Sedang Membaca
Digagas oleh Gus Dur, Istilah “Doa Bersama” Jadi Entri dalam Ensiklopedia NU
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Digagas oleh Gus Dur, Istilah “Doa Bersama” Jadi Entri dalam Ensiklopedia NU

Baru-baru ini, publik diributkan dengan ide ‘salam semua agama’. Kita jadi dingatkan ide Gus Dur yang melontarkan uluk salam berbahasa Arab diganti selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya. Ada satu lagi ide Gus Dur yang lebih substansif dan penting terkait momen-momen antaragama, yakni “doa bersama”.

Acara doa bersama yang digerakkan Gus Dur tahun 1990an ramai dibicarakan, mulai oleh Islam puritan, penguasa tiran Orba, dan tentu saja oleh kalangan NU sendiri. Tapi, waktu itu, Gus Dur yang sedang menjadi Ketua Umum PBNU terus mengadakan itu diberbagai daerah, bersama kiai-kiai.

“Apa yang dilakukan oleh Gus Dur adalah gerakan sosial merekatkan tali-tali persaudaraan sesama anak bangsa. Bukan mencampur-campur ritual agama,” kata Abdul Mun’im DZ.

Saking pentingnya, gerakan doa bersama oleh Gus Dur ini dijadikan bahasan khusus dalam buku penting di lingkungan NU, yakni Ensiklopedia Nahdlatul Ulama.

“Doa Bersama,” demikian entri dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama Jilid 2, halaman 31-32, Jakarta 2014. Berikut ini penjelasannya:

Doa Bersama

Acara yang digagas oleh para kiai NU yang dipimpin oleh Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid, untuk merajut kohesi sosial di akhir kekuasaan Orde Baru. Tujuannya untuk menepis rasa saling curiga di antara warga masyarakat dan penganut berbagai agama serta keyakinan. Dihadiri oleh wakil-wakil dari agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan beberapa agama lokal seperti Sunda Wiwitan, dan sebagainya.

Baca juga:  Terkait Pemakzulan Presiden, Apakah Benar Prof. Din Syamsuddin Mengutip Imam al-Marwardi?

Acara doa bersama telah membuat kelompok-kelompok minoritas merasa terlindungi oleh kelompok mayoritas Islam, yaitu NU. Karena merasa mendapatkan jaminan keamanan, maka meraka yakin bahwa konflik bisa dihindari dan kesatuan negara pun dipertahankan.

Menjelang dan pada awal munculnya gerakan reformasi, Pemerintah Orde Baru berusaha mengurai dan membubarkan simpul-simpul gerakan sosial. Caranya dengan menciptakan keretakan sosial sehingga memudahkan terjadinya konflik sosial yang bersifat horizontal.

Pada 1997-1999 terjadi konflik antarkelompok, bahkan antarpemeluk agama di Indonesia. Konflik ini tidak disadari oleh masyarakat dan para pelakunya. Mereka melakukan pembakaran tempat ibadah serta merusak pertokoan, rumah, dan lain-lain. Selama ini mereka hidup rukun dan saling membantu, tetapi mereka tiba-tiba digiring pada konflik yang tidak mereka kehendaki.

Masyarakat kemudian tahu bahwa konflik yang menimbulkan korban fisik dan dampak psikologis itu tidak semata ketegangan antarkelompok atau antarpemeluk agama, melainkan adanya pihak luar yang mengadu domba. Sering kali konflik itu terjadi setelah masuknya orang tertentu dari luar yang mengobarkan permusuhan. Orang-orang dari luar itu juga melakukan serangan terhadap suatu kelompok, sementara warga yang ada di sekitar tempat itu hanya bisa menonton atau sebagian lainnya terprovokasi.

Pada awalnya kejadian-kejadian semacam itu memunculkan kecurigaan di antara warga masyarakat sehingga mengarah pada munculnya konflik horizontal yang lebih luas. Konflik horizontal inilah yang dikehendaki para pembuat skenario konflik. Tujuannya agar masyarakat tidak melakukan konflik vertikal, yakni melawan kekuasaan pemerintah Orde Baru yang legitimasi kekuasaannya mulai goyah.

Baca juga:  Humor Gus Dur: dari Petani Prancis, Liga Champions hingga Tuhan yang Menangis

Acara-acara doa bersama kemudian dikembangkan di berbagai daerah. Namun, kelompok Islam puritan mengkritik acara ini karena dianggap sebagai bentuk kemusyrikan yang mencampuradukkan berbagai kepercayaan dan agama. Sebaliknya, NU sendiri menganjurkan doa bersama demi menciptakan kerukunan bersama. Para ulama NU menempatkannya sebagai forum kerukunan sosial, bukan pelaksanaan ritual agama, karena mereka berkumpul dan berdoa sesuai dengan agama masing-masing.

Sejak saat itulah para pemeluk agama mulai terbiasa menjalankan doa bersama. Jika sebelumnya mereka menganggap doa bersama sebagai kegiatan yang tabu atau menimbulkan risih, maka sekarang kegiatan itu menjadi kebiasaan. Setiap pihak pun tidak merasa terintimidasi atau dicemarkan keyakinannya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top