Sedang Membaca
Pembakaran Buku dan Akibatnya
M. Azwan Anas
Penulis Kolom

Mahasiswa Akuntansi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta.

Pembakaran Buku dan Akibatnya

Buku menjadi teman setia di saat sendiri, saat sepi mencekam maupun di tengah keramaian. Buku menjadi sahabat terbaik dalam hidup, guru yang tidak pernah memarahi meskipun kita caci maki, masih tetap memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengambil ilmu dari dirinya.

Buku memiliki kisah tersediri bagi pembaca, bisa mengubah hidup manusia menjadi  lebih baik dan bahkan yang tersial berujung kematian. Dalam buku Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez megisahkan tentang pembacaan buku berjudul Bajak Laut dari Malaysia yang membuat pembaca memutuskan untuk menjadi profesor sastra sebuah universitas.

Siddharta membuat puluhan ribu anak muda menggandrungi kebatinan. Hemingway membuat mereka menggandrungi olahraga. Dumas memperumit hidup ribuan perempuan yang sebagian di antaranya selamat dari bunuh diri gara-gara buku resep masakan.

Nasib sial yang dialami pembaca buku terjadi kepada seorang profesor sepuh pengajar bahasa-bahasa kuno, Leonardo Wood, lumpuh setelah lima jilid Encyclopaedia Britannica jatuh menimpah kepalahnya dari rak perpustakaannya. Seekor anjing di Cile mati salah cerna gara-gara menggigiti halaman-halaman novel Karamazov Bersaudara saat sedang marah-marah tak jelas juntrungnya. (Domingusez: 2018).

Bukan hanya nasib sial pembaca, buku-buku juga mengalami nasib yang sial saat ditelantarkan dan tidak dibaca atau hanya menjadi hiasan kamar tidur bahkan ruang tamu untuk sekedar memperlihatkan ribuan koleksi hanya untuk bisa dibilang sebagai seorang intelektual atau berpendidikan. Akan tetapi nasib yang paling sial adalah saat buku dihancurkan.

Penghacuran buku dilakukan di pelbagai negara di belahan dunia, dan hampir semua negara pernah terjadi penghancuran buku. Dengan berbagai dalih manusia kejam berhasil menghancurkan buku, baik dengan pembakaran atau dengan yang lainnya.

Penghancuran dengan membakar buku diceritakan dengan apik dalam film Fahrenheit 451 yang diangkat dari buku karya Ray Bradbury dengan judul yang sama. Dalam film yang berdurasi 1 Jam 40 Menit 58 detik ini memperlihatkan kekejaman dalam menghancurkan buku, bahkan saat diketahui memiliki buku maka bukan hanya buku yang dibakar namun dengan pemiliknya juga.

Baca juga:  Melacak Akar Konflik Timur Tengah

Hal ini seperti yang dikatakan Heinrich Heine dalam halaman khusus sebelum masuk dalam cerita Novel karya Geraldine Brooks, People Of The Book (2015).

Heinrich mengatakan “Di sana, saat orang membakar buku, ia sesungguhnya membakar manusia” atau kutipan perkataan Heinrich yang lain “Di mana pun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia”.

Upaya pemberontakan dilakukan dengan penyebaran e-book, menggunakan video berdurasi singkat yang sebelum beredar sudah diketahui terlebih dahulu oleh Mayor Betty dan Kapten Montag yang membuat mereka tidak pernah berhasil untuk memerdekakan manusia dalam berbuku. Namun, upaya untuk memberikan kesadaran atas kesalahan yang dilakukan sebelum pemberontakan terjadi, Clarisse memperingatkan kepada Kapten Montag dengan mengatakan “ Apa kau pernah berfikir, meski sebentar saja, kau seharusnya membaca sebelum membakar.”

Dalam video singkat yang dimusnakan mengatakan, “Sebelum robot dan teknologi menulis secara otomatis, kami memiliki kegiatan sebagai jurnalis…suatu hari. Dia habiskan berminggu-minggu, kadang berbulan-bulan, menginvestasi sebuah cerita, kemudian mereka menerbitkan rangkaian artikel…Bahkan ribuan kata panjangnya dalam bentuk kertas dan internet atau 9. Di mana semua orang bebas untuk membaca. Tapi tidak ada yang membaca lagi atau mereka akan menjadi tajuk berita yang dihasilkan oleh algoritma..”.

Namun, Fahrenhit 451 hanya salah satu dari beberapa kekejaman penghancuran buku. Masih banyak buku dan film yang menceritakan penghancuran buku, salah satunnya adalah The Physician. Film ini menceritakan perjalanan Ibnu Sina dalam dunia kedokteran yang kemudian dilanjutkan oleh murid terbaiknya Robert Cole atau Jesse Bin Benyamin yang mengembangkan ilmu kedokteran yang terlebih dahulu diajarkan oleh Ibnu Sina.

Tidak semua karya yang dibuat Ibnu Sina bisa diselamatkan akibat politik kekuasaan. Hampir semua karya Ibnu Sina dibakar hanya menyisakan beberapa karya yang diselamatkan oleh muridnya dan satu karya tebal diserahkan ke murid terbaiknya.

Sebuah hasil penelitian mengungkapkan bahwa buku Penghancuran Buku karya Fernando Baez adalah salah satu buku yang paling lengkap mengisahkan bibliosida. Buku hasil penelitian selama 12 tahun ini memaparkan sejarah penghancuran buku mulai zaman dunia kuno sampai modern (sekarang).

Baca juga:  Menengok Toko Kitab Tua di Banyuwangi

Salah satunya adalah Irak yang mengalami kemusnahan kebudayaan dan buku, seperti yang diungkapkan Baez. “Irak adalah sebuah bangsa yang telah kehilangan sebagian besar ingatannya. Buku-bukunya kini menjadi abu, karya-karya budayanya dijual di pasar. Irak adalah korban pertama pemusnahan kebudayaan pada abad ke-21” . (hlm 303).

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top