Jangan Anda pikir hanya zaman mabuk pilpres ini saja orang bermain-main dengan hoaks, kabar bohong. Zaman dulu juga ada hoaks. Bahkan Pancasila pun tak luput dari serangan hoaks. Serangan hoaks itu membuat Pancasila (sempat) melenceng dari semangat mula-mula yang melingkupi perumusannya sebagai dasar negara.
Ada dua serangan hoaks pada Pancasila, yang terutama disebarkan kepada masyarakat oleh penguasa Orde Baru. Tujuan serangan-serangan hoaks itu yang paling utama adalah melakukan “desoekarnoisasi” terhadap Pancasila. Penguasa Orde Baru sangat getol mengecilkan peran Soekarno dalam perumusan fondasi negara ini, antara lain karena catatan sejarah tentang hal itu tak cukup rapi.
Serangan hoaks terhadap Pancasila itu meliputi hoaks metodologis dan hoaks historis. Mari kita bahas keduanya secara ringkas. Tapi santai loh ya; Anda jangan bawa perasaan, alias baper.
Hoaks Metodologis
Ada dua cabang hoaks metodologis yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru. Hoaks metodologis cabang pertama: Penguasa Orde Baru memalsu Pancasila menjadi alat penggebuk, padahal aslinya dia dirumuskan sebagai ideologi perangkul.
Essensi dari kelahiran Pancasila adalah konsensus! Bung Karno (BK) saat itu menggali ideologi-ideologi utama yang mewarnai terbentuknya keindonesiaan, yakni nasionalisme, sosialisme, demokrasi, humanisme, dan agama.
BK lalu mengolah ideologi-ideologi itu dengan metodologi konsensus, dan menaruhnya dalam satu belanga gagasan bernama Pancasila. Ideologi-ideologi yang mungkin memiliki premis-premis yang beragam itu diajak bersepakat dalam cita-cita negara baru.
Rumusan kelima sila itu sekadar hasil berpikir konsensus ala Pancasila, bukan esensinya. Bung Karno memaksudkan Pancasila untuk menjadi wadah perangkul beragam ideologi agar bisa menjadi “dasar yang dinamis … yang benar-benar dapat menghimpun segenap tenaga rakyat Indonesia.” Kalau dasarnya saja dinamis, maka bangunannya tak boleh statis.
Tapi sepeninggal dia, Pancasila justru digunakan oleh panguasa sebagai penolak ideologi yang tak dikehendaki penguasa. “Ideologi ini-itu, atau ormas anu, tidak boleh hidup di Indonesia karena bertentangan dengan Pancasila,” begitu biasanya kata penguasa di era belakangan.
Penguasa Orde Baru mengubah Pancasila menjadi ideologi tertutup dan doktrin yang statis, lalu menggunakannya sebagai alasan untuk menuding ideologi lawan-lawan politik penguasa sebagai anti-Pancasila.
Padahal, Anda tak akan menjadi anti-Pancasila hanya karena menganut ideologi tertentu. Tak soal apakah ideologi Anda itu Marxisme atau khilafahisme. Metodologi berpikir Pancasila itu memungkinkan ideologi yang Anda anut itu untuk menjadi bagian dari kepancasilaan. Kuncinya hanya satu: kesediaan berkonsensus.
Anda adalah anti-Pancasila ketika tak bersedia berkonsensus dan sibuk menolak ragam ideologi yang berbeda dari apa yang Anda yakini.
Orde Baru mengubah sebuah wadah konsensus menjadi alat penggebuk, dan sebagian dari kita melanjutkan hoaks ini hingga sekarang.
Hoaks metodologis cabang kedua: Pancasila adalah dasar negara, tapi penguasa otoriter di masa lalu tak henti menjadikan Pancasila terutama sebagai rumusan perilaku warga negara sebagai individu.
Ringkas saja, Pancasila adalah dasar negara. Orang-orang yang belajar hukum tata negara menyebut Pancasila sebagai staatsfundamentalsnorm, kaidah negara yang fundamental. Kelima silanya adalah penunjuk arah pengelolaan negara.
Misalnya, sila pertama dalam Pancasila versi Piagam Jakarta berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kebanyakan orang menafsirkan “kewajiban” di sana sebagai kewajiban bagi para pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariat Islam. Kalau cuma itu, untuk apa dirumuskan dalam dasar negara? Tak diatur oleh negara pun, orang Islam memang wajib menjalankan syariat.
Tafsir yang lebih masuk akal adalah bahwa “kewajiban” dalam kalimat tersebut adalah kewajiban bagi negara, bukan bagi warga negara. Karena itu, jika versi sila pertama itu berlaku, maka negara Indonesia wajib menerapkan syariat Islam, namun hanya berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
Tafsir ini lebih masuk akal, sekali lagi, karena Pancasila adalah dasar negara. Yang diatur dalam sila-silanya adalah cara mengelola negara, bukan perilaku individu.
Tapi di masa Orde Baru, Pancasila dibelokkan sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan rujukan perilaku individu. Coba Anda perhatikan ke-45 butir Pancasila yang di masa Orde Baru wajib dipelajari bahkan dihafalkan oleh para siswa dan pegawai negeri. Isi butir-butir itu banyak yang sibuk mengatur perilaku individu.
Negara menjadikan Pancasila sebagai pengatur perilaku warganya, padahal seharusnya Pancasila lebih berfungsi sebagai dasar pengelolaan negara.
Hoaks Historis
Yang paling serius dilakukan oleh Orde Baru adalah meminimalisir, bahkan andai bisa menghapuskan, Bung Karno dari peran perumusan Pancasila. Tanggal 1 Juni dilarang diperingati sebagai kelahiran Pancasila. Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni pada sidang BPUPKI tak boleh disebut-sebut sebagai Pidato Pancasila.
Salah satu cara yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru adalah dengan menghidupkan narasi bahwa yang berpidato di BPUPKI dalam masa sidang itu bukan hanya Bung Karno, namun juga Muhammad Yamin, bahkan Soepomo. Di masa itu, karya Muhammad Yamin pada tahun 1959 yang berjudul Naskah-naskah Persiapan Undang-Undang Dasar dijadikan bahan untuk mengatakan bahwa tanggal 29 Mei 1945 menyampaikan pidato tentang lima sila.
Bung Karno yang berpidato tanggal 1 Juni, demikian kata narasi zaman Orde Baru, hanya mengulangi apa-apa yang diucapkan Yamin tanggal 29 Mei (bahkan juga oleh Soepomo 31 Mei). Rumusan dari ketiga orang itulah yang lalu dirumuskan oleh “Panitia Sembilan” menjadi lima dasar negara yang dicantumkan dalam Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945.
Tapi sejumlah sejumlah orang yang turut dalam perumusan dasar negara saat itu membantah bahwa ada pidato tentang dasar negara sebelum Bung Karno. Bantahan paling tegas di masa Orde Baru tentang klaim itu datang dari Bung Hatta.
Tahun 1979, Bung Hatta menerbitkan sebuah memoir yang berisi autobiografi dan catatan atas kesaksiannya dalam sejumlah peristiwa sejarah.
Dalam bagian tentang kelahiran Pancasila dan UUD 1945 (hal. 435), Bung Hatta menegaskan bahwa hanya Bung Karno lah satu-satunya orang yang berbicara tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI, 29 Mei-1 Juni 1945, yang dipimpin oleh ketua BPUPKI dr. Radjiman Wediodiningrat.
Dalam pembukaan sidang tanggal 29 Mei, sang ketua melontarkan tanya: “negara yang akan kita bentuk itu apa dasarnya?”
Bung Hatta menulis:
Anggota yang terbanyak tidak mau menjawab pertanyaan itu karena kuatir… Pada hari ketiga agak tajam pertentangan antara golongan yang mengemukakan negara Islam dan golongan yang mempertahankan negara yang bebas dari pengaruh agama. Hanya Soekarno yang menjawab pertanyaan ketua Radjiman Wediodiningrat. Pada hari keempat pada tanggal 1 Juni 1945 ia berpidato panjang lebar yang lamanya kira-kira 1 jam yang berpokok pada Panca Sila, lima dasar. Pidato itu disambut hampir oleh seluruh anggota dengan tepuk tangan yang riuh … sebagai suatu persetujuan.
Pada hari terakhir itu, ketua BPUPKI lalu membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang dengan berbagai latar belakang, dan menjadikan pidato Bung Karno sebagia bahan rujukan untuk merumuskan naskah penting, yang didalamnya ada lima sila dasar negara.
Kalau kita hari ini memperingati hari lahirnya Pancasila, kita sebenarnya melakukan simbol perlawanan terhadap hoaks historis yang disuburkan selama masa Orde Baru.
Selamat merayakan Hari Pancasila! Jangan lagi ada hoaks di antara kita.