang tampak memang saranan berbagi yang paling sering. Kita juga secara naluriah ingin memberi kepada teman yang tidak membawa bekal atau lupa membawa uang saku.

Memberi sebagai tindak kebaikan, biasanya juga beriring dengan pujian. Tapi, kita mungkin sempat resah saat menanggung pujian berlebih. Pujian membuat kita senang sekaligus tidak enak. Pujian seperti ‘menuntut’ untuk terus berbagi atau mengesahkan kita sebagai orang yang amat baik hati. Padahal, bisa saja suatu saat kita lupa berbagi karena merasa enggan dan berat hati.

Atau hati kita belum memiliki ketetapan pasti untuk berbagi dan menganggapnya sebagai tugas mematuhi orangtua atau membuat ibu dan bapak bangga.

Tak Tampak
Di masa belia, risalah memberi memang mewujud dalam perantaraan benda-benda sehari-hari. Di buku Sejuta Warna Pelangi (2015) milik Clara Ng, ada cerita Melukis Cinta yang bercerita pada kita tentang suatu pemberian yang tidak tampak tapi selalu melingkupi kita. Pemberian tidak selalu tampak dalam bentuk makanan atau uang.

Baca juga:  Toleransi dan Rasa Syukur Menyatu dalam Tradisi Wiwitan Jali

Cerita Melukis Cinta tampil manis dengan gambar oleh Maryna Roesdy. Diceritakan seorang anak kecil bernama Lulu yang bertanya kepada ibunya, “Apakah cinta itu?” Ibu Lulu tidak langsung menjawab dengan pengertian atau definisi. Ia menjawabnya dengan gambaran peristiwa:

“Cinta adalah titik-titik hujan yang jatuh dari langit. Bunga bermekaran dan kupu-kupu menari-nari di sekelilingnya. Pelangi melengkung indah dan kamu berkecipak-kecipuk di tanah basah.”

Peristiwa sehari-hari itu sangat manis. Lulu menyadari bahwa cinta adalah sebentuk pemberian, kasih yang diberikan setiap ibu kepada anak-anaknya, seperti juga doa dan senyum. Lulu mengatakan:

“Saat aku gembira dan sedih. Mama memeluk dan menciumku. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Sehingga aku dapat tidur dengan aman sampai pagi tiba.”

Cinta, inilah hal terbesar yang saling diberi dan diterima umat manusia dalam hidupnya. Kita mendapatkan dari Tuhan, orangtua, guru, teman, atau bahkan orang tidak dikenal yang menolong di saat tidak terduga.

Pemberian itu sepertinya tidak beragama. Jika beragama, ia mungkin hanya terberikan pada sesama yang memang sama secara latar dan pandangan keagamaan.

Kita tentu ingin menjadi pemberi tanpa harus bertanya apa agama, suku, acara televisi favorit, atau idola orang yang terberi. Karena orang itu memberi kita kesempatan berbagi, kita justru berterima kasih. Kita bisa terus belajar memberi dan menerima tanpa melihat apakah dia putih, cokelat, hitam, merah, hijau, atau abu-abu. Seperti anak-anak yang mengikuti Literasi Islam Santun, mereka menulis cerita berbagi tanpa melulu memberikan identitas keagamaan tertentu pada para diri atau tokoh-tokoh di cerita.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top