Belakangan ini pengajian kitab kuning online semakin menggejala. Terlebih di era “di rumah saja” karena epidemi corona sekarang ini, gejala ini menemukan momentumnya.
Ditambah lagi dengan datangnya bulan Ramadan ketika “pasaran” atau “pasanan” sudah menjadi kebiasaan, pengajian kitab kuning online bisa kita saksikan setiap hari di berbagai kanal media sosial.
Namun yang menarik perhatian saya bukan hanya pengajian kitab kuningnya, tetapi proses di belakangnya. Karena disajikan secara online, maka pengajian ini membutuhkan perangkat teknologi digital yang memadai. Tanpa itu, pengajian tidak akan pernah terlaksana secara baik.
Berbicara proses berarti berbicara mengenai orang yang melakukan proses itu. Seperti lazimnya program online di media sosial, biasanya ada seorang atau lebih yang bertindak sebagai “admin”. Demikian pula dengan pengajian kitab kuning online. Karena mungkin kiai atau ustaz yang akan membawakan pengajian tersebut sibuk menyiapkan bahan pengajaran atau mungkin juga mereka tidak terlalu paham tetek-bengek dunia digital, maka persiapan teknis mulai dari pengecekan piranti, seperti handphone dan tripod, hingga kualitas sinyal internet menjadi tugas admin yang bersangkutan.
Pada situasi itulah muncul fenomena “mbak admin”. Istilah ini pada awalnya mengacu pada Ienas Tsuroya, istri dari Ulil Abshar-Abdalla. Kita tahu, intelektual Islam terkemuka ini termasuk yang paling pertama (Ramadan 2017) memperkenalkan tradisi pengajian kitab kuning online lewat live streaming pembacaan Ihya Ulumiddin di Facebook. Ienas menyebut dirinya sebagai “mbak admin” yang mengurus teknis pelaksanaan siaran Ulil tersebut. Karena Ienas yang juga putri Gus Mus itu cukup populer, maka istilah mbak admin dengan segera ikut terangkat menjadi pembicaraan yang tidak terpisahkan dalam pengajian kitab kuning online.
Di lingkungan Nahdlatul Ulama yang saya kenal, fenomena mbak admin ini semakin merebak. Bulan Ramadan kali ini, misalnya, muncul sosok Titi Razak di balik pengajian kitab kuning online Abdul Moqsith Ghazali dan Maria Fauzi yang mengurusi kajian Munir Ikhwan. Sama seperti Ienas, kedunya adalah istri dari kedua kiai atau ustaz tersebut. Rasanya tanpa adanya keterlibatan mereka, pengajian kitab kuning online sulit terselenggara.
Kenyataannya mbak admin tidak hanya menyiapkan perangkat teknologi yang diperlukan, tetapi juga ikut aktif berinteraksi dengan pemirsa selama pengajian online berlangsung. Mereka bertanya apakah penangkapan siarannya bagus atau tidak, suaranya terdengar atau tidak, gambarnya goyang-goyang atau tidak, dan seterusnya.
Tidak hanya itu, mereka juga memastikan apakah para pemirsanya bisa mengerti materi yang disampaikan; maksudnya apakah materinya terlalu berat atau tidak, apakah pembahasannnya bertele-tele atau tidak, dan semacamnya. Beruntung media sosial—Facebook, Instagram, atau YouTube—menyediakan fasilitas interaksi untuk itu.
Dalam konteks dakwah keagamaan, fenomena mbak admin ini menarik. Jika sebelumnya dakwah selalu identik dengan figur sentral kiai atau ustaz yang umumnya laki-laki, sekarang peranan istri mereka mulai terangkat secara setara ke permukaan. Dulu kita mengenal KH Zaenuddin MZ, contohnya, tetapi tidak pernah tahu siapa istrinya—tentu saja selain keluarga dan sahabat terdekatnya. Sekarang berbeda. Pada saat kita menyaksikan kiai atau ustaz memberikan pengajaran keagamaan, pada saat yang sama pula kita tahu istri mereka adalah orang yang memungkinkan hal itu bisa terjadi.
Yang menarik adalah fenomena ini justru marak di kalangan muslim tradisional. Berkebalikan dengan kesan yang dulu pernah dilekatkan kepada mereka sebagai kolot, sekarang mereka justru tampil adaptif terhadap perkembangan dunia digital yang luar biasa. Adaptasinya bukan sekadar teknis, tetapi juga substantif. Keberadaan mbak admin memperlihatkan suatu potret kerjasama suami-istri di komunitas muslim tradisional yang asyik—sesuatu yang kompatibel dengan ideal kesetaraan gender dalam literatur feminisme Barat.
Terus terang saya belum menemukan hal serupa di kalangan muslim modernis, apalagi kelompok Salafi, padahal ustaz dari kelompok terakhir ini lebih awal dan sangat intensif berdakwah di media sosial. Kelihatannya, alih-alih disiapkan secara sederhana, mereka mempunyai tim produksi dan bahkan pasca-produksi yang lebih profesional. Namun karena itu nuansa kesetaraan gender sebagaimana diperlihatkan dalam fenomena mbak admin pengajian kitab kuning online menjadi tidak kelihatan.