Wacana penundaan pemilu 2024 terus menggelinding. Sejumlah pejabat publik dan ketua partai politik secara terbuka terus membicarakannya. Beberapa ahli juga menyampaikan ragam pendapat. Hanya saja, mayoritas pendapat itu hanya menjelaskan dari sisi hukum tata negara dan konstitusi.
Untuk melengkapi ragam pendapat tentang penundaan pemilu, tulisan ini berusaha mengambil perspektif berbeda, yakni dari perspektif legalisme otokratis (autocratic legalism).
Legalisme otokratis menurut Kim Scheppele merujuk pada fenomena di mana pemimpin yang terpilih dan berkuasa melakukan perubahan konstitusional dan hukum untuk kepentingan agenda yang tidak liberal. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia. Liberalisme, yang seharusnya bersanding dengan demokrasi dan konstitusionalisme dikeluarkan oleh generasi baru otokrat yang tahu cara memainkan sistem.
Beberapa negara demokrasi konstitusional sengaja dibajak oleh sekelompok otokrat yang pintar secara hukum, yang menggunakan konstitusionalisme dan demokrasi untuk menghancurkan keduanya. Para otokrat itu tidak hanya diuntungkan dari krisis kepercayaan pada institusi publik, mereka menyerang prinsip-prinsip dasar konstitusionalisme liberal dan demokratis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan untuk jangka panjang.
Banyak orang tertipu dengan tampilan negara demokrasi karena hanya melihat pemilu terus berlangsung tanpa kecurangan. Demokrasi dinilai berada dalam keadaan baik-baik saja. Akan tetapi, para otokrat terus bekerja membajak konstitusi mencari keuntungan dari sistem demokrasi yang ada. Untuk mencapai tujuan itu, mereka dapat menyembunyikan desain otokratis mereka dalam pluralisme bentuk hukum yang sah.
Lantas, bagaimana cara mengenali seorang pemimpin telah menjadi legalis otokratis? Di antaranya adalah dengan kebijakannya yang berupaya menyerang institusi yang tugasnya adalah untuk memeriksa tindakannya atau menghapus aturan yang meminta pertanggungjawabannya, terlebih hal itu dilakukan atas nama demokrasi. Pada akhirnya, melalui kekuasaan eksekutif, otokrat legalistik melakukan reformasi hukum yang pada akhirnya melahirkan apa yang disebut Stephen Cody dengan dark law (hukum gelap).
Hukum gelap muncul dari perpaduan politik otokratis, ketidakjelasan undang-undang, dan penghormatan yudisial. Ini merupakan ancaman bayangan terhadap demokrasi dengan mempersulit publik untuk melihat serangan otokratis yang mengkonsolidasikan kekuasaan mereka pada kekuasaan negara.
Sebagai contoh, di Hungaria, Perdana Menteri Victor Orban, membuat sejumlah kebijakan merujuk pada konsep legalisme otokratis. Sejak awal berkuasa, Orban menyerang independensi lembaga-lembaga penting, seperti peradilan, pers, kantor kejaksaan, otoritas pajak, dan komisi pemilihan. Target lainnya adalah Mahkamah Konstitusi, yang membutuhkan waktu tiga tahun untuk dikuasainya. Setelah semua lembaga-lembaga tersebut diisi dengan loyalis partai, Orban juga mencopot tokoh-tokoh oposisi termasuk pakar apolitis dari lembaga-lembaga publik, memperpanjang masa jabatan penerus mereka sehingga bedampak pada kebijakan pemerintahan.
Dengan cara ini, alih-alih menyampaikan pendapat, anggota parlemen oposisi bahkan tidak dapat menawarkan amandemen undang-undang yang dihasilkan pemerintah. Dengan kekuatan dominan yang diperolehnya secara demokratis dan konstituonal, Orbán dapat membuat dan mengubah hukum apa pun semaunya, termasuk konstitusi sekalipun. Praktek demikian tidak hanya dilakukan Orbán, Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan, yang sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri juga melakukan hal serupa.
Di Indonesia, dalam beberapa kurun waktu terakhir, para otokrat berhasil menancapkan pengaruhnya dalam beberapa kebijakan pemerintah. Dimulai dengan menyerang lembaga anti korupsi lewat revisi UU KPK, memperluas kewenangan eksekutif berupa perizinan hingga ke tingkat daerah lewat UU Cipta Kerja, dan manuver ke dalam institusi peradilan, yakni Mahkamah Konstitusi dengan menambah masa jabatan hakimnya hingga 15 tahun.
Belakangan, penundaan pemilu tahun 2024 nampaknya sedang diupayakan oleh kaum otokrat. Pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19 menjadi alasan utama para otokrat, sehingga Presiden Jokowi perlu diberi tambahan waktu. Sementara ekonomi nasional sedang dipulihkan, pemilu justru menjadi beban bagi keuangan negara setelah dikuras untuk COVID-19.
Dalam hukum tata negara, sama sekali tak ada celah untuk menunda pemilu, baik konstitusi (UUD NRI 1945) maupun undang-undang (UU) menegaskan hal itu. Lihatlah faktanya, Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan: (1) ”pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali” dan (2) ”pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wapres dan DPRD”. Selanjutnya Pasal 167 Ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, ”Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali”.
Meskipun hukum telah menutup saluran itu, bukan tidak mungkin kelompok otokrat membukanya kembali. Venezuela misalnya, di bawah pemerintahan Hugo Chavez, pemilu selalu diganggu dengan ragam cara; lembaga pemilu dibuat tidak independen, pemungutan suara dilakukan lebih dari batas waktu, pegawai negeri dan penerima santunan dari negara dikerahkan memilih calon tertentu, dan bahkan pemerintah mengancam tidak memberikan dana kepada daerah tertentu jika memilih oposisi.
Meskipun tidak sama persis prakteknya seperti di Hungaria, Turki maupun Venezuela, wacana penundaan pemilu menunjukkan keinginan pemerintah Indonesia bergerak ke arah yang otokratis. Amandemen konstitusi kelima mulai digulirkan agar penundaan pemilu berhasil dijalankan. Jika amandemen berhasil, maka kelompok otokrat telah memiliki landasan hukum dan dapat berlindung di balik itu.
Agak mengherankan memang melihat sebuah negara demokrasi yang baik seperti Indonesia bermain-main dengan masa jabatan presidennya. Biasanya, praktek demikian justru dilakukan oleh negara di mana praktek demokrasinya belum mapan, seperti negara-negara Afrika sub-sahara (Kongo, Uganda, Rwanda, dan Burundi, dan lain-lain). Berbagai negara tersebut memperpanjang masa jabatan periodenya di tengah masa jabatan bahkan rela mengubah konstitusi.
Sebagai contoh, Rwanda mengubah konstitusi pada 2005 dengan mengizinkan Presiden Paul Kagame yang telah berkuasa sejak 1994 menjabat hingga 2037. Uganda yang merevisi konstitusinya pada 2005 telah memberikan kesempatan pada Presiden Yoweri Musevani berkuasa hampir 35 tahun.
Pada akhirnya, pengalaman negara-negara yang bermain dengan masa jabatan presidennya menunjukkan bahwa kekuasaan pemerintah menjadi tidak lagi terkontrol dan kelompok oposisi di parlemen sama sekali kehilangan ruang mengontrol kebijakan pemerintah. Dalam posisi ini, dapat dipastikan godaan menuju otoritarianisme amat menggiurkan.