Kini aku kisahkan pada kalian yang muda tapi memilih diam. Sejarah dua legenda muda yang meninggal secara brilian. Meninggalkan warisan (legacy) harum bukan caci-maki karena korupsi. Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie. Yang pertama membebaskan kita dari pikiran dan tradisi kejahiliyahan. Yang kedua membebaskan kita dari tindakan dan kekuasaan anti kemanusiaan. Hebatnya, kedua pahlawan ini dari kultur yang berbeda sekali: Madura yang mistis dan China yang pragmatis.
Keduanya adalah demonstran tegas: aktivis-pemikir militan yang gelisah, otentik, mati muda, dan kesepian sebagaimana tersurat dalam tulisan di nisan Hok Gie: Nobody knows the troubles I’ve seen, nobody knows my sorrow. Dua tokoh muda ini dikenal sebagai pemberontak dalam dunia pemikiran dan merupakan legenda hidup yang menyala sampai sekarang. Keduanya menghajar Firaun Soeharto: peletak dasar militeristik dan KKN di republik.
Keduanya terluka: sepi dan crank. “Aku bermakna maka aku bekerja,” adalah kalimat yang pas memotret sosok legendaris itu. Jejak liberasi pemikiran Islam tak bisa lepas dari celoteh Wahib. Jejak kecerdasan demonstrasi mahasiswa tak bisa lepas dari pamflet-pamflet Gie.
Adakah kalian tahu dan merindu? Mahasiswa-mahasiswaku yang memilih memeluk gadget dan membiarkan kejahiliyahan baru menggilas. Ataukah kalian mendentumkan gerakan lebih menggairahkan kezuhudan yang kutunggu? Aku mencarinya di menara-menara gading. Jika kalian tak punya modal: kecerdasan dan keberanian, ambil di rumahku. Kuwakafkan semua demi cintaku pada nusantara.
Nurcholish Madjid
Hanya tiga pemikir keagamaan (Indonesia) yang kukagumi dan kubaca semua karyanya: Nurcholish Madjid (tempat di mana aku pernah melayaninya selama 3 tahun), Hamka (orang yang kutulis biografinya) dan Quraish Shihab.
Sebentar lagi khaul Cak Nur, 29 Agustus. Kuingat, guruku lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun. Aku menulis ini untuk menghormati jihad dan kematiannya.
Selama hidup, ia menjadi pemikir Islam tercerdas, cendekiawan independen dan budayawan Indonesia terbesar. Ialah guru bangsa sesungguhnya. Bapak pluralisme di mana Gus Dur nanti belajar banyak darinya.
Pembaruan dalam pemikiran Indonesia hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran nusantara dalam hubungannya dengan konteks kolonialisme dan neoliberalisme yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks penjajahan, tidak pernah ada pembaruan nusantara. Teks-teks sejarah di sekolah-sekolah akan tetap seperti itu adanya (informatif tapi mati).
Sedangkan alam raya Indonesia plus peristiwa-peristiwa globalisasi, agama, ilmu (ipoleksosbudhankam) dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final.
Dari argumentasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tanpa pembaruan pemahaman radikal revolusioner, sejarah nusantara pada era tertentu akan membeku dan pasti kehilangan relevansinya. Penyegaran (trias revolusi) menjadi perlu untuk mencari relevansi pemahaman sejarah beku dan baku dengan tantangan zaman dan gesekan antar berbagai tradisi keterjajahan dalam era jahiliyah seperti kini.
Cak Nur berhasil setidaknya memberi landasan perlawanan Islam atas feodalisme, fasisme dan kronisme warisan penjajah internasional dan lokal. Guru, kulanjutkan karyamu. Kudoakan ruhmu. Kuteruskan cita-citamu. Amin.